Maka konstelasi politik di desa dengan cepat akan berubah. Para incumbent kepala desa memiliki peluang yang lebih besar karena sedang berkuasa. Dengan kuasa politik yang sudah dibangunnya, kades incumbent hanya tinggal memanfaatkan jaringannya untuk membangun ulang kekuasaannya. Baik diperangkat desa, para RT/RW, dan masyarakat yang mendukungnya.
Termasuk akses langsung dalam perumusan kebijakan di desa, dan penggunaan anggaran desa yang bisa di salah gunakan. Sementara para rivalnya harus memulai semuanya dari awal, membangun elektabilitas, mengumpulkan masa, berkampanye dan mengikuti "ritual" pilkades lainnya.
Bagaimana mekanisme kerjanya secara politis?. Tuntutan kenaikan masa jabatan para kades, selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan revisi UU, termasuk untuk para pejabat-pejabat lainnya untuk menyesuaiakan dan mengakomodir pejabat pemerintahan lain di atasnya. Maka selanjutnya giliran Camat, Bupati, Gubernur, DPR dan Presiden akan mendapat peluang yang sama sebagai efek domino dari kebijakan para kades tersebut.
Jika permohonan tersebut cepat direspons oleh DPR, secepat presiden menyetujui, plus adanya upaya untuk menunda pelaksanaan pemilu, bukan tidak mungkin konstelasi politik Pilpres 2024 berubah 180 derajat dan semua menjadi tak terduga. Bukan tidak mungkin muncul nama-nama capres baru.
Realitasnya membuktikan gayung bersambut dari parlemen dan istana. Dari parlemen, Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menerangkan bahwa Komisi II mendukung penuh revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Komisi II juga telah mengusulkan revisi UU tersebut untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI Periode 2019-2024 (Antara, 17/1 2023).
Fakta berikutnya adalah kemungkinan disetujuinya perpanjangan masa jabatan presiden sebagai efek domino dari kenaikan jabatan para kades. Meskipun ini baru sebuah rangkaian premis, namun sangat realistis dapat diimplementasikan. Tentu kita semua dapat menebak kemana arah perubahan politik tersebut terhadap Pilpres 2024.
Dan dalam situasi ini, yang diuntungkan secara politik adalah partai "pengayom" yang telah disebutkan Cak Nun dalam Sinau Kebangsaan dan Kenegarawanan itu. Bukan sebuah kebetulan belaka jika Presiden adalah salah satu kader terbaiknya.
Dan ini menjadi persoalan politik yang serius, karena para kades sampai menyuarakan ancaman, "Suara parpol di Pemilu 2024 nanti yang tidak mendukung masa jabatan Kades jadi 9 tahun akan kami habisi," seperti disuarakan oleh perwakilan para kades dari Pulau Madura, Jawa timur.
Jika dilihat dari rangakaian politiknya yang sangat kuat, ancaman ini bukan sekedar gertak sambal. Akan ada parpol kuat yang bersedia berdiri di belakang barisan para kades.
Bagaimana dengan Demokrasi?
Tentu saja tuntutan perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun bisa mencederai pembelajaran politik regenerasi kepemimpinan kita. Padahal demokrasi prosedural sudah mulai terlihat berjalan baik setelah dibenahi Pasca Reformasi 1998. Realitas ini seperti menduplikasi era Orde baru (Orba), ingin memegang jabatan seumur hidup.
Situasi ini juga memberi ruang bagi sebuah oligarki desa memegang jabatan penyelenggara pemerintahan di desa lebih lama, tapi makin rentan tindak korupsi. Hingga saat ini saja sudah tercatat 686 Kades yang menjadi tersangka korupsi.