Dulu sewaktu sekolah berkali-kali guru menasehati, "jangan jadi guru, gajinya kecil kerjaannya ngurus anak banyak. Mana rewel dan bawel lagi". Mungkin beliau bercanda.Â
Bahkan ada sebuah buku yang ditulis oleh seorang guru atau cek gu  di Aceh, berjudul ' Kan Sudah Saya BIlang Jangan jadi Guru". Untuk menegasi bahwa profesi guru itu tidak mudah.
Dahulu, gaji guru memang masih biasa-biasa saja, masih tak jauh seperti cerita Pak Oemar Bakrie yang jadi ikonik bagaimana dedikasi guru lebih besar untuk murid dan sekolah daripada mikir dirinya sendiri. Dengan bersepeda ontel tua, tas kulit yang tergantung di belakang sepeda. Oemar Bakrie seperti menjadi prototipe kesederhanaan seorang guru.Â
Kisahnya menjadi layaknya hikayat--epik kepahlawanan guru, pemantik semangat pembaharuan,
Tapi kini disrupsi merubah segalanya, guru menjadi profesi yang tak kalah saing dengan profesi lainnya. Penghargaan dan kompensasi yang diterimanya kurang lebih sebanding dengan kerja-kerja sebagai tenaga pendidik maupun kerja "tambahan" secara administrasi, karena sekarang banyak bahan mengajar dan laporan yang harus disiapkan oleh para guru selain mengajar.
Belum lagi tantangan mengajar yang masih berganti-ganti kurikulum, menyebabkan para guru seperti membaca buku tapi tak pernah tuntas karena selalu berganti-ganti isinya.
Memang semua dilakukan untuk perbaikan mutu dan kualitas pendidikan kita. Sejauh ini kita masih terus mencari rujukan atau pedoman, baik kurikulum maupun metode belajar mengajar yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan kita.
Kita sejatinya memang dalam kondisi transisi yang belum menemukan titik kulminasi, masih mencari-cari dalam kebingungan, apakah kurikulum yang tepat sebenarnya untuk model pendidikan di negara kita.
Bahkan mencontek gaya pendidikan Finlandia yang sudah matangpun tak semudah yang kita bayangkan. Karena bukan hanya persoalan kurikulum, metode mengajar, kualitas guru--tapi soal kesejahteraan para guru, kondisi sosek anak didik, peran negara yang optimal-termasuk tingkat kesejahteraan negara yang memungkinkan bisa berkontribusi maksimal.
Dunia pendidikan di Finlandia telah mengalami proses yang panjang hingga sampai pada situasi dan kondisi sekarang ini. Meskipun kekuasaan berganti, kurikulum nasionalnya tidak pernah berubah.
Sementara kita dengan kondisi pendidikan yang masih mencari bentuknya, dalam situasi pandemi yang lalu terasa bagaimana kepanikan ketika kita menggunakan kurikulum darurat, karena transisi disrupsi akibat pandemi yang cepat memaksa kita untuk menyiapkan model kurikulum yang sesuai dengan sikon.
Model pembelajaran kita, baru kini berlaku secara hybrid dalam dua bentuk pembelajaran. Kita juga menggunakan kurikulum merdeka untuk mendukung  gagasan pendidikan yang lebih memandirikan para siswa.
Mereka didorong agar lebih proaktif dalam kelas daripada membebek mengikuti instruksi para guru saja.
Tentu saja ini bukan persoalan agar beban kerja guru berkurang, namun lebih pada bagaimana mendorong anak-anak memiliki konsep belajar yang sesuai dengan harapan perbaikan kita ke depan. Anak-anak memiliki inisiatif yang lebih besar di kelas, dan metode ceramah kini juga telah jauh ditinggalkan.
Passion dan Kualitas Guru
Problem yang dihadapi dunia pendidikan kita sebenarnya, masih kurangnya tenaga pendidik di sekolah. Memang di beberapa sekolah terdapat kelebihan guru, namun di daerah-daerah yang jauh di wilayah 3 T (terluar, terjauh dan terdalam), justru sebaliknya, kebutuhan guru sangat kurang.
Selain kebijakan pemerintah yang masih lemah dalam menyediakan stok guru di daerah, banyak guru yang tidak bersedia atau enggan dan oga-ogahan mengajar di tempat terpencil.
Apalagi jika komitmen para guru sejak awal orientasinya " mata pencaharian", bukan sepenuhnya pada dedikasi sebagai sosok guru.
Tenaga guru yang kekurangan, selama ini diisi oleh para guru baru dan guru honorer, bahkan masyarakat yang berkomitmen menjadi pendidik, terutama yang terjadi di daerah terpencil. Banyak dari mereka berdedikasi luar biasa dan menjadi suluh bagi pendidikan kita. Mereka menjadi penjaga garda depan negeri ini dari bahaya buta huruf. Namun dibalik itu, tidak sedikit juga yang belum siap mental menjadi seorang guru.
Dalam peristiwa kekerasan yang bersifat kasuistik, kekerasan dilakukan oleh oknum guru terhadap para anak didik. Unjuk eksistensi dan ego personal, maupun ketidaksiapan mental menghadapi perilaku siswa  bisa jadi sebagai pemicu terjadinya kekerasan di sekolah.Â
Semuanya memang tergantung mentalitas dan personalitas setiap orang, namun juga harus didukung kesadaran untuk terus belajar menjadi guru yang baik, termasuk mengkondisikan mental sebagai guru.
Berbagai kasus insidental memperburuk citra para guru secara umum. Para guru sejatinya harus terus menjadi pembelajar untuk mengenali kepribadian siswa di kelas secara psikologis, kemampuan mengendalikan siswa di kelas, kemampuan berkomunikasi interaktif dengan siswa, penggunaan metode belajar yang tepat. Namun sebagiannya gagal dan justru menjadi "guru horor" yang menakut-nakuti siswa.
Memahami Psikologis Siswa
Pengalaman penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di kelas eskul, mendapati banyak anak-anak yang mengalami problematika rumit di rumah. Kegiatan sekolah menjadi salah satu bentuk alternatif pelarian dari rumah.
Mereka dibebani tanggungjawab yang terlalu besar urusan domestik, anak merasa ingin memiliki privacy dan kebebasan. Sementara orang tua berpikir semua jenis tanggung jawab yang dibebankan akan menjadi bentuk pembelajaran.
Ketidakharmonisan komunikasi, dan beda persepsi ini, ternyata berimbas pada sikap anak-anak di sekolah menjadi cenderung membangkang dan tidak patuh disekolah.Â
Dalam situasi ini kondisi akan makin memburuk jika para guru juga tidak memahami bagaimana sisi psikologis masing-masing siswanya.
Padahal pemahaman terhadap kondisi seperti ini menjadi salah sau jalan tengah yang mempermudah kita mencari solusi. Inilah yang sering tidak sinkron atau diabaikan oleh guru tertentu yang tidak memahami psikologis dan metode pedagogik yang benar. Kemudian menjadi akar timbulnya masalah seperti kekerasan guru kepada siswa.
Bahkan perhatian seorang guru terlalu yang fokus pada satu anak yang pintar di kelas saja dapat menciptakan kecemburuan, kesenjangan antar siswa. Ini juga sering menjadi problem klasik, yang menyebabkan komunikasi guru dengan siswa lain menjadi buntu.
Anak-anak cenderung bertindak memancing kemarahan guru, sebagai bentuk kekesalan atau pelampiasan ketidakpuasan pada metode mengajar atau pendekatan yang dilakukan dalam menyelesaikan konflik di kelas atau di sekolah.
Semoga kita menemukan solusi terbaik untuk masa depan pendidikan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H