Meskipun muncul peluang bisa mendapat tambahan pendapatan baru dari hasil kerja paruh waktu tersebut, tapi hanya menunda dari kematian dan opsi dari tidak adanya kebijakan penghapusan tenaga honorer.Â
Situasi ini juga membingungkan para tenaga honorer, karena untuk selanjutnya pemerintah tidak akan sepenuhnya bertanggungjawab pada nasib mereka dan kekuatan atau kemampuan mereka bertahan dengan caranya itulah yang bisa membuat mereka tetap bisa hidup.
Pilihan Pemerintah saat ini adalah do something atau do nothing. Aturan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja sebenarnya adalah momentum yang baik bagi Pemerintah untuk memutus mata rantai persoalan sistemik kepegawaian yang telah terjadi menahun dari masa ke masa.Â
Paska diterbitkannya kebijakan Menpan tersebut, diharapkan sistem kepegawaian yang berkeadilan bagi pegawai yang mengabdi pada negara dapat tertata dengan baik.Â
Namun, yang akan menjadi tantangan adalah bagaimana Pemerintah mampu mengakhiri atau menghapuskan tenaga honorer tanpa merugikan hak-haknya yang bahkan tidak diatur secara jelas di dalam aturan-aturan kepegawaian yang ada, di samping pengabdian yang telah diberikan semisal oleh tenaga pendidik, tenaga kesehatan dan tenaga lain yang berada di daerah terpencil.
Inilah masalah yang paling membingungkan para tenaga honorer yang merasa hanya ditunda dan digantung nasibnya sesaat sebelum hilang sama sekali nantinya, dan mungkin dianggap kebijakan tanpa kejelasan dan kepastian.
Jika melihat surat Menpan RB Nomor: B/185/M.SM.02.03/2022, maka PPK perlu menyusun langkah strategis penyelesaian kepegawaian non-ASN yang tidak memenuhi syarat. Arahan tersebut cukup rentan, apabila PPK tidak bertindak bijaksana (wisdom) dalam mengatasi persoalan tersebut.
Memang tak bisa dijamian jika semua kebijakn telah berjalan akan timbul maslah atau tidak bagi Pemerintah dalam memutus mata rantai tenaga honorer ini, terutama bagi tenaga honorer yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi ASN/PPPK.Â
Salah satu solusinya adalah pemetaan bagi tenaga honorer, mana tidak memenuhi syarat agar tahu potensi tuntutan yang bisa dideteksi sejak awal agar tidak timbul masalah saat kebijakan ini mulai diterapkan.
Opsi lain yang ditawarkan melalui surat Menpan RB yakni melalui pengisian outsourcing  bagi tenaga lain (tertentu). Alasan yang cukup rasional untuk penerapan ini adalah adanya jaminan sosial yang lebih pasti, karena disandarkan kepada Hukum Ketenagakerjaan dan aturan turunannya, tapi semua itu butuh biaya. Pemerintah harus berhitung lagi untuk memastikan berapa keperluannya agar kebijakan tersebut dapat memberikan efisiensi atau justru menciptakan inefisiensi anggaran.
Bagaimana mekanisme mengganti tenaga honorer dengan tenaga outsourcing tidak merugikan hak para honorer termasuk jika mereka dialihkan menjadi pengisinya tersebut sebagai jaminan kelangsungan pekerjaan mereka.
Sinyal kebijakan afirmatif pengalihan tenaga honorer ke ASN/PPPK memang masih dilematis. Problem anggaran dan aturan kebijakan yang belum siap agaknya menjadi dasar kebijakan Pemerintah ketika memutusakan untuk menghapus tenaga honorer dan menyiapkan opsi yang serba tanggung untuk dijalankan. Apalagi sejak awal pemerintah mengatakan tak akan ada penghapusan tenaga honorer yang dikuatirkan bisa menimbukan gejolak.