Mohon tunggu...
Aini Nur Latifah
Aini Nur Latifah Mohon Tunggu... -

@aininurlatifah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Abigel

3 Oktober 2015   05:58 Diperbarui: 3 Oktober 2015   07:23 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Setiap hari Selasa pelajaran terakhir di kelas 2 Ipa 2 adalah pelajaran olahraga, di kelas abigel ini, terdapat anak yang super jail bernama Gilang. Selain sering mengganggu siswa perempuan, Gilang juga sering memperalat siswa laki-laki yang cupu. Namun, bukan abigel namanya jika takut membela yang benar dan diam saja melihat yang salah. Saat Gilang masuk toilet untuk ganti baju olahraga, sengaja Igra mengikutinya untuk mengambil seragam dan baju olahraga miliknya. Disusul oleh Abel dan Eliana dari belakang.

Tak lama kemudian, terdengar teriakan heboh dari dalam toilet.

“Kabuuuur!”

"Lagi-lagi kalian! Hei, jangan kabur! Kembalikan!" teriak Gilang sambil memegangi bagian bawah tubuhnya yang hanya tertutup boxer berwarna merah muda, sesekali menutup muka dengan tangan kirinya. Orang-orang di sekitarnya mulai tertawa geli, bahkan sampai terpingkal-pingkal.
“Abigel! Awas kalian!"

***

"Huahaha. Tos dulu dong!"
Eliana memijat dadanya yang terengah, "Sebentar, aku masih pengen ketawa! lucu banget si Gilang mukanya tadi, eh boxernya juga wahaha,"
"Iya, udah warnanya pink, bergambar Tweety pula. Ya ampun... Haha”
"Iya, bener banget. Biar tahu rasa dia!"
"Udah udah, kita tos dulu dong!" seru Abel.
Ketiga anak yang sama-sama berseragam putih abu-abu itu menyatukan tangan mereka, tersenyum dengan bangga dan menyentakkannya bersama.
"ABIGEL... Yiaay!"

Sebuah kata yang dikelilingi simbol love dan tersusun dari enam huruf itu terukir indah di sebuah pohon akasia rindang di belakang sekolah. Ya, abigel merupakan singkatan dari Abel, Igra dan Eliana. Mereka dipertemukan saat masa orientasi sekolah satu tahun silam. Kebetulan mereka mendapat kelas yang sama, dengan filosofi tripod(1) abigel berdiri. Kita itu ibarat sebuah tripod, selalu ingin melangkah bersama dan saling mejaga, dan jika abigel kehilangan salah satu penyangganya maka abigel tidak dapat lagi berjalan beriringan. Persahabatan yang sungguh manis bukan?

“Ayo cepat pulang, udah mendung nih,” ajak Eliana sedikit cemas.

“Sekali-kali hujan-hujanan bareng seru tuh kayaknya?” usul Abel bersemangat. Igra mengangguk pelan seraya menyetujui saran Abel.

Kaki-kaki kecil melangkah dengan lincah, bahkan saat di atas sana langit tak lagi cerah. Gemuruh mendung terdengar dimana-mana, rinai hujan mulai turun membasahi muka bumi. Kaki-kaki kecil itu kini tak lagi melangkah, mereka melompati kubangan air di sepanjang jalan, lalu melompat ke bidang yang lebih tinggi. Masing-masing menyibakkan seragamnya yang basah terkena tumpahan air hujan.

“Eh, kita neduh disini dulu ya? Handycame aku kehujanan nih.” Abel mengelus-elus handycame kesayangannya, sesekali mengelap permukaannya yang basah terkena air. Sejurus kemudian Abel tersenyum, lalu mengangkat kembali handycamenya, menekan tombol on.

“Aduh baju aku basah semua, bisa kena semprot Mama nih,” tukas Eliana

“Dasar Eliana anak mami haha, hujan-hujanan aja nggak boleh.”

“Igra! Kok kamu jadi rese begini sih? Uh,” Eliana mengaduh, membalikan tubuhnya bertolakbelakang dengan Igra.

“Yah, gitu aja ngambek, woo...”

Abel tertawa kecil, melihat tingkah sahabat-sahabatnya dari balik layar handycame, lalu memutar balikan letak handycame nya, hingga layarnya menangkap gambar mereka bertiga.

“Nyanyi, yuk?”

Sementara mereka bernyanyi, burung-burung yang terbang diatas sana mendaratkan dirinya, berjejer diantara rimbunan daun pada ranting pohon yang basah. Ikut bernyanyi.

