Jokowi datang sebagai sosok yang merepresentasikan wong cilik, dengan baju putih lengan panjang yang dilipat, suka musik rock, dan kebiasaan menyambangi pasar Solo sewaktu masih jadi walikota kemudian menjadi banchmark, trademark, cap, merek sosok pejabat yang baik harus go publik dengan blusukan.
SewaktuTapi itu dulu ketika medsos masih kalah gencar dari sekarang. Dan jika masih ada pejabat yang ikut-ikutan Jokowi masuk ke dalam got untuk sekedar "mengintip" tumpukan sampah, terlepas dulunya ada niat untuk pencitraan, tapi kini cara-cara itu sudah makin ketinggalan jaman.
Jika dulu orang rekaman butuh studio, kini dengan Artificial Intelengence bahkan suara Presiden Jokowi bisa ditiru. Maka di laman YouTube muncul coveran lagu dengan Jokowi sebagai artisnya. Bagi awam mungkin akan kaget, sejak kapan Presiden bisa dan sempat nyanyi, apalagi kompilasi lagunya di buat satu album.
Jika sedang viral lagu Makeba, maka segera akan keluar Makeba versi Jokowi. Intinya teknologi bisa memainkan semua kebutuhan seorang publik figur untuk tampil di muka umum tanpa perlu repot-repot lagi.
Jika di era Sergio Zyman beriklan bahkan harus sangat manual, termasuk membawa papan reklame di jalanan.
Ketika banyak orang di era kekinian mencoba-coba lagi meniru Jokowi dengan blusukan rasanya jadi sangat dibuat-buat. Ketika ada fenomena "copycate" blusukan, maka yang dibahas di medsos justru latar belakang bagaimana prosesi blusukan para pejabat itu dibuat.
Maka akan terlihat bahwa ternyata si publik figur tidak sendirian di lokasi dan tidak spontan bertemu masyarakat. Sebelumnya bahkan ada sesi persiapan lokasi, setting adegan, pemain figuran dan tentu saja pejabat asli.
Hasilnya kemudian di edit dan muncullah seorang pejabat yang sedang beraksi "sendirian" di tempat kumuh dan bertemu "spontan" dengan masyarkat pinggiran alias daerah urban.
Begitu juga dalam format yang lain yang berusaha tampil beda. Termasuk penggunaan pakaian sebagai simbolisasi "kelas". Seperti ketika Jokowi memakai baju putih, atau baju kotak-kotak yang populer di pakai semua orang, padahal sama sekali motifnya tak menarik. Tapi karena outfitnya di pakai calon presiden ketika itu jadi viral.
Saatnya Teknologi Mengambil Alih
Kini cara-cara blusukan sudah digantikan dengan kecanggihan teknologi, jadi apakah blusukan masih relevan di jaman kekinian?.
Dalam politik, strategi kampanye menjadi faktor penting dalam memperoleh dukungan pemilih. Salah satu strategi yang telah digunakan secara tradisional adalah "blusukan" di mana calon presiden (capres) berinteraksi langsung dengan masyarakat secara spontan.Â
Namun, dengan perkembangan teknologi dan pergeseran paradigma politik, muncul pertanyaan apakah cara blusukan masih relevan dan efektif dalam kampanye capres untuk Pilpres 2024.
Bagi yang pro, argumennya paling tidak bahwa blusukan masih terkait dengan;
Kedekatan dengan Masyarakat: Blusukan memungkinkan capres untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat, mendengarkan aspirasi mereka, dan memahami masalah yang dihadapi oleh rakyat. Ini dapat memberikan kesan bahwa capres peduli dan terhubung dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Membangun Kredibilitas: Melalui blusukan, capres dapat memperoleh pengalaman langsung tentang situasi riil di lapangan. Hal ini dapat membantu mereka memperoleh pemahaman mendalam tentang berbagai isu yang dihadapi oleh masyarakat dan memberikan kepercayaan diri dalam merumuskan solusi yang konkret.
Meningkatkan Dukungan: Blusukan dapat membangun kepercayaan dan memperoleh dukungan dari masyarakat yang merasa dihargai dan didengarkan oleh capres. Masyarakat yang merasa diwakili akan cenderung lebih termotivasi untuk memberikan dukungan dan memberi suara pada capres tersebut.
Argumen kontra tentu saja berlawanan, karena;
Efektivitas Terbatas, karena untuk skala nasional, blusukan mungkin memiliki keterbatasan dalam mencapai jumlah penduduk yang luas. Dalam kampanye capres yang melibatkan jutaan pemilih, waktu dan sumber daya yang dibutuhkan untuk blusukan ke seluruh wilayah menjadi sulit dilakukan secara efektif.
Â
Kemajuan teknologi, keberadaan media sosial dan internet merubah paradigama dalam berpolitik. Teknologi menyediakan perangkat yang menjadi platform yang dominan dalam menyampaikan pesan politik dan berinteraksi dengan pemilih. Kampanye capres modern cenderung mengandalkan strategi digital dan media sosial untuk mencapai khalayak yang lebih luas dan target secara lebih efisien.
Meskipun blusukan memiliki manfaat untuk mendengarkan aspirasi masyarakat, ada potensi penyalahgunaan dalam bentuk pencitraan semata. Capres dapat memanfaatkan blusukan hanya sebagai alat pemasaran politik tanpa niat yang tulus untuk memperbaiki masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Meskipun blusukan memberikan kesempatan bagi capres untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat, ada pertimbangan terkait efektivitas, perubahan paradigma politik, dan potensi penyimpangan yang perlu dipertimbangkan. Dalam era digital yang semakin maju, strategi kampanye capres akan terus berevolusi dengan penekanan pada penggunaan media sosial dan teknologi.Â
Namun, dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai partisipasi publik dan keterhubungan dengan masyarakat, blusukan dapat tetap menjadi elemen penting dalam kampanye capres, meskipun dalam skala yang lebih terukur dan terfokus.
Tapi jika "dipaksakan" justru menjadi terkesan pansos. Pansos adalah kependekan dari panjang sosial. Dalam bahasa Inggris, istilah ini juga dikenal sebagai social climber atau social climbing. Pansos adalah istilah populer untuk mendefinisikan orang yang suka berperilaku apa pun untuk membuat status sosialnya terlihat lebih tinggi.
Apakah itu artinya era blusukan sudah "mati"?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H