Hingga beberapa bulan, waktu kontrak pun habis dan Susi siap pulang ke Indonesia, membawa sebagian uang yang dimiliki untuk membantu keluarga serta persiapan biaya perkawinannya.
Namun dalam perjalanan pulang ke kampung halaman, dirinya terkejut melihat kondisi rumah yang belum juga diperbaiki.
Dia berjalan menelusuri belakang rumah sambil diikuti oleh beberapa orang yang berbondong-bondong menyambut kedatangannya pulang.
"Kan saya sudah kirim uang untuk memperbaiki rumah dan membeli beberapa sawah," cetusnya dengan nada penuh percaya.
"Tidak Nak, uang untuk memperbaiki rumah dan membeli sawah sudah digunakan oleh bapakmu, entah untuk membeli apa," jawab ibunya dengan sedih.
Susi pun harus menerima kenyataan pahit itu. Dia tampak stres mendengar ucapan ibunya, hingga dia ingin berbagi dengan sang kekasih yang telah lama ia tinggalkan.
Tapi beberapa tetangga telah memberikan informasi bahwa sang kekasih telah menikah dengan wanita lain. Sontak dia berteriak sekras-kerasnya, kemudian pingsan selama beberapa jam.
Tubuhnya tidak mampu bangun dan matanya tertutup rapat seakan tak mengerti dengan apa yang terjadi.
Melihat kenyataan itu, dia tampat stres dan bahkan dari waktu ke waktu stresnya itu semakin bertambah parah. Dirinya kini tidak bisa membedakan yang baik dan yang buruk, yang pantas dan tidak pantas serta sering berbicara dan tertawa sendiri meskipun di setiap saat sering sedih dan marah.
Rupanya kini wanita tersebut telah mengalami gangguan jiwa. Berdandan pun sembarangan, tutur katanya kian tidak dimengerti, hingga keluarga terutama ayahnya ingin menyadarkan kembali bahwa uang yang digunakan sebelumnya untuk membeli kebutuhan keluarga.
Namun semua itu tidak mampu mengembalikan keteraturan isi pikirnya tentang fakta yang dialaminya.