“Tak akan pernah lagi, tak akan pernah lagi, tak akan pernah lagi kau akan dianggap sebagai orang asing!”
Begitu tulis Muhammad Asad dalam catatan perjalanannya sebagai seorang jamaah haji. Dalam goresan penanya, ia menggambarkan sebuah momen emosional saat sedang menjelajah jazirah Arab bersama rombongan karavan untanya yang didominasi kaum Badui dalam sebuah perjalanan suci ke Tanah Suci. Ia menghabiskan enam tahun berkelana di sana jauh dari tanah kelahirannya di jantung Eropa. Di jurnal pribadinya Asad juga menumpahkan perasaannya sebagai seorang muslim yang selalu dianggap sebagai “orang asing” (baca : kaum kafir).
Latar belakang Asad unik. Ia seorang manusia yang terjebak antara dua dunia yang kerap dipertentangkan tetapi saling berkelindan. Meski terlahir sebagai seorang Yahudi, pria yang bernama asli Leopold Weiss itu kemudian berpindah keyakinan menjadi pemeluk Islam. Dibesarkan dengan atmosfer intelektualitas yang kental khas Eropa, Asad yang masih muallaf kemudian perlahan-lahan muncul sebagai salah satu tokoh berpengaruh dalam dunia Muslim.
Weiss lahir di kota Lwow di tahun 1900 dalam sebuah keluarga relijius. Ia keturunan langsung dari keluarga para rabbi dan pengacara. Mengingat latar belakang pendidikan keluarganya ini, tidak heran Weiss sejak belia sudah kenal dengan ilmu pengetahuan dan kemudian tumbuh sebagai pemuda dengan semangat meluap dalam masalah spiritual. Weiss sangat menyukai sejarah dan filsafat. Di kemudian hari, ia menghabiskan hayatnya untuk menjadi tokoh utama dalam kisah-kisah petualangan pribadinya, menulis buku-buku tentang dunia Islam dan pengalamannya sebagai seorang diplomat.
Saat mahasiswa, Weiss menuntut ilmu sejarah dan filsafat di University of Vienna kemudian bergabung dalam lingkungan seniman dan kaum cendekiawan di Café des Westens, Berlin, Jerman. Sejak muda, ia sudah tertarik dengan hal-hal berbau Timur. Semasa bekerja sebagai pewarta untuk kantor berita United Telegraph dan Frankfurter Zeitung, ia banyak menulis soal penjelajahannya di Timur, dan kemudian mengumpulkan tulisan-tulisan jurnalistiknya itu dalam, sebuah buku berjudul “The Unromanticized East”. Kenyang menjelajah Suriah, Irak, Iran, Afghanistan dan Asia, ia kembali ke Berlin tahun 1926 dan ia kembali dengan sebuah nama besar dalam dunia jurnalistik.
Weiss menikahi Elsa Weiss yang seorang pelukis Jerman dan keduanya beralih keyakinan sebagai seorang muslim. Mereka menjadi muallaf saat masih bermukim di Berlin yang saat itu mulai disesaki dengan gelombang kebencian terhadap kaum Yahudi. Weiss dikatakan mulai membenci Barat dan mendekat ke Islam setelah menyaksikan adanya semangat anti Semit dan totalitarianisme yang merajai Eropa kala itu. Sebagai pemikir yang seimbang dalam hal rasio dan spiritual, Asad sejak muda memang dikenal gemar mencari jalur menuju kehidupan yang menujukkan koherensi antara logika dan spiritual. Dan menurut pandangannya, Islam mampu memenuhi kebutuhannya itu.
Pasca beralih ke Islam di usia 26 tahun, Weiss yang kemudian berganti nama menjadi Asad makin terdorong menjelajahi dunia Islam di Timur. Kelak latar belakang dan statusnya sebagai muslim membuatnya terus dibayang-bayangi pertanyaan mengenai ke-Islama-annya. Apakah ia melakukannya semata hanya untuk memuaskan keingintahuan sebagai intelektual, penjelajah yang ingin melebur sempurna bersama masyarakat yang dicermatinya, atau memang dari panggilan murni dari hati nurani? Terlepas dari motifnya masuk Islam (karena hanya Tuhan dan Asad sendiri yang tahu yang sesungguhnya), Asad kemudian menjadikan perjalanan hajinya sebagai sebuah puncak dari pengalaman spiritualnya sebagai seorang muslim dalam memoarnya “The Road to Mecca” yang diterbitkan tahun 1954.
Buku ini ia klaim sebagai sebuah karya yang berisi “kisah penemuan Islam oleh seorang warga Eropa dan bagaimana ia bisa menyatu dengan masyarakat Islam”. Meski Asad berpikir kisah perjalanan hajinya itu hanya menarik bagi dirinya sendiri seperti ia tulis di bagian pembukaan, ternyata karya tulisnya itu menjadi salah satu catatan perjalanan haji terpopuler di dunia Muslim saat ini.
Dalam memoarnya, ia menuliskan pergulatan pribadinya sebelum menikahi Elsa. Dan menurut saya kisah cintanya ada kemiripan dengan Nabi Muhammad, karena Asad menikahi Elsa yang berusia 15 tahun lebih tua. Saat itu Elsa berumur lebih dari 40 tahun dan Asad belum genap 26 tahun. Namun, karena Asad mampu meyakinkan Elsa, akhirnya mereka menikah juga. Tidak dijelaskan apakah Elsa juga seorang janda dan pedagang sukses juga tetapi berdasarkan rentang usia, pasangan ini mirip usia Nabi Muhammad dan Siti Khadijah saat mereka menikah. Apakah Asad memang berniat menjalani teladan Rosul? Saya belum bisa memastikannya. Tapi kebetulan ini sungguh menarik.
Kenangan haji Asad sarat dengan deskripsi detail soal kondisi kota dan masyarakat Mekah saat itu. Karena Asad sudah menyaksikan sendiri kondisi masyarakat di negara-negara muslim lain, ia tidak begitu syok dan sedikit sekali dalam catatannya ditemukan pengalaman gegar budaya. Asad bisa berbahasa lokal dan melebur dengan mulus bersama masyarakat setempat. Sayangnya istrinya tidak seadaptif dirinya yang sudah terbiasa bepergian dan tinggal di suasana asing.
Bersama Elsa, Asad mengunjungi Mekah dan bermukim di sana sementara. Namun, kisah kemudian berubah pilu tatkala Elsa mendadak meninggal dunia. “Ia meninggal tiba-tiba, setelah kurang dari sepekan menderita sakit yang tampaknya cuma sakit karena kurang bisa beradaptasi dengan iklim yang panas dan asupan yang tidak lazim tetapi kemudian diketahui sebagai akibat dari penyakit tropis yang tidak biasa dijelaskan oleh dokter Suriah di Rumah Sakit Mekah. Rasa putus asa dan kegelapan menyelimuti saya.” Asad makin kesepian saat anak kandung Elsa, Ahmad, yang berusia 10 tahun dan bersamanya di dunia baru itu malah diminta keluarga mendiang istrinya untuk disekolahkan di Eropa daripada tinggal bersama ayah tirinya yang selalu berpetualang.
Bakat dan kecerdasannya dalam bidang intelektual membuatnya dapat masuk ke dalam pergaulan penguasa di Arab. Raja Ibnu Sa’ud menjadi teman dekatnya karena tertarik dengan kepiawaian Asad berbahasa Arab dan beberapa bahasa Eropa. Sebuah hubungan simbiosis mutalisme pun terjalin antara keduanya. Sebagai intelektual, Asad menulis juga sejumlah buku bertema prinsip-prinsip pemerintahan Islam dan hukum Muslim.
Sebetulnya Asad juga berencana menempuh perjalanan ke Indonesia, tetapi tekadnya ke tanah air kita luluh begitu ia dibujuk untuk menetap dan mengajar di India. Oleh ulama setempat, ia diajak mengajarkan pengetahuannya tentang hukum dan budaya Islam.
Ia juga pemikir yang feminis, dengan mengusulkan pada pemerintah Pakistan agar mengizinkan wanita menjabat sebagai Perdana Menteri. Ia juga menulis sejumlah esai mengenai sistem hukum syariah yang lebih mengutamakan belas kasih daripada ketegasan ‘berdarah dingin’. Karena pandangannya yang tidak populer bagi kaum eksterimis yang bangkit di awal 1980-an, akhirnya Asad terpaksa mengasingkan diri ke Portugal, lalu bermukim di Spanyol hingga akhir hayatnya. ia boleh dikatakan beristirahat dalam damai karena impiannya sebagai muslim yang tidak didiskrimnasi karena latar belakang keturunan akhirnya terwujud juga. Jenazahnya dikebumikan di sebuah pekuburan muslim di Granada, Spanyol setelah ia menghembuskan napas terakhir tanggal 22 Februari 1992. Bersama mangkatnya Asad, rampung juga perannya sebagai seorang juru tafsir hukum dan budaya Islam bagi masyarakat Islam modern. (Rujukan: “One Thousand Roads to Mecca” suntingan Michael Wolfe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H