Sebagai pasangan, perempuan masa kini tak sepenuhnya menjadi penguasa wilayah domestik, Â dapur, sumur dan kasus. Tekanan ekonomi dan sosial yang menguat dalam dunia modern, menyebabkan lahirnya keputusan-keputusan yang jauh diluar dari apa yang pernah kita bayangkan sebagai manusia "normal" yang sesungguhnya.
Sementara faktor religiusitas sudah jauh dilampui oleh para pasangan modern. Sebagian dari mereka justru meyakini agama sebagai pelengkap penderita, bukan lagi sebagai dogma yang harus dipegang teguh.
Sebagaimana digambarkan oleh Armand Avianti; rumah saja telah menjadi sebuah tempat transit
. Saat ini orang dipaksa keluar dari rumah, terpental-pental dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat. Waktu-waktu menjadi denyut baru kehiduapn. Ruang-ruang jadi kabur. Kita tidak lagi tinggal di dalamnya, karena terus bergerak. Sesungguhnya kita telah lama jadi penghuni "waktu", sementara rumah telah menjelma sekedar menjadi sekadar "ruang transit". Rumah kehilangan batas definitifnya dan menjadi sangat elastis.
Kita punya ruang duduk di kafe-kafe berinternet, tidur di jalan-jalan dalam perjalanan pulang dan pergi ke kantor, menerima tamu di lobby-lobby hotel berbintang, makan malam direstoran-restoran yang berganti-ganti setiap kali. Dan kita hilang ingatan  tentang apa itu "rumah". Amnesia.
Setidaknya apa yang dikatakan Armand benar adanya, realitas saat ini telah bergeser jauh. Apa arti rumah pun juga merubah pandangan kita tentang apa arti keluarga.
Bayangkan jika kita memiliki anak ketika kita berada dalam situasi tersebut. Sesuatu yang absurd dan tidak mungkin, karena anak dapat menjadi kunci dan tali temali yang menghubungkan dunia luar kita dengan rumah.Â
Anak-anak dapat membalik keadaan. Karena rumah menjadi ruang dimana anak-anak kita tinggal, menunggu kasih sayang orang tuanya, meskipun sehari-hari di bantu para baby sitter menjaganya. Tetap saja anak-anak  menjadi pengikat hubungan emosional kita.
Beban, Kekurangan Atau Pilihan?
Seseorang yang berpikir bahwa anak hanya menyusahkan dan menjadi beban bagi sebuah hubungan, sebenarnya sedang menutupi banyak hal. Tentang ketidakmampuan memilikinya, ketidakmampuan memiliki komitmen ketika memiliki anak dan berperan menjadi sosok ibu dengan tambahan tanggung jawab baru.Â
Selain alasan masalah lingkungan, beberapa pasangan yang memutuskan untuk childfree, pada umumnya merasa tidak yakin akan kemampuannya dalam merawat maupun mengasuh anak. Sehingga hal tersebut pun menjadi suatu kekhawatiran bagi pasangan
Ada dua kasus yang saya rasakan langsung. Sebuah keluarga yang sudah puluhan tahun mengusahakan segala jenis teraphy, pengobatan dan poal hidup sehat untuk mendapatkan anak dengan harapan yang selalu dipenuhi suka cita dan semangat.
Namun disisi lain ada keluarga yang selalu berkomitmen bahwa anak hanya pembuat masalah dalam sebuah keluarga. Tanpa anak memungkinkan ia dapat mengambil keputusan apapun dan kapanku tanpa harus merasa terganggu. Namun dibalik keputusannya itu saya melihatnya sebagai sesuatu yang rapuh, dalam sosoknya sebagai seorang perempuan.
Menurutnya, anak-anak hanya "mainan" menyenangkan pada waktunya bermain, tapi akan menghabiskan waktu dan menyita seluruh perhatian jika harus dihadapkan pada kenyataan harus memilikinya sendiri dalam hidup mereka.
Childfree dan Problem Sosial Resesi Seks
Child free memiliki korelasi dengan apa yang sekarang ini menjadi fenomena baru tentang resesi seks. Dimana relasi-relasi hubungan untuk pemenuhan biologis manusia itu tak lagi didasarkan pada sebuah kebutuhan untuk mewariskan keturunan. Â Tapi hanya sebuah kesenangan semata.
Maka tujuan-tujuan dari pemenuhan hasrat biologis itu hanya berakhir pada pemenuhan hasrat semata. Dampaknya, seperti apa yang terjadi di Korea, Jepang, Â dan banyak tempat didunia, pertambahan jumlah pendudukan mengalami penurunan yang signifikan.
Apakah ini positif, bisa jadi ia dari kacamata program pengendalian jumlah penduduk. Intinya bahwa semakin besar natalitas juga akan berdampak pada kepemenuhan suber daya lainnya. Ini berkonsekuensi pada banyak hal seperti kebutuhan pangan, sandang dan masalah sosek lainnnya yang harus dihadapi oleh penduduk bumi lainnya.
Namun dari sisi pewarisan keturunan, hal ini menjadi persoalan tersendiri. Bagaiman jika bibit-bibit unggul pada sebuah ras akhirnya punah tanpa meninggalkan bibit pewaris trah. Demikian juga asal usul suatu bangsa punah karena ketiadaan pewarisan garis keturunan aslinya.