***

Suasana kantin siang itu sangat jauh dari kata sepi, tiap kios-kios makanan disesaki oleh anak-anak yang kelaparan. Dipojok ruangan, tempat abigel seperti biasa nongkrong dan bercanda ria. Namun kali ini berbeda, salah satu diantara mereka sepertinya sedang dilanda galau yang akut.

“Kamu kenapa Gra? Enggak asik nih diem-dieman terus,” Igra masih tak menjawab.

“Galau ditinggal Farah ya? ” celetuk Abel, Igra masih belum menjawab.

“Ayo ngaku, aku kelitikin nih?” Abel mendekatkan tubuhnya dengan Igra, menggoyang-goyangkan jemarinya dengan nakal yang ternyata berhasil membuat Igra bergidik.

“Rese ah, temen lagi galau juga,” tukas Igra dengan muka ditekuk, Abel sontak tertawa.

“Tuh kan bener diputusin lagi. Udah sih biarin aja berarti dia enggak serius sama kamu. Eh Gra, tapi muka kamu lucu banget kalo dilipet gitu,” Abel cekikikan melihat kesenduan yang tampak di wajah Igra, yang menurutnya membuat wajah Igra yang lembut dan tanpa noda terlihat seperti perempuan.

Eliana datang membawa makanan yang tadi dipesan Abel. Tak sengaja tatapan Igra menangkap siluet seseorang yang berjalan tepat di belakang Eliana, lantas tersenyum. Alis Abel bertaut, bibirnya yang mungil memiring, seperti merasakan sesuatu yang aneh. Ngapain Igra ngeliatin cewek sampai segitunya? acuh tak acuh, Igra mencomot cireng rasa ayam pedas yang baru saja dibawa Eliana.

“Igra, sana beli sendiri!” sungut Eliana kesal.

“Eh, Rona cantik ya?” ucap Igra berpendapat, Eliana menoleh.

“Cantik sih, tapi kayaknya sombong,” Igra mengedikkan bahunya, lalu menyuap kembali cireng yang dia ambil dari Eliana. Abel justru tercenung, belum menyentuh makanannya sama sekali.
“Eh Bel, kamu kenal sama Rona kan?” tanya Igra tiba-tiba, Abel terkesiap.

“Hah? Iya, dia temen aku satu organisasi di OSIS, kenapa?” sahut Abel spontan.
           Mendadak suasana menjadi hening, Abel berdecak melihat Igra yang sok-sokan berpikir, Eliana masih dengan cuek mengunyah cireng.

“Kenalin aku sama Rona dong?”

Abel tertegun saat Igra menatapnya serius, posisi duduk mereka berdekatan berbeda kursi dengan Eliana.

“Tapi, Gra?”

“Kenalin, please... ya? Masa tega lihat aku galau terus? ”
Tak kuasa menatap pijar hitam milik Igra lebih lama, Abel mengangguk, lalu tersenyum miring, mengiyakan.

“Ah, makasih Abel sayang. Nah Eliana, kamu bantuin Abel juga ya? Biar aku bisa deket sama Rona. Oke?”

Abel mengangguk pelan, tersirat rasa keraguan dalam sorot matanya, seperti rasa takut kehilangan.

***

Persahabatan itu indah, jika kita dapat memaknainya dengan indah pula. Persahabatan adalah cermin, saat masing-masing kita dapat memberi dan menerima sebuah kritikan. Persahabatan akan terlihat sempurna, jika diantaranya dapat saling mengisi. Dan apabila ego yang sangat buruk telah bermain, ia akan mengendap-endap masuk dan dengan mudahnya mengahancurkan segala kesempurnaan itu.

“Igra dan Rona jadian!”

Berita bahwa Igra dan Rona tengah menjalin hubungan kini telah menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Rona yang dikenal cantik dan sangat aktif dalam organisasi sekolah. Sementara Igra yang merupakan kapten tim basket sekolah sangat wajar jika mendapat sorotan besar dari guru ataupun siswa lainnya.

“Udah telat 35 menit. Kita tinggal aja Bel?”

“Tapi, El? Kasian Igra, dia kan biasa bareng kita?”

“Abel, kejadian seperti ini udah sering. Berkali-kali Igra minta ditungguin pulang, tapi akhirnya, apa? Kamu tau kan?” cerocos Eliana. Abel menunduk.

“Udah lah, biarin aja dia. Mending kita pulang keburu sore. Yuk?”
Abel masih bertahan, ia menatap pintu gerbang sekolah dengan cemas lalu kembali menatap Eliana.

