Intensitas hujan yang begitu tinggi di sebagian wilayah dan perubahan cuaca yang kian tidak menentu membuat masyarakat harus tetap waspada menjaga kesehatan diri dan lingkungan. Perilaku untuk hidup bersih dan sehat harus senantiasa dilakukan untuk mencegah munculnya penyakit yang dapat mengancam jiwa.
Salah satu ancaman di musim penghujan adalah demam berdarah dengue (DBD). Penyakit yang disebabkan oleh nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus ini seringkali menimbulkan korban jiwa.
Data terbaru dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyebutkan bahwa peningkatan penderita DBD tahun ini lebih besar dibandingkan dengan jumlah penderita DBD pada tahun sebelumnya. Jumlah penderita DBD berdasarkan data dari bulan Januari hingga Maret tercatat 17.820 kasus dengan total kematian mencapai 104 orang.
Langkah preventif sebenarnya sudah sering digalakkan oleh tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas, namun efektivitas dari upaya pencegahan seringkali tidak sesuai dengan harapan yang ada. Kendala utama seperti jangkauan wilayah, perilaku yang sulit berubah dan penanganan yang tidak tepat menjadi tugas besar yang harus diselesaikan secara bersama-sama.
Kita bisa mengambil contoh bagaimana aktivitas fogging oleh petugas di lingkungan warga. Pengasapan di beberapa selokan dan area perumahan justru tidak efektif manakala masyarakat tidak memiliki kesadaran untuk membersihkan area selokan atau menguras selokan sehingga air dapat mengalir dengan lancar.
Hal utama yang bisa dilakukan sebagai langkah pencegahan yaitu gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan metode 3 M Plus (Menguras atau membersihkan tempat penampungan air, Menutup rapat penampungan air, Mengubur atau mendaur ulang barang bekas yang menjadi tempat berkembangnya nyamuk).
Selain itu, untuk mendukung efektivitas gerakan maka di sosialisasikan penambahan aktivitas yang mendukung gerakan 3 M seperti menaburkan bubuk larvasida pada penampungan air yang sulit dibersihkan, penggunaan obat nyamuk, kelambu, pengaturan cahaya, dan ventilasi rumah hingga menghindari kebiasaan menggantung baju di kamar.
Apakah gerakan tersebut efektif?
Pertanyaan ini selalu menggelitik penulis yang juga seorang tenaga kesehatan. Harus diakui bahwa gerakan PSN ini tidak efektif manakala tidak didukung oleh stakeholder yang ada seperti pemerintah desa, tokoh adat, tokoh masyarakat juga tokoh agama.
Berhadapan langsung dan memberikan sosialisasi ke masyarakat bukanlah perkara mudah, kita akan dihadapkan pada latar belakang yang berbeda seperti tingkat pendidikan, ekonomi dan juga sosial kultural. Koordinasi lintas sektor akan menjamin pelaksanaan program.
Efektifvitas dari langkah yang kita berikan kemudian diuji sampai pada tatanan hidup masyarakat yaitu bagaimana upaya mereka menerapkan ilmu yang diberikan. Ada yang cenderung mengikuti namun kebanyakan hanya sebatas menerima lalu kemudian melupakan langkah-langkah pencegahan.
Hal itu terjadi karena kita cenderung menempatkan masyarakat sebagai klien namun melupakan bahwa ada unit terkecil yang perlu kita bina agar upaya preventif dan promotif bisa berjalan dengan baik dan lancar yaitu menempatkan keluarga dan individu sebagai klien.
Metode door-to-door dengan melihat secara langsung kemudian mendidik individu dan keluarga akan sangat efektif jika diterapkan.
Ada semacam pendekatan yang terstruktur dari kerja yang kita lakukan agar efektivitas program sesuai dengan harapan kita. Social planning memang baik namun alangkah lebih baik jika dibarengi dengan locally development dan social action secara bersama-sama.
Bagaimana upaya pencegahannya?
Inilah tugas bersama yang perlu dilakukan mulai dari diri sendiri, keluarga dan di komunitas kita masing-masing. Upaya pencegahan primer bisa dimulai dengan melakukan gerakan pencegahan sebelum wabah DBD itu datang.
Upaya tersebut bisa dilakukan dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) melalui gerakn 3 M plus juga melalui upaya membangun sinergi dalam komunitas untuk mengaktifkan kegiatan gotong royong.
Kegiatan gotong royong saat ini cenderung dilupakan oleh masyarakat padahal inti dari kegiatan ini adalah membangun bounding diantara individu-individu dalam komunitas untuk bersama-sama melakukan yang terbaik bagi lingkungan dan kegiatan sosial lainnya.
Jika upaya pencegahan awal sudah kita lakukan maka langkah selanjutnya dalam mendorong efektivitas PSN yaitu mendeteksi lebih awal sumber-sumber yang berpotensi meningkatkan terjadinya DBD.
Mendorong masyarakat untuk mau mengontrol kesehatan pada layanan kesehatan baik tingkat dasar dan menegah menjadi langkah terbaik untuk mengurangi risiko kematian.
Upaya selanjutnya yang bisa kita lakukan yaitu penanganan secara intensif pada pasien yang terjangkit DBD. Upaya mendorong pasien ke layanan kesehatan akan berpadu dengan upaya penanganan secara baik dan benar. Pemeriksaan laboartorium sangat diperlukan untuk mendukung efektifitas penyembuhan pasien DBD.
Strategi pelaksanaan
Jika kita ditakdirkan bekerja sebagai tenaga kesehatan di komunitas maka prinsip dasar untuk dekat dengan masyarakat yaitu mendatangi mereka, mendengarkan keluh kesah, dan berbicara dengan mereka (Group process).
Itu strategi awal agar kita mengenal dan dikenal. Langkah ini perlu dilakukan untuk mendukung sisi psikologi sosial antara kita dan masyarakat.
Kemudian dari itu kita bisa memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan. Hal ini dilakukan untuk mendukung efektivitas program yang kita berikan. Transfer ilmu harus didukung oleh individual action atau bahkan social action yang dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Hal terakhir yaitu kerja sama. Ini penting karena kita tidak hanya melibatkan individu dan individu atau kelompok dengan kelompok melainkan secara keseluruhan faktor pendukung yang mampu memberi pencerahan kepada komunitas untuk berbuat.Â
Ancaman akibat DBD tidak menjadi tanggung jawab kelompok saja jika virus tersebut menimbulkan korban jiwa melainkan stakeholder yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H