Mohon tunggu...
Akhir Fahruddin
Akhir Fahruddin Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

Live in Saudi Arabia 🇸🇦

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kisah Pekerja Migran yang Mengalami Gangguan Jiwa

9 Maret 2020   22:35 Diperbarui: 9 Maret 2020   22:33 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah 5 tahun ini, dia menderita sakit jiwa akibat permasalahan keluarga dan asmara.

Jiwanya sangat labil untuk menerima kenyataan bahwa pujaan hatinya telah mengikat tali perkawinan dengan orang lain.

Baginya ini tamparan keras, karena memadu asmara yang dipupuk selama beberapa tahun harus kandas di tengah jalan.

Itulah Susi (bukan nama sebenarnya) tinggal di kampung halaman. Wanita berusia 30 tahun itu pernah memadu asmara dengan seorang pria idaman yang ia anggap sebagai kekasih sejatinya.

Susi telah berniat menjadi Pekerja migran ke Arab Saudi karena berniat untuk segera menikah juga dimanfaatkan untuk membantu ekonomi keluarga.

Meski telah di ijinkan oleh kekasihnya untuk berangkat, Susi dengan niat yang tulus serta semangat untuk meningkatkan taraf hidup keluarga memutuskan berangkat bekerja dengan kontrak selama 3 tahun.

Waktu yang tidak singkat untuk mengumpulkan pundi-pundi uang agar acara sakral pernikahannya bisa dilakukan sepulang bekerja.

Perjalanannya menjadi TKI memang mulus. Singkat cerita, dirinya bekerja dengan majikan yang baik hati dan menjadi pekerja rumah tangga dengan gaji yang terbilang tinggi setara dengan gaji PNS Indonesia golongan 3 A.

Waktu berlalu kian tak bisa dibendung, kontrak pun hampir selesai. Sang ayah yang setiap saat meminta informasi tak sabar agar Susi segera mengirim uang untuk membangun rumah serta bisa membeli sawah.

Keinginan sang ayah tersebut tentu di kabulkan Susi dengan mengirim uang dari hasil penghasilannya menjadi Pekerja migran sesuai dengan apa yang diinginkan sang ayah.

Hingga beberapa bulan, waktu kontrak pun habis dan Susi siap pulang ke Indonesia, membawa sebagian uang yang dimiliki untuk membantu keluarga serta persiapan biaya perkawinannya.

Namun dalam perjalanan pulang ke kampung halaman, dirinya terkejut melihat kondisi rumah yang belum juga diperbaiki.

Dia berjalan menelusuri belakang rumah sambil diikuti oleh beberapa orang yang berbondong-bondong menyambut kedatangannya pulang.

"Kan saya sudah kirim uang untuk memperbaiki rumah dan membeli beberapa sawah," cetusnya dengan nada penuh percaya.

"Tidak Nak, uang untuk memperbaiki rumah dan membeli sawah sudah digunakan oleh bapakmu, entah untuk membeli apa," jawab ibunya dengan sedih.

Susi pun harus menerima kenyataan pahit itu. Dia tampak stres mendengar ucapan ibunya, hingga dia ingin berbagi dengan sang kekasih yang telah lama ia tinggalkan.

Tapi beberapa tetangga telah memberikan informasi bahwa sang kekasih telah menikah dengan wanita lain. Sontak dia berteriak sekras-kerasnya, kemudian pingsan selama beberapa jam.

Tubuhnya tidak mampu bangun dan matanya tertutup rapat seakan tak mengerti dengan apa yang terjadi.

Melihat kenyataan itu, dia tampat stres dan bahkan dari waktu ke waktu stresnya itu semakin bertambah parah. Dirinya kini tidak bisa membedakan yang baik dan yang buruk, yang pantas dan tidak pantas serta sering berbicara dan tertawa sendiri meskipun di setiap saat sering sedih dan marah.

Rupanya kini wanita tersebut telah mengalami gangguan jiwa. Berdandan pun sembarangan, tutur katanya kian tidak dimengerti, hingga keluarga terutama ayahnya ingin menyadarkan kembali bahwa uang yang digunakan sebelumnya untuk membeli kebutuhan keluarga.

Namun semua itu tidak mampu mengembalikan keteraturan isi pikirnya tentang fakta yang dialaminya.

Meski saat ini Susi berada di kampung halaman, namun sampai saat ini belum ada tenaga kesehatan yang mampu mengajak berdialog atau sekadar membantu keluarga untuk membawanya ke rumah sakit jiwa.

Secara kemanusiaan, hal tersebut sangat kompleks. Meskipun dalam beberapa hal, keluarga belum memiliki biaya yang cukup untuk membawa sang anak ke rumah sakit jiwa, tapi persoalan utama adalah tanggung jawab bersama.

Kepekaan untuk mengatasi permasalahan masih sangat kurang. Hal itu tentu didasari atas kepedulian dalam diri yang masih sangat lemah. Persoalan ini tentu menjadi tugas bersama agar permasalahan penanganan gangguan kejiwaan bisa diatasi bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun