Mohon tunggu...
Akhir Fahruddin
Akhir Fahruddin Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

Live in Saudi Arabia 🇸🇦

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membongkar Fragmentasi Akademik Kampus

19 Oktober 2019   13:25 Diperbarui: 19 Oktober 2019   13:49 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perguruan Tinggi | Sumber gambar: Okezone.com

Kampus sebagai pilar ilmu pengetahuan memiliki perangkat yang kuat untuk mendorong lahirnya generasi penerus. Identitas perguruan tinggi dalam setiap proses melahirkan generasi memiliki makna tersendiri dalam memaksimalkan lulusannya.
Dari setiap momentum aktivitas, berbagai atribut perguruan tinggi dijadikan indikator dalam meraih cita-cita akademik yang dilaksanakan.

Meski dalam pelaksanaannya perguruan tinggi memiliki peran dalam mendorong penguatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, tapi eksistensi lulusan menjadi hal mutlak yang harus tetap dijaga sebagai bagian dari identitas keilmuan serta nama baik kampus.
Upaya mewujudkan SDM kampus haruslah senantiasa ditopang dari elemen awal perekrutan sehingga dalam tatanan proses dan output mampu melahirkan iklim akademik dan peserta didik yang baik pula.

Sejauh ini kita masih menemukan berbagai kesalahan dalam melakukan rekrutmen pada tahapan awal pendaftaran mahasiswa baru di perguruan tinggi. Meski tidak semuanya demikian, namun kita cukup tergelitik dengan cara-cara negatif perguruan tinggi dalam menentukan masa depan kampus itu sendiri.
Upaya untuk mencari jalan lain nampaknya masih menjadi tradisi dalam perekrutan calon mahasiswa. Meski hal lumrah dan sebatas opini, namun  hal itu masih dianggap biasa dilingkup kehidupan bermasyarakat.

Fenomena di atas bisa menjadi bahaya laten bagi perguruan tinggi dalam upaya memaksimalkan lulusan perguruan tinggi itu sendiri.

Meski seolah-olah terlihat baik dan berjalan sesuai proses tapi semuanya tidak terlepas dari kegiatan negatif individual yang mencoba mengambil jalan pintas mencetak calon generasi yang instan.

Publik pun terdiam seolah-olah hal tersebut lumrah dan menjadi kebiasaan tanpa memikirkan pertanggungjawaban terhadap eksistensi nilai dalam lingkup kehidupan sosial nantinya.

Meminjam kalimat Van Peursen dalam ranah kehidupan budaya yang menegaskan bahwa kebudayaan tidak terlepas dari pola mistis, ontologis dan fungsional. Tatanan kebudayaan mistis mungkin telah lama kita tinggalkan karena abad 21 memberikan perubahan yang bermakna, namun di era modernisasi ini, kita masih terkungkung dalam pola ontologis dari pola pengembangan  pendidikan yang ada tanpa ingin melakukan perubahan pada aspek iklim kampus serta sistem yang dibangun di kampus itu sendiri.
 
Sadar Prinsip

Perguruan tinggi tentu memiliki landasan filosofi masing-masing yang menjadi cermin akan cita-cita maupun sumber daya manusia yang diharapkan oleh kampus. Namun tentu dalam pola manajemen kampus akan ada perbedaan sehingga keluaran atau lulusannya pun berbeda.

Geliat pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia saat ini tentu mengalami pergeseran dari lulusan yang mampu secara hard skill ditambah dengan pengembangan kemampuuan soft skill.

Pola pengembangan ini dirasa cukup baik untuk membangun prospek Indonesia ke depan. Pengembangan ini tidak pula lepas dari pengembangan dasar yang ditempa sejak awal yaitu membangun karakter individu itu sendiri.

Lulusan perguruan tinggi yang memiliki hard skill dan soft skill tidak akan lepas dari penerapan pendidikan karakter sejak awal. Betul bahwa karakter adalah pembentukan diri individu, tapi sejatinya karakter harus dididik sebagai landasan berbuat individu dalam mencapai hard skill dan mengasah soft skill yang dimilikinya.

Kurikilum Pendidikan 2013 menanamkan hal tersebut dengan membagi pendidikan karakter menjadi 3 ranah yaitu pendidikan karakter yang menumbuhkembangkan kesadaran sebagai makhluk tuhan, pendidikan karakter yang terkait dengan keilmuan serta pendidikan karakter yang menumbuhkan rasa cinta dan kecintaannya terhadap bangsanya sendiri.

Ketiga hal tersebut tidak semata-mata menjadi landasan mengawal proses pembentukan pendidikan karakter tapi jadi bagian membagun input, proses, output dan outcam SDM perguruan tinggi.

