Seorang teman kerja saya bergurau, saya beryoga sendiri karena saya hanya peduli dengan kesehatan saya sendiri. Saya egois. Betulkah? Mungkin ia betul, tetapi dalam tahapan tertentu saya bisa berargumen bahwa ia salah. Apa pasal? Misalnya, saya sebagai seorang karyawan, jika saya sehat dan produktif, saya akan lebih mampu bekerja lebih banyak dan kualitas pekerjaan saya lebih baik (semoga demikian). Dengan yoga, saya lebih sehat dan berpikiran lebih terbuka dan kreatif saat bekerja. Bahkan saya bisa menggantikan pos rekan kerja yang sakit jika saya masih dalam keadaan sehat. Dan perusahaan tidak akan banyak tersendat aktivitasnya karena banyak karyawannya yang sakit-sakitan. Jadi dampak positif karena saya menjadi lebih sehat dengan beryoga itu tidak hanya bisa dinikmati oleh saya sendiri tetapi juga orang-orang di sekitar saya. Apakah itu namanya egois? Saya kira tidak demikian.
Dan kemampuan membantu orang lain dalam bentuk apapun itu sangat mencerahkan kehidupan kita. Berderma dalam segala bentuk seolah menjadi penyapu awan gelap yang menggelayut di langit. Kita merasa lebih berguna, eksistensi kita diakui, dan kita melebur dengan lingkungan sekitar. Kenyataan bahwa apa yang kita lakukan, sekecil apapun itu, memberikan ilham bagi sebagian orang untuk berbuat lebih baik dalam kehidupan mereka adalah suatu jenis bantuan tak berwujud yang tidak ternilai oleh uang.
Pencapaian keseimbangan
Yoga (dalam hal ini latihan asana, pranayama) menenangkan pikiran kita dan membantu menguatkan tubuh dan menjernihkan pikiran yang setiap saat tercemar dan terganggu. Di atas alas (mat), saya belajar bagaimana menjadi lebih sadar terhadap tindakan saya, terutama tindakan yang dalam tataran halus (subtle) seperti kualitas pernapasan, fokus pada pikiran, dan sebagainya.
Dapat dikatakan inilah seni beryoga, terutama bermeditasi. Kita perlu secara alami mempraktikkan Seni Perhatian (the Art of Attention). Inilah yang amat mahal dan langka di jaman multitasking seperti sekarang. Kita perlu berlatih bagaimana memilih menempatkan perhatian kita dan jika kita memilih saat yang tepat, hal-hal mengagumkan tak mustahil terjadi. Atau setidaknya, seperti yang saya alami, pikiran dan tubuh kita terasa jauh lebih ringan, bak bulu di tengah desiran angin yang sepoi-sepoi.
Keseimbangan juga menjadi fokus dalam kehidupan kita, apalagi bagi mereka yang tinggal di kota besar seperti Jakarta ini. Yoga, sepanjang pengalaman dan pengetahuan saya, memiliki prinsip berbagi dan berderma dengan sesama yang menjadi antidot di tengah maraknya kapitalisme.
Life is so short. Karenanya kita perlu menghayatinya sebaik mungkin. Yoga telah mempertemukan saua dengan orang-orang yang inspiratif. Mereka adalah pribadi-pribadi dengan segala kelebihan dan kelemahan yang memperkaya kehidupan saya. Dan saya kadang berpikir, orang-orang inspiratif itu bukan hanya mereka yang saya kagumi tetapi juga mereka yang kurang saya sukai. Setiap orang seolah sebuah buku yang terbuka untuk dibuka, dipelajari dan diambil hikmahnya. Dan terus terang, beberapa teman yang saya temui karena yoga adalah sebagian orang-orang yang paling mencerahkan kehidupan saya. Saya seolah ‘diijinkan’ untuk menjadi bagian dari komunitas yang tulus dan dermawan.
Apakah Anda juga merasakan hal yang sama? Atau merasakan lebih banyak lagi alasan mengapa merasa lebih gembira dengan beryoga? Silakan berbagi opini di sini.
(Tulisan ini juga saya publikasikan di http://yogakhlis.wordpress.com/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H