Mohon tunggu...
Akhir Fahruddin
Akhir Fahruddin Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

Live in Saudi Arabia 🇸🇦

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Merawat Harapan "Dari Sumbawa ke Timur Tengah"

21 November 2019   08:00 Diperbarui: 21 November 2019   08:05 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada kesejukan dalam memandang alam sembari merefleksikan segala kenang dan juang. Di lain keadaan para petani mulai beranjak dari pangkuan menuju rumah kedua sebagai tempat menopang kehidupan, sesekali pedagang bakulan berteriak menjajakan kue tradisional, keluar masuk gang untuk mencari rizki. Dalam rentang masa waktu, beginilah suasana pedesaan, tidak ada yang berubah drastis, hanya saja disebagian jalan-jalan kampung sudah dimulai perbaikan, gotong royong masih dilakukan tiap juma'atan, bahkan yang tidak hilang adalah rembuk adat saat pesta pernikahan.

Meski baru saja lepas dari kategori daerah terpencil dari 10 Kabupaten/Kota yang ada di NTB, namun kehidupan masyarakat berjalan seperti biasa, tidak begitu banyak masalah, mereka terlalu jauh untuk peduli dengan inflasi, pertumbuhan ekonomi atau tax amnesty yang digalakkan pemerintah. Mereka juga tidak mengerti apa itu unicorn, tidak pula menonton avengers, mereka lebih suka drama di MTV dan mendengar lagu-lagu Rhoma Irama di radio.

Kedai kopi tiap malam selalu penuh hanya untuk mengobrol keadaan padi dan jagung yang ditanam atau masalah ternak yang melahirkan. Hiruk pikuk sistem politik sepertinya tidak tersentuh di mata batin mereka. Hal utama adalah menjangkau sejahtera menurut versi mereka dengan objek lahan pertanian, perkebunan dan peternakan yang menjadi idaman.

***   

Waktu berjalan begitu cepat, 3 tahun terlewati dengan sukses membawa ijazah kerumah, Memang cukup lega setelah diwisuda, apalagi melihat wajah orang tua yang gembira. Meski jauh dari sebutan berada, namun saya telah memulai dengan niat yang kuat dan hasilnya adalah purna dari perguran tinggi daerah.

Ditengah keadaan ekonomi yang papa, saya kembali membayangkan sekaligus merefleksikan jalan-jalan panjang perjuangan semasa kuliah. "Inilah hidup dengan segala dinamikanya" demikian pergumulan bathin saat itu. Menyadari kelulusan sebagai sukses utama memang menjadi dambaan ditengah banyak mahasiswa menempuh semester panjang bahkan drop out perkuliahan. Ini keberhasilan seloroh saya didepan cermin setengah retak yang ada dirumah. Masih ada usaha keras untuk mendaki lagi sampai ke puncak.

"Jika ingin bertahan dalam kesulitan maka rawatlah motivasimu" demikian pesan bapak sejak sekolah. Filosofi ini kemudian saya terjemahkan dalam kehidupan sehari-hari meski masalah datang dan silih berganti. Ada kekuatan yang membuat motivasi tidak boleh redup meskipun saya orang desa yang jauh dari fasilitas yang memadai.

***

Hari berlalu tanpa salam, waktu berputar tanpa tahu akan keadaan. Surat lamaran sudah disiapkan dari malam hari untuk diantarkan ke Puskesmas di pagi harinya. Saya menelusuri jalan-jalan pedesaan menuju tempat tujuan, tidak jauh, cukup berjalan 10 menit saja.

Pertama bertemu dengan Kepala Puskesmas sembari diskusi ringan tentang perkuliahan dan wisuda. Sesekali beliau bertanya tentang prestasi saat kuliah. Saya jelaskan hal-hal yang beliau tanyakan. Tanpa banyak permintaan, saya kemudian diterima dengan catatan tidak memprotes untuk diangkat menjadi pegawai dan bersedia tidak mendapatkan gaji atau meminta gaji sesuai upah minimum yang ada selama bekerja.

Tidak terpikirkan berapa yang akan saya terima, asalkan bisa bekerja, di lihat oleh orang tua dan sesama bahwa saya telah resmi bekerja sebagai perawat. Mungkin duka bagi jendela-jendela lain yang melihatnya, namun sekali lagi ini keadaan. "Ada Allah SWT yang mencukupi". Demikian kata-kata yang selalu saya sampaikan kepada ibu.

Tepat 8 september 2014, saya mulai bekerja. Orientasi ruangan dilakukan, pekerjaan di Puskesmas memang tidak seperti di rumah sakit, ada beberapa orang yang bekerja sembari memegang program seperti imunisasi, lansia, jiwa, penyakit menular dan tidak menular. Ada instalasi gawat darurat sampai rawat inap. 

Ini proses, saya menyanggupi sembari berfikir untuk mencari penghasilan diluar pekerjaan yang ada. Kami di kampung terutama perawat atau mantri biasanya berkeliling menelusuri hutan rimba, jalan perkampungan, sesekali ke rumah-rumah di pegunungan daerah transmigrasi untuk sekedar dipanggil melihat keadaan keluarga yang sakit, atau menelusuri pesisir pantai bertemu nelayan yang kadang menukarkan ikan dengan obat-obatan. Saya benar-benar merasakan kebahagiaan meski takarannya berbeda dari apa yang diharapkan kebanyakan orang. Hari-hari ini saya lalui dalam rentang waktu 8 bulan.

***

Tahun berganti sebagaimana mestinya, waktu berputar menandakan pergantian siang dan malam, proses perjalanan menuju Timur Tengah kini sudah menjadi kenyataan sejak April tahun 2015 memutuskan untuk mengembara meninggalkan desa. Langkah berani anak muda seumur saya membuat sebagian keluarga bertanya bahkan tidak percaya. Dengan modal nekat saya melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman di bagian Selatan Sumbawa, NTB.

Diantar kakak pertama menggunakan sepeda motor dengan menempuh jarak 3 jam ke Kota, disetiap tikungan dan tanjakan jalanan di pegunungan Lageni, angin segar menerabas penutup kepala standar yang saya pakai sejak kuliah dulu, jalan mulus yang baru diperbaiki sejak 10 tahun rusak parah mengiringi besi tua itu mengantarkan saya menuju cita-cita yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Dengan hanya membawa 4 baju dan 2 celana panjang serta jaket lusuh seadanya, saya merasakan aroma kemiskinan ini dengan penuh kesyukuran, masih ada peluang untuk maju selangkah atau melompat agar fase ini terlewati.

Saya mencium tangan orang tua untuk berpamitan. Sampai di kota, saya peluk erat kakak, uang seadanya di dompet hasil kerja dan pinjaman masih teringat hingga saat ini. Bibi yang kala itu menemani sampai ke pool travel memberi saya bekal seadanya. Memeluk segala harap untuk pergi menuju cita-cita guna memantapkan niat untuk mengikuti pelatihan di Indonesian Nursing Trainers (INT) Malang, Jawa Timur agar dapat bekerja keluar negeri.

Pasca pelatihan, tepat 18 Mei 2015, perjalanan dimulai ke orbit lain dunia ini. Saya membayangkan betapa perjalanan ini bukan hanya sebagai perjalanan untuk mencari jati diri tetapi lebih pada perjalanan spiritual menuju cita-cita sukses yang saya impikan. Tidak ada yang bisa diharapkan selain berusaha menemukan takdir itu kemudian mensyukurinya.

Setelah selesai ibadah isya di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, perjalanan menuju orbit lain pun dimulai. Tepat pukul 00.15, pesawat Qatar Airways membawa saya menuju belahan lain dunia ini. Keinginan untuk bekerja di Timur Tengah telah termotivasi setelah mengikuti pelatihan.

Motivasi internal dan juga eksternal telah mendorong saya untuk melangkah bahkan melompati fase-fase kedukaan hidup menuju fase keseimbangan dimana daya pikul dan daya tahan untuk berbuat dan bermanfaat bagi sesama menjadi langkah selanjutnya yang harus terlaksana.

Pertama kali menginjakkan kaki di Saudi Arabia adalah momentum dimana rasa dan harapan menjadi dua hal yang menyatu kemudian menjadi energi untuk tetap semangat meniti karir pekerjaan. Hari itu, 28 Mei 2015, senyum merona tampak dibalik pergantian musim dingin ke musim panas, ada yang membuat rindu tentang kampung halaman. Ini wajar, sebagian yang lain juga merasakannya.

Pertanyaan yang tersirat, bagaimana perjalanan ini selanjutnya? Pasrah akan kehendak untuk ditempatkan dimana saja menjadi keputusan yang haru kami ikuti.

Dikala itu, Riyadh baru akan memasuki musim panas setelah kurang lebih 5 bulan diselimuti musim dingin. Tiap waktu ibadah dimulai kami selalu menyempatkan diri untuk ke masjid, silaturahim dengan jamaah di masjid, sesekali beristirahat sambil berdiskusi dengan sahabat yang lain. Terik menyengat di luar seolah ingin menghentikan langkah yang ada, tapi saya kembali berfikir untuk tetap kuat.

"Perjalanan ini bukanlah akhir, duka dan lara di perkampungan jauh lebih sakit dari keadaan ini. Motivasi jangan sampai hilang hanya karena keadaan" seloroh saya saat itu.

Dua hari setelah itu dimulailah penempatan kami ke berbagai kota di wilayah Riyadh. Alhamdulillah, saya di tempatkan di kota Al Majmaah, Riyadh tepatnya di Pusat Rehabilitasi dibawah Kementrian Sosial Arab Saudi.

