"Ah masak sih?" saya bersikukuh karena sebuah artikel di Chosun Ilbo yang saya baca membahas kecemasan risiko itu.
"Tidak. Karena pondasi perekonomian kami kokoh jadi bagaimanapun konflik politik tak banyak menghambat pertumbuhan ekonomi," dengan gamblang ia jelaskan.
Saya pikir akan membuat ekonomi negeri Anda limbung, tutur saya. Ia tetap menggeleng.
"Hhh, lain dengan Indonesia ya," saya mulai memancingnya berkomentar. "Di sini selalu ricuh politiknya."
"Ah, masa? Indonesia tenang begini," respon dia kalem.
Saya menangkap sekilas senyum cemoohan dan sebelum ia meneruskan aktingnya, saya sambar saja,"Tenang apanyaaa?!! Pusing semua kita gara-gara politik kok."
Menyaksikan kegusaran saya, ia kembali ke kamarnya. Ia bawa telur rebus dan kacang kedelai hitam. "Mau?"ia menawarkan.
Ia memang tahu titik lemah saya. Sekali hap makanannya tadi sudah berpindah ke rongga mulut saya.
Daripada memakai mulut untuk bicara politik Indonesia, memakainya untuk mengunyah saya pastikan lebih sehat bagi keseimbangan jiwa dan raga saya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H