Prinsip dasar pendidikan adalah untuk semua (education for all), yang mencakup tidak adanya perbedaan dalam memandang semua golongan, baik identitas maupun etnisitas.

Oleh karena itu, maka akses pendidikan mulai dibangun dengan ketersediaan dan keterjagkauan pembiayaan. Program beasiswa menjadi wadah bagi peserta didik dalam memaksimalkan pendidikan yang ingin ditempuhnya. Kampus sebagai sarana utana harus mendukung dan mengupayakan pemenuhan beasiswa secara merata dan terbuka tanpa diskriminasi.
 
Pola dan Solusi
 
Sebagai rumah ilmu, pendidikan tidak terlepas dari hakikat humanizing of human yang dalam tatanan pelaksanaannya sangat kompleks. Perguruan tinggi yang memiliki marwah dalam mencetak SDM yang mumpuni tidak hanya bergerak dalam ranah bisnis tapi juga kemampuan memanajemen kampus, agar mampu bergeliat mensinergikan antara visi dan misi yang telah dicita-citakan.
Dalam hal ini, perguruan tinggi harus keluar dari fragmentasi akademik yang membuat iklim kampus tidak berkembang dalam kesadaran mencetak SDM yang baik.
Berikut merupakan langkah yang patut ditempuh, pertama, kampus harus mampu memaksimalkan potensi SDM bukan hanya sebatas menilai prestasi akademik tetapi juga non akademik.

Meski secara umum hal tersebut telah dilakukan, namun ada beberapa perguruan tinggi yang masih terkurung dengan idealisme dasar yang dibangun bahwa lulusan perguruan tinggi hanya melahirkan SDM yang sama tanpa memandang hakikat perbedaan tiap-tiap individu.

Di sini kampus harus mau dan mampu menampilkan prestasi-prestasi yang diraih oleh peserta didik dalam setiap kompetensi apapun yang diikutinya. Kemauan dan kemampuan tersebut dirasa perlu dalam memandang setiap kemampuan yang individu miliki, bukan sebaliknya melakukan dehumanisasi bagi peserta didik.

Kedua, kampus harus mampu membuka diri agar setiap komponen civitas akademika memahami bahwa apa yang dilakukan oleh kampus menjadi tanggung jawab bersama tanpa ada kecurigaan.

Semua komponen yang ada, baik pimpinan utama hingga dosen harus bisa membuka diri dan mau menerima gagasan yang bersumber dari seluruh elemen kampus, baik dari staf, mahasiswa hingga organisasi-organisasi di internal kampus.

Kesadaran untuk membuka diri sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kredibilitas kampus dan integritas lulusan.
Ketiga, kampus harus mampu memaksimalkan seluruh komponen civitas akademik dalam upaya melahirkan partisipasi di lingkup kehidupannya.

Kampus tidak boleh menerapkan prinsip otoriter dalam pelaksanaan sistem pendidikan, sebab ia mesti menghargai setiap masukan sebagai upaya perbaikan. Termasuk berbagai gagasan dan pemikiran yang berkembang di lingkungan civitas akademika.
 
Harapan Ke Depan
 
Untuk memaksimalkan hal di atas tentu kesadaran kolektif sangat diperlukan dalam menjamin mutu dan kualitas perguruan tinggi. Marwah kampus sebagai ladang pengetahun harus ditingkatkan dan menjadi bagian dari upaya membangun kultur kampus itu sendiri. Dengan begitu maka keterbukaan antar disiplin ilmu akan terjadi.

Terakhir, mengelaborasi ungkapan Ibnu Khaldun tentang generasi bangsa maka sesungguhnya generasi yang dilahirkan dari perguruan tinggi haruslah generasi pembangun dan pendobrak bukan generasi penikmat atau generasi masa bodoh. Identitas sebagai generasi yang baik harus tercermin pada nilai-nilai pendidikan yang diterapkan, iklim kampus yang terbuka serta partisipasi civitas akademik kampus bukan sebaliknya menerapkan prinsip otoriter, ketidakterbukaan serta minim partisipasi.

Jika merujuk kepada keniscayaan pendidikan sebagai bagian dari kemampuan menjawab persoalan kekinian maupun antisipasi masa depan, maka sudah seharusnya pola pendidikan perguruan tinggi diterapkan dengan sebaik-baiknya. Kesan institusi pendidikan yang menjadikan mahasiswa ibarat "mesin ATM" atau "pabrik gandum" yang siap diolah dan dicetak dengan sama persis harus ditingggalkan. Masa depan pendidikan haruslah tercermin dari input dan proses yang baik, sebab keduanya akan memberikan output dan outcome yang baik pula.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun