Tentang politik bajak-membajak ini pada awalnya hanya isu yang beredar dikalangan terbatas, namun dengan munculnya peristiwa aksi unjuk rasa ribuan kades di depan Gedung DPR pada 16 Januari 2023 lalu, sekarang menjadi konsumsi publik di seantero Indonesia. Apalagi ketika jurus "Nabok Nyilih Tangan" dimainkan. Sehingga isu ini makin istimewa meski tak lagi rahasia.
Bahkan jika tidak mendapat pelarangan, manuver "9 Tahun Kades" dengan memanfaatkan tahun politik jelang Pemilu 2024 akan berlangsung lebih meriah. Apalagi saat Apdesi menggelar Silaturahmi Nasional (Apdesi) di Istora GBK, Jakarta Pusat. Momen itu menjadi momentum Apdesi mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi untuk menjabat 3 periode.
Rencana besarnya, Apdesi akan mendorong perubahan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 sehingga masa jabatan kepala desa yang semula enam tahun bisa menjadi sembilan tahun. Dengan demikian, kalau maksimal dua periode, kades bisa menjabat 18 tahun, atau tiga periode 27 tahun.
Dan berikutnya, isunya dikait-kaitkan dengan polemik yang sempat memanas tentang perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode. Namun deklarasi para kades ketika itu gagal dilaksanakan.
Mengapa polemik perpanjangan tiga periode seperti api dalam sekam?. Secara inplisit belum ada pernyataan penolakan dari presiden. Presiden hanya menyerahkan segala sesuatunya kepada mekanisme undang-undang. Dan hal ini kemudian menjadi sesuatu yang bias, karena undang-undang dapat dirubah dan tentu saja perubahannya itu akan berpengaruh kepada berubahnya aturan mainnya.
Siapa Di Balik Demo 9 Tahun Kades
Menurut sebuah sumber, tuntutan para kades tersebut muncul karena selama setahun terakhir sering digoda oleh PDIP dan PKB. Hal tersebut diungkap Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (MPO Apdesi) Asri Anas.
"Mohon maaf saya sebut saja dari PDIP dan PKB kalau reses tiba-tiba bicara kira-kira begini, "menurut kalian bagus enggak kalau masa jabatan itu dipanjangkan jadi 9 tahun?", kata Anas saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon pada 22 Januari 2023.
Tentu saja Anas tak sekedar asal bicara. Pada 22 Oktober 2022, Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Kepala Desa Provinsi Jawa Timur mengirimkan surat undangan perihal rapat koordinasi bersama politisi PDIP Hasto Kristiyanto.
Dalam surat undangan disebutkan, rakor tersebut untuk merevisi masa jabatan kades dari enam menjadi sembilan tahun. Dalam rakor yang digelar pada 6 November 2022 itu dihadiri lima kades untuk mewakili setiap kabupaten di Jawa Timur.
Hal yang mengejutkan adalah bahwa Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan disebut berada di belakang Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi). Anas mengakui bahwa Luhut sebagai ketua dewan pembinanya.
Didalam jajaran struktur kepengurusan Apdesi yang baru tercatat sebagai organisasi masyarakat (ormas) di Kementerian Dalam Negeri pada tanggal 28 Maret 2022, terdapat sejumlah menteri Jokowi lainnya. Diantaranya Menteri Desa Abdul Halim Iskandar dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebagai penasehat mereka.
Sehingga tidak mengejutkan jika Mendes begitu bersemangat mendukung manuver 9 tahun kades ini menjadi salah satu inisiasi yang katanya harus ditindaklanjuti mengikuti dinamika perubahan di desa. Meski Apdesi mengatasnamakan usulan ini adalah aspirasi internal organisasi massanya, namun banyak pihak yang menebak bahwa hal ini hanya sebuah titipan dari suatu kepentingan.
Lebih mengejutkan lagi sebagaimana pernyataan politisi PDIP Budiman Sudjatmiko, bahwa gayung  bersambut, karena Presiden Jokowi diklaim menyetujuinya. "Pak Jokowi mengatakan sepakat dengan tuntutan itu, beliau mengatakan tuntutan itu masuk akal ya, memang dinamika di desa berbeda dengan di perkotaan," kata Budiman kepada media pada 17 Januari 2023.
Dengan mudah dapat ditebak jika desakan perpanjangan masa jabatan kepala desa dikabulkan menjadi 9 tahun, Apdesi pun akan mendukung perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode.
Konstelasi Politik Baru
Namun dalam perkembangannya yang termutakhir, untuk Pilpres 2024, PDIP memiliki dua kader yang akan diusung sebagai capres, Puan Maharani dan Ganjar Pranowo. Jika rencana besar mendorong perpanjangan tiga periode melalui tangan para kades ini berhasil, maka kedua kader PDIP bisa dipastikan bisa batal melenggang.
Situasi inilah yang menggelisahkan PDIP, yang ternyata kemudian menolak keras perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode. Terlebih sempat terjadi "gesekan" dalam hubungan PDIP-Jokowi pasca puncak HUT ke 50 PDIP pada 10 Januari 2023 lalu.
Meskipun tak secara inplisit ditunjukkan dalam upayanya menjaga hubungan baik dengan PDIP sebagai partai pengusungnya, Jokowi juga masih dapat memainkan posisi king makernya, di satu sisi bisa mendorong capres pilihannya, atau mungkin dirinya, dan disisi lain juga mempertimbangkan agar legacynya bisa dijaga oleh penerus yang sehaluan atau satu hati dengannya.
Tapi dalam posisinya sebagai Presiden aktif, ia harus ekstra hati-hati agar tidak menimbulkan polemik baru, setidaknya agar tidak mengganggu tahun terakhir pemerintahannya.
Nabok Nyilih Tangan
Namun menariknya, apa yang kemudian dilakukan oleh PDIP adalah justru "membalasnya" dengan menggunakan tangan para kades sendiri untuk "menyelesaikan" masalahnya. Dalam pepetah jawa di kenal istilah "Nabok nyilih tangan." (Menggambarkan orang yang tidak berani menghadapi musuhnya dan meminta bantuan orang lain diam-diam.)
Kades, oleh PDIP, digoda untuk berunjuk rasa di Jakarta dengan tuntutan perpanjangan masa jabatan menjadi 9 tahun. Bahkan muncul juga gagasan dapat menjabat sampai 3 periode atau 27 tahun.
Tentu saja peristiwa ini langsung menjadi bancakan media yang paling hot, apalagi media sosial meresponnya dengan habis-habisan. Apa yang kemudian terjadi adalah back fire, ketika sejumlah elemen masyarakat menentang keras wacana perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun.
Bahkan efek burukpun mulai menjalar kepada para kades di berbagai daerah yang mendapat "serangan" dari publik, karena dianggap hanya mencari kekuasaan dan uang (tampuk dan tumpuk). Tuntutan para kades dipukul rata dan dipersepsikan buruk oleh masyarakat, bahwa semua kades diasumsikan sebagai pendukung tuntutan tersebut, dan dituduh diboncengi motif politis tertentu.
Kini isu itu tak lagi ekslusif, sudah menjadi rahasia publik. Siapapun menyuarakan pendapatnya soal ketidaksetujuan atas tuntutan yang dianggap mengada-ada, dan anti-demokrasi.
Jika sudah demikian, kemungkinan yang terbesar akan banyak disorot adalah dalang dibalik tuntutan dan Presiden Petahana juga akan terimbas. Apalagi jika terjadi sesuatu diluar prediksi, presiden menjabat untuk ketiga kalinya.
Namun pukulan ini bisa saja akan membuat dinamika Pilpres 2024 makin seru dan beda.
Pertama, Meski Presiden dapat saja melenggang maju, namun akan mendapat perlawanan dari publik, seperti ketika Jokowi di elu-elukan sebagai presiden pilihan rakyat, dibanding para calon lainnya, situasi bisa saja terjadi sebaliknya.
Kedua; PDIP meski menjadi pihak yang paling dikecewakan, mungkin akan tetap bersikukuh pada rencana semula mendorong dua capresnya Ganjar atau Puan. Dan melakukan negosiasi politik. Apalagi PDIP adalah penyokong Jokowi.
Ketiga, akan ada koalisi tandingan yang makin kuat untuk mendobrak hegemoni kuasa. Bukan tidak mungkin tiga kekuatan terkuat pengaruhnya saat ini Prabowo, Anies, dan bukan tidak mungkin Ganjar akan menjadi tandingan yang seru. Kecuali jika Ganjar bersedia menjadi pengantin pendamping presiden petahana. Meskipun ini riskan karena berasal dari parpol yang sama.
Bagaimanapun semua dinamika masih bergerak bebas. Kini publik juga makin kritis dan cerdas, apalagi dengan bantuan media mainstream, media sosial, semua gerak-gerik politikus bisa terdeteksi dengan lebih mudah. Tapi politik tetaplah politik, tetap sulit juga ditebak arahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H