Pertanyaan yang sangat wajar. Saya pikir semua orang pernah memiliki pertanyaan yang serupa. Saya juga terus bertanya mengapa. Saya tidak bisa merinci dengan kata-kata karena perasaan itu begitu kompleks, atau mungkin karena demikian sederhana, sehingga ia tidak perlu diterangkan dengan bertele-tele. Cukup hanya dirasakan dengan segenap jiwa.
Namun, sekali lagi saya harus menuliskannya. Bukan untuk memberikan penjelasan yang akurat mengenai alasan tersebut tetapi lebih sebagai pengantar yang memberikan garis besar saja. Dan tentu ini berdasarkan pengalaman saya pribadi dan semua pengetahuan yang pernah saya pelajari sejauh ini, yang saya yakin belum terlalu banyak. Sebagai gambaran, saya baru mengenal yoga Desember 2010. Tidak ada alasan untuk menganggap saya sangat berpengalaman, kecuali jika tingkat pengalaman itu diukur dari memperagakan asana-asana.
Pengakuan dari diri sendiri
Apa yang saya alami selama ini mungkin banyak dialami oleh mereka yang membenci olahraga sama sekali. Saya tumbuh sebagai anak yang kurang menyukai kegiatan olah gerak di luar ruangan. Entah apakah itu karena lingkungan sekitar atau faktor apa, saya sendiri tak terlalu paham sampai sekarang. Namun, jika saya harus menebak, mungkin itu karena tubuh saya yang lebih kecil. Di samping itu, saya lebih menemukan keasyikan dalam membaca. Membaca apapun dari buku pelajaran sejarah tante saya hingga komik Panji Koming. Akan tetapi saat saya harus lari, voli, basket atau badminton, saya tidak terlalu piawai. Singkatnya, saya orang yang payah saat harus berolahraga apalagi berkompetisi kekuatan.
Tetapi setelah mengenal yoga (asana-asana), saya menyadari bahwa saya juga memiliki kekuatan saya sendiri. Kekuatan itu tidak bisa dilihat saat saya berlari jarak jauh, beradu sprint dalam sepakbola dengan teman-teman sekelas, atau meloncat dengan gesit untuk melakukan pukulan smash. Meskipun saya bisa, saya bukan yang terbaik.
Saat melakukan asana yoga, saya merasa lebih baik dan gembira karena saya tahu ternyata saya bisa. Saya memiliki suatu kemampuan dan bahkan diri saya sendiri mengakui. Dan pengakuan akan kemampuan diri dari diri kita sendiri lebih ampuh dari apapun untuk mendongkrak self-esteem alias kepercayaan diri seseorang.
Tak hanya sampai di situ. Kini saya merasa lebih positif terhadap apa yang terjadi dalam diri saya. Terutama dalam segi fisik. Saya tidak terlalu iri jika ada orang yang lebih kekar atau kuat atau tinggi dari saya, karena saya tahu mereka belum tentu bisa menjadi selentur saya saat berlatih asana. Alih-alih merasa rendah diri, saya justru merasa bertubuh kurus adalah sebuah kebanggaan. Saya tidak mau terlalu memusatkan perhatian lagi untuk membuat tubuh lebih berisi. Melelahkan. Saya lebih puas dengan body image yang saya miliki. Apapun itu. Saya ingin menikmati kekurusan saya karena saya memang kurus sekarang. Namun jika suatu saat nanti karena berbagai sebab, saya berubah lebih gemuk, why not? Apa yang salah? Yang saya perlu lakukan hanyalah mensyukuri gemuknya saya, karena sekali lagi, semua hal ada waktunya. Alangkah lelahnya mereka yang terus berharap datangnya bulan saat masih pagi hari, dan mengeluhkan betapa lamanya harus menunggu cahaya mentari saat malam mulai turun. Yang terbaik yang kita bisa lakukan sebagai manusia yang tidak bisa mengendalikan segala hal, bahkan tubuh kita sendiri, adalah dengan menikmati apapun yang kita miliki sekarang, detik ini.
Saat berlatih yoga, perhatian terbesar kita tersedot dalam diri. Betul, pada dasarnya memang kita lebih memperhatikan diri sendiri saat berlatih yoga. Kita dilatih untuk terus melihat dalam diri, menyadari apa yang berkecamuk dalam benak kita saat meditasi, mengetahui apa yang meresahkan pikiran kita saat memejamkan mata di pose savasana (pose mayat) untuk kemudian melepaskannya begitu saja. “Tanpa menganalisis, tanpa menghakimi emosi-emosi yang muncul,” begitu kata guru yoga saya, Yudhi Widdyantoro, suatu ketika. Just let it go. Karena apa yang kita pikirkan dan rasakan sekarang dalam benak dan indra itu temporer, sementara, fana belaka.
Lalu apa kaitannya diri kita dengan semua pihak eksternal? Tentu ada karena kita sebagai manusia adalah mikrokosmos (semesta kecil) yang menjadi bagian dari semesta yang lebih agung, makrokosmos (alam semesta/ universe).
Seorang teman kerja saya bergurau, saya beryoga sendiri karena saya hanya peduli dengan kesehatan saya sendiri. Saya egois. Betulkah? Mungkin ia betul, tetapi dalam tahapan tertentu saya bisa berargumen bahwa ia salah. Apa pasal? Misalnya, saya sebagai seorang karyawan, jika saya sehat dan produktif, saya akan lebih mampu bekerja lebih banyak dan kualitas pekerjaan saya lebih baik (semoga demikian). Dengan yoga, saya lebih sehat dan berpikiran lebih terbuka dan kreatif saat bekerja. Bahkan saya bisa menggantikan pos rekan kerja yang sakit jika saya masih dalam keadaan sehat. Dan perusahaan tidak akan banyak tersendat aktivitasnya karena banyak karyawannya yang sakit-sakitan. Jadi dampak positif karena saya menjadi lebih sehat dengan beryoga itu tidak hanya bisa dinikmati oleh saya sendiri tetapi juga orang-orang di sekitar saya. Apakah itu namanya egois? Saya kira tidak demikian.
Dan kemampuan membantu orang lain dalam bentuk apapun itu sangat mencerahkan kehidupan kita. Berderma dalam segala bentuk seolah menjadi penyapu awan gelap yang menggelayut di langit. Kita merasa lebih berguna, eksistensi kita diakui, dan kita melebur dengan lingkungan sekitar. Kenyataan bahwa apa yang kita lakukan, sekecil apapun itu, memberikan ilham bagi sebagian orang untuk berbuat lebih baik dalam kehidupan mereka adalah suatu jenis bantuan tak berwujud yang tidak ternilai oleh uang.
Pencapaian keseimbangan
Yoga (dalam hal ini latihan asana, pranayama) menenangkan pikiran kita dan membantu menguatkan tubuh dan menjernihkan pikiran yang setiap saat tercemar dan terganggu. Di atas alas (mat), saya belajar bagaimana menjadi lebih sadar terhadap tindakan saya, terutama tindakan yang dalam tataran halus (subtle) seperti kualitas pernapasan, fokus pada pikiran, dan sebagainya.
Dapat dikatakan inilah seni beryoga, terutama bermeditasi. Kita perlu secara alami mempraktikkan Seni Perhatian (the Art of Attention). Inilah yang amat mahal dan langka di jaman multitasking seperti sekarang. Kita perlu berlatih bagaimana memilih menempatkan perhatian kita dan jika kita memilih saat yang tepat, hal-hal mengagumkan tak mustahil terjadi. Atau setidaknya, seperti yang saya alami, pikiran dan tubuh kita terasa jauh lebih ringan, bak bulu di tengah desiran angin yang sepoi-sepoi.
Keseimbangan juga menjadi fokus dalam kehidupan kita, apalagi bagi mereka yang tinggal di kota besar seperti Jakarta ini. Yoga, sepanjang pengalaman dan pengetahuan saya, memiliki prinsip berbagi dan berderma dengan sesama yang menjadi antidot di tengah maraknya kapitalisme.
Life is so short. Karenanya kita perlu menghayatinya sebaik mungkin. Yoga telah mempertemukan saua dengan orang-orang yang inspiratif. Mereka adalah pribadi-pribadi dengan segala kelebihan dan kelemahan yang memperkaya kehidupan saya. Dan saya kadang berpikir, orang-orang inspiratif itu bukan hanya mereka yang saya kagumi tetapi juga mereka yang kurang saya sukai. Setiap orang seolah sebuah buku yang terbuka untuk dibuka, dipelajari dan diambil hikmahnya. Dan terus terang, beberapa teman yang saya temui karena yoga adalah sebagian orang-orang yang paling mencerahkan kehidupan saya. Saya seolah ‘diijinkan’ untuk menjadi bagian dari komunitas yang tulus dan dermawan.
Apakah Anda juga merasakan hal yang sama? Atau merasakan lebih banyak lagi alasan mengapa merasa lebih gembira dengan beryoga? Silakan berbagi opini di sini.
(Tulisan ini juga saya publikasikan di http://yogakhlis.wordpress.com/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H