“Aku mau nunggu Igra ya, El?”

Eliana memutar bola matanya. "Ini udah sore, Abel. Udah mendung juga ayo lah? Paling dia di antar Rona pakai mobil?”

Abel terdiam, kembali menatap gerbang sekolah.
“Oke deh, aku duluan kalo gitu. Salam sama Igra, ya?”
Abel tersenyum menatap Eliana yang berlari menghampiri teman-temannya yang terlebih dahulu berjalan. Lalu duduk di batang pohon besar yang sudah lama ditebang.

Lebih dari 30 menit Abel menunggu, namun Igra tak kunjung keluar. Saat itu juga Abel melihat Pak Satpam yang telah bersiap pulang dan mengunci pintu gerbang. Abel beranjak.
“Loh Pak, Emang udah gak ada siswa lagi di dalam?”
Pak Satpam mengernyit, lalu tertawa kecil. “Nggak ada atuh Neng, kan bel pulang udah dari tadi? Hari ini juga enggak ada jadwal ekskul kan? Jadi ya udah pulang semua.”

Abel tercenung, lantas mengangguk lemas. Kemana Igra pergi? Kenapa ia tak memberitahu Abel kalau ia sudah pulang? Paling tidak, Abel tak perlu menunggunya selarut ini.

***

Maaf, Bel, aku pikir kalian udah pulang tadi. Jadi aku pulang bareng Rona. Maaf, ya.
From: Igra *ABIGEL*
Abel menghela napas, lalu menyesap teh hangat buatan mamanya yang sekarang terasa menjalar dalam tubuh mungilnya. Ia meraih kembali ponselnya, tersenyum sejenak membaca ulang pesan dari Igra.

“Setidaknya, aku tahu kamu baik-baik saja Gra,”Abel kembali menyunggingkan senyumnya.

***

Saat ini antara Abel, Igra dan Eliana dan sangatlah berjarak. Igra memutuskan pindah tempat duduk, tidak lagi berada di depan Abel dan Eliana. Sedangkan Eliana duduk sendiri semenjak Abel jarang masuk kelas.

Beberapa hari ini Abel absen dari kelas, karena ia sedang sakit. Mulanya, Abel hanya terserang demam biasa, nafsu makannya berkurang dan merasakan kelelahan. Namun ia merasa ada yang janggal pada dirinya saat ia mengetahui terjadi kerontokan hebat pada rambut panjangnya. Ia memang didiagnosa menderita penyakit lupus sejak 2 bulan yang lalu, sehingga Abel pun di bawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan.

Betapa terkejutnya Abel, ketika mengetahui hasil uji sel LE menunjukkan positif. Ini adalah test untuk diagnosa Systemic Lupus Erythematosus (SLE), suatu kelainan autoimmun. Abel positif menderita lupus. Penyakit ini pun masih tergolong jarang ditemukan di Indonesia dan tipis kemungkinan untuk sembuh.

***

Temui aku di rumah hari ini ya.
from: Abel *ABIGEL*
           Setelah mengetik balasan SMS Abel, Eliana melirik ke arah kanannya, terlihat Igra yang sedang cekikikan dengan Rona, seolah dunia milik mereka berdua.

“Igra! ” pekik Eliana, Igra menoleh, lalu tersenyum singkat.

“Ya El ada apa?” Eliana mendelik.

“Loh? Emang kamu gak di SMS Abel hari ini?” Terlihat wajah Igra bingung, “SMS apa?”

“Dia nyuruh kita buat...,”

“Ayo say, nanti aku telat nih” sela Rona

“Iya say, bentar ya. Umh, El salam ya buat Abel? Maaf aku belum sempat jenguk. Emang ada apa sih? Dia enggak sms aku tuh,”

“Say, ayo...”

“Oke, bye, El!”

Eliana tercengang, memandangi kedua sejoli itu menjauh. Bahkan saat ini, ia tidak yakin bahwa yang barusan ia temui itu adalah sahabatnya, Igra. Eliana berlalu, ia memilih mempercepat langkahnya untuk menemui Abel.

***

Di ruang tamu...

“Bel, kamu udah sembuh? ”

“Alhamdulilah udah agak mendingan El”

“Oh iya ada apa sih kamu nyuruh aku ke sini? Kenapa cuma aku yang di SMS, ko Igra enggak?”

Abel beranjak dari tempat duduknya, kemudian berdiri memandangi sebuah bingkai foto abigel ketika mereka masih bersama.

