Hal ini terbukti dengan belum adanya formulasi yang berkeadilan bagi para tenaga honorer di Indonesia, mulai dari dasar penetapan, penggajian/pengupahan, hingga pemutusan kerja (termasuk jaminan sosial). Semua tanpa kepastian, layaknya menunggu Godot.
Istilah ‘menunggu Godot’ berasal dari judul (naskah) drama dua babak karya Samuel Beckett. Mahakarya berupa drama absurd yang hanya menampilkan lima aktor itu berkisah tentang Estragon dan Vladimir yang sedang menantikan kedatangan Godot—sosok yang mewakili gagasan sentral yang notabene justru tidak pernah muncul sepanjang cerita.
Sebagai sebuah ungkapan umum, menunggu Godot kemudian diartikan sebagai menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Secara konotatif, ini bisa berarti sebuah kesia-siaan atau bisa juga ketidakmampuan (yang keterlaluan) dalam membaca situasi atau gelagat. Dengan kata lain: sebuah penantian konyol.
Ruang Kosong Dari Pemerintah
Pengangkatan tenaga honorer baik di pusat maupun di daerah sebenarnya dilatarbelakangi oleh masih adanya kekosongan di dalam pengisian sumber daya manusia di lingkungan pemerintahan, baik untuk pelayanan publik, administratif atau tenaga lainnya yang tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah melalui mekanisme perekrutan Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), termasuk para tenaga honorer guru.
Bahkan kekosongan itu juga termasuk di daerah-daerah yang memang tak terjangkau oleh Pemerintah di wilayah terpencil.
Pada prakteknya juga tak ada standar khusus bagamana tenaga honorer direkrut, tak ada keseragaman, sehingga menimbulkan disinformasi dan mindset yang salah dari sistem kepegawaian yang telah ada. Hal ini diperparah dengan sikap Pemerintah yang seakan-akan tidak segera mengakhiri kondisi tersebut dari masa ke masa.Â
Berbagai praktek terselubung juga menjadikan masalah tenaga honorer ini menjadi semakin berlarut-larut tanpa penyelesaian yang jelas.Â
Meskipun sebagian besar para tenaga honorer telah mengetahui konsekuensi yang diambil dari jalur perekrutan honorer, tentunya merasa masih memiliki harapan jika suatu saat akan diangkat dan dengan pengalaman masa kerjanya yang sebagian sangat lama, mungkin bisa menjadi alasan untuk segera bisa diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PPPK atas pengabdian yang telah diberikan.Â
Terlebih, ekosistem yang ada menuntut mereka untuk mengerjakan tugas yang tidak terlalu jauh berbeda dengan para ASN atau PPPK. Namun, kondisi yang ada terkadang tidak selalu sesuai dengan harapan karena beberapa batasan seperti umur, pendidikan dan kemampuan bersaing dalam proses seleksi. Akhirnya tuntutan akan bermuara kepada Pemerintah yang dianggap membiarkan semua proses ketidakadilan di dalam sistem kepegawaian terjadi pada mereka.
Besarnya Ruang Kosong Itu
instansi pemerintahan yang kosong dari tahun ketahun memang tak bisa ditutupi dengan cepat oleh pemerintah karena keterbatasan anggaran.Â
Kekurangan tenaga didalamBerdasarkan data Badan Kepegawaian Negara pada 31 Desember 2021, tercatat jumlah ASN yang berstatus aktif adalah 3.995.634 dan PPPK sebanyak  50.553, disebalik itu data belanja pegawai pusat dan daerah provinsi tak termasuk kabupaten/kota justru meningkat. Ini menjadi fakta yang aneh.