Dan. Kehidupan tetap berlangsung sebagaimana adanya. Setiap pagi pada setiap kali nelayan datang menyuguh hasil laut, pantai berpasir lembut itu tak bosan mengulang ritual yang sama. Orang-orang masih mendapat jatah pagi beberapa ekor ikan.
Beberapa hari setelah itu, Bahrun terlihat di pelabuhan Rangas, Majene. Kakinya menjejak buritan kapal berbadan bongsor yang akan bertolak ke barat. Para sawi terlihat sibuk menyiapkan keberangkatan. Nahkoda di ruang kemudi sedang membuka putika laut.
Dari jauh Bahrun melihat tumbaq layar rumah panggung yang berundak-undak itu, rumah besar yang menyimpan pujaannya. Rumah itu selalu menjadi tujuan kepulangan orang-orang yang pulang dari laut.
"Jangan kembali sampai kau bisa melamar Fatimah!" Sebuah tepukan kuat ditanam di bahunya. Bohari memeluk erat anak lelakinya dalam keharuan yang tertahan. Tak ada air mata yang tumpah, juga di kelopak Bahrun. Tak ada lenso yang dikibarkan. Lelaki Mandar tak boleh menangis. (*)
Jakarta, 26 Agustus 2014