Dalam kekinian waktu, keputusan untuk menunda memiliki anak, bahkan memutuskan untuk tak memiliki anak menjadi sebuah fenomena yang tak asing. Rutinitas pekerjaan di dunia kosmopolitan yang sibuk, membuat banyak pasangan kesulitan beradaptasi dengan keinginan untuk memiliki anak. Â
Solusi pilihannya jatuh pada childfree. Sekalipun mereka mampu. Ini sebuah dilema, karena yang disebut sebagai pilihan terbaikpun juga memiliki konsekuensi. Dahulu patron berpikir orang tua didasarkan pada sesuatu yang bersifat kodrati, dimana perempuan yang telah memiliki pasangan, artinya memiliki peluang untuk bisa memiliki keturunan.
Anak juga menjadi penerus bagi kelangsungan trah dari sebuah keluarga. Namun terlepas dari karunia yang telah ditentukan oleh Tuhan Maha Azali, setiap perempuan bisa ditakdirkan menjadi seorang ibu, namun juga mendapat cobaan, lama kemudian baru bisa mendapatkan anak seperti impiannya. Â Atau lebih dari itu sama sekali tak pernah mendapatkannya, karena faktor genetik, penyakit, sesuatu yang diluar jangkauannya sebagai manusia.
Indonesia termasuk dalam negara pronatalis, yakni sangat percaya bahwa kehadiran anak adalah sebuah keharusan dalam pernikahan sebagai hadiah, ahli waris, dan penerus keturunan. Anak juga diyakini sebagai ikatan antara istri dan suami yang memungkinkan untuk meningkatkan kepuasan dan komitmen perkawinan.
Proceedings of the International Conference on Social and Islamic Studies 2021 berpendapat fenomena childfree bertolakbelakang dengan ajaran agama agar memperbanyak anak. Sebab, childfree berisi ajakan untuk tidak memiliki anak.
Sebagian yang pro berpandangan, jika secara kondisional lingkungan tidak memungkinkan memiliki keturunan, maka keputusan childfree adalah tepat. Begitu juga yang berkeyakinan jika tidak sanggup, atau tidak memiliki waktu dan komitmen memiliki anak, mengapa harus dipaksakan.
Dalam posisi tersebut, meski anak juga sebagai garis sebagai penerus trah, tapi juga dianggap penghambat dalam mewujudkan hidup lebih bebas tanpa tekanan. Termasuk karena faktor ketidakmampuan, secara psikologis, dan materi.
Tekanan dan Kodrat
Tak semua pasangan berpikir bahwa kehadiran bayi akan memberi kebahagiaan. Justru kebahagiaan itu diperoleh ketika tak ada tekanan, tak ada kekangan bergerak dalam wujud keberadaan anak.Â
Termasuk untuk meluweskan gaya hidupnya tanpa komitmen. Artinya bahwa kehadiran anak-anak justru akan menghalangi kebebasannya.
Belum lagi tekanan-tekanan yang menganggu secara mentalitas. Demi Moore mengalami apa yang dikenal sebagai Baby blues syndrome atau sindrom baby blues yang meyebabkan perubahan suasana hati setelah kelahiran berupa perasaan cemas, yang biasanya muncul sementara waktu yaitu sekitar dua hari sampai tiga minggu sejak kelahiran.
Penyebabnya dari kadar hormon ibu yang berimbas pada suasana hati dan emosi yang mudah berubah, bahwa tanggung jawab keseharian ibu tidaklah mudah, terutama bagi yang baru pertama kali merawat anak.
Ini adalah sebuah fakta bahwa tak seluruh perempuan ternyata siap menjadi pemilik momongan yang notabene diperjuangkan dengan hidup mati, Â untuk bisa mendapatkannya. Namun kehadiran justru menciptakan kecemasan dan kekuatiran tidak dapat merawatnya.
Di sisi lain kehidupan yang semakin sibuk menjadi salah satu pemicu mengapa pasangan modern memutuskan untuk tak memiliki bayi.Â
Secara perspektif gender ini juga menjadi salah satu poin yang menjadi diskursus. Merea berpandangan bahwa perempuan juga merasa bisa mendapatkan hak-hak tersebut dengan memutuskan untuk memilih childfree dalam seluruh masa hidupnya. Keputusan yang barangkali tak bisa dianggap sebagai penyimpangan, apalagi dalam perspektif gender, karena pada dasarnya itu bukan melawan kodrat semata tapi hanya sebuah pilihan. Sebuah kesetaraan perempuan dan laki-laki.
Keputusan itu sesungguhnya menutupi banyak hal. Tentang ketidaksiapannya memiliki komitmen sebagai sosok ibu karena secara mentalitas memang tak menghendaki adanya tambahan tekanan tanggungjawab, selain tekanan kerja yang sedemikian luar biasa.