Maka tak heran, setingkat presiden bisa saja menjadi tak jelas visi dan misi politiknya. Dari seorang tokoh populis bisa berubah menjadi sangat mahir bermain spekulasi politik. Tapi, itulah politik, tak ada teman dalam politik, begitu pesan Machiavelli karena begitu kuatnya pengaruh kekuasaan bisa merubah hati nurani menjadi culas dan jahat.
Sebagai konstituen politik tetaplah harus memiliki komitmen memilih, tidak justru menolak alias golput. Bagaimanapun akal sehat kita diperlukan untuk menentukan sebuah pilihan politik. Justru yang harus ditekankan adalah para pendukung politik fanatis yang harus mulai menggunakan akan sehatnya dalam berpolitik.
Pasti akan ada kekecewaan jika kita hanya menutup mata sebagai pendukung loyalis, jika ternyata kita cuma buih ombak  politik yang bisa digiring angin politik kemana saja. Para politisi, pejabat politik memiliki semua yang dibutuhkan para pendukung--uang, kekuasaan, cara menggiring orang, termasuk kekuasaan membayar para influencer mempengaruhi mindset berpolitik publik agar mengikuti arahan dan alur politiknya.
Memang tak mengherankan jika pada akhirnya para korban politik menjadi loyalis, fanatik gila, mendukung seorang calon, sekalipun pada akhirnya si calon politisi, dengan santainya berkoalisi, berkompromi dengan jabatan-jabatan politis dan kursi kekuasaan.
Jika kita telah biasa dipertontonkan tipu daya politik itu, mestinya tak perlulah lagi membodoh-bodohi diri dengan menjadi pendukung loyalis dan martir, jika ternyata kita cuma boneka. Tapi jika telah berhitung "untung rugi politik" dengan uang dan jabatan, kita mau bilang apa?.
Kata orang bijak, jika "orang gila" dilawan dengan kegilaan, akan sama kedudukannya--sama-sama gila!.
Pesan Najwa, sebenarnya adalah suara publik yang waras dan sehat pikir. Suara itu mewakili suara kritis dari kita semua, untuk menyikapi politik dengan cara lebih santun, tak keblablasan, apalagi sampai bodoh dan gila, bertengkar di media disaksikan oleh seluruh khalayak seluruh Indonesia dan media dunia.
Karena itu membuktikan bahwa, begitulah cara mereka berpolitik, dan begitulah watak mereka kelak ketika mengelola negara. Jika negara dikelola oleh para pemimpin culas yang didukung oleh pendukung yang bebal dan "terlalu cerdas politik", maka seperti saat inilah kondisi carut marut Indonesia.
Apakah harus menunggu Indonesia bubar dan membuat negara baru berisi orang-orang baik saja?. Atau apakah sebenarnya masih ada orang baik dalam politik?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H