Kota yang terlatak diantara perbatasan Riyadh dan Al Qassim ini menjadi saksi bisu dalam memulai langkah sebagai perawat pemula, kota tempat kelahiran Menteri Luar Negeri Saudi Adel Al Jubaer ini begitu mungil namun tetap indah diantara deretan padang gersang, taman-taman kota dihiasi lampu juga rumput buatan. Kita bisa menempuh kota ini dari pusat ibukota sekitar 1,5 jam. Kota ini adalah takdir untuk mengenal sekitar, menyambung silaturahim dengan rekan sejawat dari Philipina dan India juga dengan tenaga kesehatan lain dari luar Saudi Arabia.

Perawat disabilitas, saya menyebutnya demikian. Pasien di tempat kami berjumlah 157 orang yang dibagi di beberapa ruangan. Ada ruang perawatan dasar bagi pasien yang baru masuk, ada ruang ICU bagi pasien dengan NGT, ada juga ruang perawatan lanjutan, ruang fisioterapi dan ruang isolasi.

Disinilah hari-hari terlewati, saya belajar dan mensyukuri. Pekerjaan yang kami lakukan tidak begitu sesibuk teman-teman di tempat kerja lainnya. Keceriaan, keikhlasan juga sentuhan merupakan komponen yang senantiasa melekat ketika berhadapan dengan pasien disabilitas. Kami hanya mempertahankan kehidupan pasien dengan tetap memantau segala kebutuhan dasarnya.

Sungguh tugas mulia, apalagi ditambah dengan kehadiran Dokter yang ada di tempat kerja, mereka sangat baik sekali, ada yang berasal dari Syriah dan Mesir.

Tiga tahun membersamai mereka, rasanya sungguh berbeda, pengalaman ini akan menjadi catatan kehidupan yang tidak akan pernah saya lupakan, segala duka dan nestapa tentu akan selalu ada, namun bahagia serasa lebih banyak diberikan Allah SWT kepada saya.

***

Itulah takdir yang telah dan sedang saya jalani hingga saat ini. Kesyukuran sebagai hamba yang lemah dan tempaan mental sejak kuliah membuat saya merasakan bahwa masalah hanya proses untuk naik kelas. Semakin tinggi pohon maka semakin kencang angin yang menerpa adalah adagium nyata untuk menguatkan daya tahan agar menjadi pribadi kuat dan kokoh dalam menggapai cita dan harapan.

Meski pada awalnya tidak ada keinginan menjadi perawat, namun profesi ini telah membuat langkah saya terbuka menuju hal-hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dulu hanya bisa menonton secara langsung sholat tarawih di masjidil haram, namun karena profesi ini, mengikuti langsung sholat tarawih di masjidil haram telah terlaksana bahkan umroh telah ditunaikan, sungguh segala Nikmat dari Allah SWT.

Proses menuju kebahagiaan ini tentu bukan jalan mudah, ada kesedihan, pesimisme orang lain terhadap kita, hinaan dan cacian yang disematkan kepada kita. Tapi semuanya bukan akhir dari segalanya. Proses-proses itu membuat langkah untuk tetap berjalan bahkan melompat dengan cepat dan lebih tinggi dari apa yang di impikan sebelumnya.

Mental ini yang sebenarnya ingin saya tularkan kepada perawat-perawat kita yang masih santai dengan ketidakpastian masa depan, pada perawat kita yang masih manja dengan hanya mengandalkan kekayaan orang tua, pada perawat kita yang berpraktik di jalan yang salah, juga pada perawat kita yang masih melihat kesedihan tanpa gerak dan perjuangan.

Betapapun kita terlihat stylish tetapi jika semuanya di dapatkan dari gaji orang tua, rasanya kehadiran kita bukan apa-apa. betapapun tinggi pendidikan kita, jika hanya untuk menjadi sombong dengan bekerja pada sistem yang diperoleh dengan cara kekeluargaan, kolusi atau nepotisme, sungguh tidak ada arti ilmu itu.

Bergerak menemukan takdir dengan perjuangan sugguh hal mulia, karena tidak hanya bahagia yang terasa tetapi juga kesyukuran karena kita punya Tuhan dalam setiap gerak dan langkah juga tarikan dan hembusan nafas.

Jadilah perawat yang mencerahkan, carilah penghidupan pada jalan-jalan yang baik, bergeraklah, berjuanglah untuk kebaikan diri juga berusaha menggapai eskalasi puncak titian yang diharapkan.

Kita tidak harus berfokus pada orientasi hidup tetapi juga pada daya pikul dan daya tahan yang ada karena tentu Allah SWT tidak pernah menciptakan masalah melainkan ada solusi yang menyertainya juga tidak menciptakan kesulitan melainkan juga diiringi dengan kemudahan.

Berhijrahlah, mereka-mereka yang berhijrah bukan karena orang lain tetapi karena nurullah yang terpancar kemudian menjadi kesadaran dalam diri untuk mau berbenah melihat peluang dan kesempatan yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun