ilustrasi gambar -ricuh di parlemen-kompas.com
Sebentar lagi pemilu, buat apa ribut sampai berdarah-darah kalau akhirnya yang bermusuh-musuhan bergabung dan bersatu atas nama negara. Jangan sampai baper memilih calon sampai berkelahi. Terkadang apa yang kita pikirkan, ternyata bukan yang "mereka" pikirkan. Jadi santai sajalah!.
Begitulah kurang lebih pesan Najwa dalam orasi politiknya di sebuah acara. Bukan sekedar benar pernyataannya, karena terbukti begitulah politik bermain dan dimainkan. Maka muncullah koalisi kamuflase, politik dagang sapi, konsolidasi politik atau apapun yang ditujukan untuk eufemisme atau penghalusan atas apa yang disebut oleh orang pintar politik sebagai barter suara dengan posisi kuasa penting.
Lingkaran Politik Tanpa Akal Sehat
Fenomena inilah yang sering membuat para pendukung parpol dan calon dukungan parpol menjadi bingung dan sakit hati. Lihatlah dalam ruang debat politik para pendukung seorang capres atau kandidat cagub, senator sampai harus bersitegang leher, siram-siraman air di forum resmi debat atau dialog, sampai harus mempermalukan diri karena menunjukkan jati diri seorang yang sentimentil atau temperamental.
Bahkan ada yang aneh, ketika seorang calon yang jelas-jelas punya riwayat korupsi atau sejenis collar white crime, teryata di bela mati-matian oleh para pendukungnya. Dan ketika pada akhirnya palu hakim memutuskan keputusan pengadilan tetap, maka si calon bukan di giring ke gedung dewan, tapi justru ke hotel prodeo.
Barisan pedukungnya justru melakukan kunjungan ke penjara sebagai bentuk dukungan moril, dan jika perlu berdemo untuk meringankan hukumannya. Atau jika terlanjur basah, maka ditunggunya si tokoh bebas dari penjara.
Sikap permisifme dalam politik kita memang bisa membuat kita hilang akal sehat. Menjadi gelap mata dalam menyikapi segala persoalan politik selama itu berhubungan dengan calon pilihannya.
Meskipun di baliknya kita meyakini ada "bayaran" balas imbal jasa politik yang telah tersedia, entah uang atau jabatan. Minimal masuk dalam lingkaran politik.
Lingkaran politik memang problem lingkaran setan yang membuat seorang tokoh politik berusaha untuk tak lepas dari kedudukannya. maka tak heran jika dalam dunia politik, para pemainnya adalah para incumbent yang itu-itu saja.
Jika didasarkan pada sebuah pemikiran, jika bukan "orang yang itu-itu saja" lantas siapa penggatinya?. Persoalannya adalah banyak politikus baik yang sulit masuk ke dalam lingkaran politik yang sudah terlanjur kotor. Untuk memasuki wilayah kotor itu para wakil baik harus membuang dulu para wakil kotor. Namun disanalah persoalannya, seolah dunia politik itu kotor dan hanya mereka yang memiliki watak sejenis itu yang "boleh atau bisa" memasukinya.
Tentu saja pendapat ini akan banyak dibantah, padahal realitasnya banyak benarnya sekalipun. Meskipun tak di-amini oleh para politisi atau para pejabat, namun siapa saja yang tidak menganut keyakinan Machiavelli akan sulit masuk atau sulit bertahan lama jika sudah berada di dalam.
Kucing Dalam KarungÂ
Jika pada awalnya seorang tokoh adalah tokoh populis, menjadi media daring, ketika masuk dalam lingkaran politik, pelan namun pasti akan terkontaminasi yang membuatnya bisa berubah haluan. Faktornya terlalu banyak, ada "pembisik" dan "influencer politik" yang bermain dalam lingkaran politik.
Maka tak heran, setingkat presiden bisa saja menjadi tak jelas visi dan misi politiknya. Dari seorang tokoh populis bisa berubah menjadi sangat mahir bermain spekulasi politik. Tapi, itulah politik, tak ada teman dalam politik, begitu pesan Machiavelli karena begitu kuatnya pengaruh kekuasaan bisa merubah hati nurani menjadi culas dan jahat.
Sebagai konstituen politik tetaplah harus memiliki komitmen memilih, tidak justru menolak alias golput. Bagaimanapun akal sehat kita diperlukan untuk menentukan sebuah pilihan politik. Justru yang harus ditekankan adalah para pendukung politik fanatis yang harus mulai menggunakan akan sehatnya dalam berpolitik.
Pasti akan ada kekecewaan jika kita hanya menutup mata sebagai pendukung loyalis, jika ternyata kita cuma buih ombak  politik yang bisa digiring angin politik kemana saja. Para politisi, pejabat politik memiliki semua yang dibutuhkan para pendukung--uang, kekuasaan, cara menggiring orang, termasuk kekuasaan membayar para influencer mempengaruhi mindset berpolitik publik agar mengikuti arahan dan alur politiknya.
Memang tak mengherankan jika pada akhirnya para korban politik menjadi loyalis, fanatik gila, mendukung seorang calon, sekalipun pada akhirnya si calon politisi, dengan santainya berkoalisi, berkompromi dengan jabatan-jabatan politis dan kursi kekuasaan.
Jika kita telah biasa dipertontonkan tipu daya politik itu, mestinya tak perlulah lagi membodoh-bodohi diri dengan menjadi pendukung loyalis dan martir, jika ternyata kita cuma boneka. Tapi jika telah berhitung "untung rugi politik" dengan uang dan jabatan, kita mau bilang apa?.
Kata orang bijak, jika "orang gila" dilawan dengan kegilaan, akan sama kedudukannya--sama-sama gila!.
Pesan Najwa, sebenarnya adalah suara publik yang waras dan sehat pikir. Suara itu mewakili suara kritis dari kita semua, untuk menyikapi politik dengan cara lebih santun, tak keblablasan, apalagi sampai bodoh dan gila, bertengkar di media disaksikan oleh seluruh khalayak seluruh Indonesia dan media dunia.
Karena itu membuktikan bahwa, begitulah cara mereka berpolitik, dan begitulah watak mereka kelak ketika mengelola negara. Jika negara dikelola oleh para pemimpin culas yang didukung oleh pendukung yang bebal dan "terlalu cerdas politik", maka seperti saat inilah kondisi carut marut Indonesia.
Apakah harus menunggu Indonesia bubar dan membuat negara baru berisi orang-orang baik saja?. Atau apakah sebenarnya masih ada orang baik dalam politik?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H