[caption caption="Ilustrasi: Shutterstock"][/caption]Sudah menjadi impian saya sejak lama untuk menjadi seorang penulis yang karyanya diterbitkan penerbit dan dibaca secara luas. Saya telah memimpikan diri ini nanti menjadi penulis yang hebat dan makmur sejak dulu. Saya kuliah di kampus lokal dan belajar Sastra Inggris selama lebih dari enam tahun. Saya rampungkan pendidikan sarjana saya dengan relatif mulus dan melanjutkan perjalanan akademis yang kemudian saya agak sesali.
Saya berharap saya menghabiskan lebih banyak waktu menulis daripada di kelas dan kuliah. Namun, di kampus saya diwajibkan menganalisis semua karya sastra itu.
Kini setelah saya tak lagi di sana, jelas sudah bagi saya bahwa bukan itu yang saya harapkan.
Itu semua sudah berlalu tujuh tahun lalu. Saya saat ini mencoba untuk merintis jalan baru menuju karier sebagai penulis. Seorang penulis yang akan memiliki buku terbitannya sendiri.
Membahas sekarang ini, seorang teman bertanya pada saya secara gamblang: "Apa kau mau terkenal?"
Teman saya itu anak orang kaya. Ia punya ruag kantor di sebuah gedung pencakar langit di jantung Jakarta. Saya tak tahu jenis bisnis apa yang ia dan keluarganya jalankan tapi yang paling penting ialah ia mau mendanai saya atau menjadi sponsor proyek buku saya.
Tunggu, apa???
Jadi itu semua berawal saat saya mengatakan padanya saya baru saja merampungkan sebuah proyek sebagai penulis hantu yang saya mulai November 2015 lalu.
Proyek itu cukup besar dan jujur saya agak kewalahan. "Agak" mungkin sebuah peremehan, sebetulnya. Saya hampir menyerah malah.
Sungguh-sungguh ingin menyerah di tengah proyek itu...
Bagaimana bisa? Saya menyandang gelar magister Sastra Inggris (saya tahu saya terengar sombong sekali karena mengatakan seperti itu) dan kini saya punya peluang untuk membuktikan kompetensi saya dan bakat yang ada namun saya malah ingin mengacaukannya.
Secara akademis, saya tak ada masalah. Saya relatif tak bermasalah kecuali bahwa saya sudah kehilangan semangat setahun sebelum kelulusan.
Saya sungguh beruntung memiliki satu orang teman sebagai editor. Ia membawa saya menemui seorang penerbit dan editornya yang kebetulan seorang kenalannya juga.
Singkatnya ceritanya begini, kami akhirnya sepakat melaksanakan proyek ini bersama. Ini urusan yang serius sehingga saya merasa gugup pertama kalinya.
Kegugupan itu karena inilah proyek buku pertama saya. Dan alasan lainnya ialah karena proyek ini melibatkan lebih banyak orang daripada bayangan saya. Ruang lingkup penulisan buku ini juga luas dan sangat membutuhkan kecerdasan .
Apa yang membuat saya gugup lagi ialah tenggat waktunya. Kami hanya memiliki waktu dua bulan untuk menyelesaikannya.
Kami sebenarnya tidak memulai dari nol. Kami hanya memulai kembali sebuah proyek yang sudah lama terabaikan sehingga sudah ada sejumlah materi yang terkumpul dan tim kami hanya cukup mengisi yang masih belum ada, yang ternyata porsinya sangat banyak. Saya bisa katakan kami harus menyelesaikan lagi 3/4 bagia draft buku itu.
Terdengar gila memang, tetapi kami berhasil melakukannya untuk mencapai tenggat waktu. Meskipun akhirnya ada pengorbanan juga. Saya hampir kehilangan teman editor saya karena kami terlibat dalam pertengkaran via surel selama berpekan-pekan. Kami mungkin menghabiskan separuh masa pengerjaan untuk saling melukai karena masalah 'lambatnya' saya bekerja.
Tetapi inilah penjelasan saya, kelambatan itu bukannya tanpa alasan yang kuat. Saya harus menulis sebuah buku mengenai topik yang saya sama sekali buta. Misalnya Anda tak tahu menahu soal komputer dan tiba-tiba seseorang datang pada Anda dan meminta Anda menulis buku tentang tema itu dalam dua bulan. Itulah yang saya rasakan saat itu.
Saya pun harus menyeret diri agar bisa menyelesaikan proyek ini. Editor saya juga gusar. Begitu geram ia hingga ia membiarkan saya bekerja sendiri setelah saya mengirimkan sebuah surel berisi imbauan:"Saya tidak bisa bekerja di bawah tekanan seperti ini." Ia membalas panjang lebar untuk menyampaikan dirinya menghormati kebebasan saya sebagai pekerja seni.
Pertemanan kami di ujung tanduk selama proyek ini berlangsung. Dan saya mirip melangkah di sebuah lantai berbahan kaca tipis, yang siap runtuh kapan saja saya tak mengharapkan. Saya ingat saat ini cukup berat bagi pertemanan kami, yang kini syukurnya sudah pulih.
Kini karena saya ditawari seseorang untuk menulis dengan lebih baik dan merintis jalan ke ketenaran sebagai penulis, saya tiba-tiba merasa aneh. Apakah benar ini benar-benar keinginan saya? Menjadi penulis terkenal? Seorang penulis yang karyanya diterbitkan mungkin sudah cukup. Namun itu ambisi yang saya dulu pikir bahwa menjadi seorang penulis hanya butuh duduk dan menulis dan membuat orang banyak membaca karya Anda dan Anda tak perlu banyak muncul (saya memang agak antisosial).
Saat saya mengamati sekeliling saya, menjadi seorang penulis masa kini yang sukses membutuhkan ceramah di depan orang banyak, hadir dalam acara umum, mengenal banyak orang asing dan menyesuaikan diri pada perubahan drastis dalam lingkungan sosial.
Ini BUKAN diri saya.
Kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah saya bisa menghadapi semua "roti isi sampah" ini?
Ya, sebuah roti isi sampah dari kehidupan seorang penulis. Jika Anda tak tahu apa itu roti isi sampah, saya akan jelaskan dengan singkat. Istilah ini dijelaskan secara gamblang oleh Elizabeth Gilbert dalam bukunya “Big Magic”. Ia merujuk pada sesuatu tak menyenangkan yang mengikuti hal yang Anda inginkan. Dalam kasus saya, saya ingin memiliki karier kepenulisan yang cemerlang. Namun, masalahnya:"Apakah saya siap menghadapi hal-hal yang harus saya lakukan sebagai seorang penulis tetapi saya benci?
Dalam kasus J. K. Rowling, ia merasa "kaku" saat harus tampil di depan panggung menampilkan karyanya di depan ribuan orang. Sifat introvertnya membuatnya kurang nyaman. Inilah yang saya kadang rasakan. Ketenaran membawa banyak konsekuensi tak nyaman yang tersembunyi.
Inilah mengapa saya menulis judul itu.
Saya tahu tak semua penulis introvert (beruntunglah mereka). Namun, bagi saya dan penulis introvert lain, tampil di depan banyak orang lebih menguras tenaga. Dan jika Anda harus melakukannya dalam jangka waktu yang terlalu lama, Anda akan merasa cemas, tersiksa dan lelah secara mental.
Jadi, apakah Anda siap terkenal sebagai penulis?
*) Keterangan: Sebelum membaca ini, saya ingin memberitahukan bahwa tulisan saya berikut adalah versi bahasa Indonesia dari apa yang saya sudah tuangkan di laman medium.com di hari Senin kabisat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H