“Igra udah punya dunianya sendiri El, yang mungkin lebih indah dari abigel,” ujarnya dengan senyum getir lantas mengelus kaca bingkai dengan jari telunjuknya.

Eliana hanya memandang Abel dengan tatapan sayu, karena ia juga merasakan bahwa kini persahabatan mereka tak sehangat dulu. Sementara itu, pandangan Eliana tertuju pada beberapa tas besar yang berada di samping sofa ruang tamu.

“Kamu mau kemana? Kok banyak tas-tas gini?” selidik Eliana penuh tanya.

Abel menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Eliana.

“Papa minta aku buat ikut tinggal di Bandung, karena rumah ini mau ditempati sama Om Tora, otomatis aku juga harus pindah sekolah”

“Kok mendadak banget Bel? Terus abigel?” tanya Eliana berkaca-kaca. Abel memalingkan mukanya ke belakang, tak kuat menahan haru. Berat, sungguh perpisahan ini terasa lebih berat dibandingkan perpisahan-perpisahan yang pernah Abel alami sebelumnya.

“Maafkan aku El, terpaksa aku harus membohongimu,” ujar Abel dalam hati, meringis sambil menahan nyeri. Akhirnya Abel pun harus melepas pelukan hangat Eliana tanpa didampingi Igra.

***

Setelah satu bulan perpisahan itu, Abel menghilang. Baik Eliana maupun Igra tidak tahu lagi kabar tentang Abel. Sementara kondisi Abel dari hari ke hari semakin memburuk, selain pada tubuhnya bersemayam penyakit lupus, kini ia juga divonis menderita penyakit ginjal. Hari-harinya ia habiskan dibalik dinding rumah sakit. Berpindah dari rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lainnya. Hingga pada akhirnya, Abel menghembuskan nafas terakhirnya bertepatan dengan tiga hari sebelum hari ulang tahun abigel. 

Eliana dan Igra sangat terpukul ketika Ibunda Abel memberitahukan kabar duka ini. Abel yang selama ini mereka kira baik-baik saja justru mengidap penyakit berbahaya. Dan ironisnya, Abel harus melewati masa-masa sulitnya sendirian tanpa didampingi sahabatnya Igra dan Eliana..

Sebelum Abel berpulang, ia menitipkan handycame kesayangannya pada sang bunda untuk diberikan pada Igra dan Eliana. Handycame tersebut berisi rekaman tentang masa-masa dimana abigel masih bersama. Keceriaan dan kebahagian begitu akrab mewarnai persahabatan mereka. Di bagian terakhir, Abel berkeluh kesah tentang masalahnya, wajahnya tampak sendu sambil berurai air mata. 

“Maafin aku ya Gra… El… aku enggak pernah cerita ini sama kalian. Mungkin selama ini kalian menganggap aku baik-baik aja. Tapi, dibalik senyum yang selalu aku kembangkan di depan kalian aku merasakan sakit yang luar biasa. Aku adalah seorang odapus, penderita penyakit lupus yang penderitanya mempunyai kesempatan hidup yang sangat tipis. Untuk Eliana, terimakasih untuk waktu, kebersamaan dan kesetiaanmu selama menjadi sahabatku.

Untuk Igra, ada satu hal penting yang ingin aku utarakan padamu, sebenarnya ada rasa yang tak biasa setiap aku dekat denganmu. Memperkenalkan kamu pada Rona adalah pilihan tersulit bagiku. Karena pada akhirnya aku merasa dunia barumu bersama Rona adalah pemicu utama kehancuran persahabatan kita.

Satu hal yang harus kalian tau, Jika suatu saat nanti aku dipanggil Tuhan, aku mohon kalian jangan pernah meninggalkan abigel meskipun tripod abigel akan kehilangan satu penyangganya kalian harus bisa tetep berdiri, berjalan menebar kebaikan meski tanpa huruf A dan B di depannya. Aku sayang kalian.... 

Igra dan Eliana hanya dapat memandang senyum tulus abel dalam sebuah video,

“Abel memang tak akan pernah kembali tapi ia akan selalu hidup didalam hati dan Abigel akan tetap terukir abadi di pohon akasia ini,” ujar Eliana lirih sambil menatap Igra. Keduanya meraba tulisan abigel yang pernah diukir oleh Abel.                                                                                                                 

Tripod[1] : alat stan untuk membantu agar badan kamera bisa berdiri dengan tegak dan tegar yang terdiri dari 3 kaki sebagai penyangganya.

 

oleh : Aini Nur Latifah dan Putri Eka Pertiwi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun