Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ketika Kritisme Publik Menguap, Menunggu Bjorka Bertindak

12 September 2022   21:00 Diperbarui: 17 September 2022   19:40 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi-dugaan penampakan bjorka-ragamindonesia.com

Tanda-tanda gairah publik mulai kendor, terlihat dengan intensitas pemberitaan dan respon publik yang mulai menganggap kasus kolosal polri seperti kasus biasa. Publik jengah dan bosan karena kasus diulur tidak jelas.

bjorka-1-631feebb04dff01b605c2572.jpg
bjorka-1-631feebb04dff01b605c2572.jpg
ilustrasi-Bjorka-oposisicerdas

Satu-satunya yang ditunggu adalah persidangan kasus nantinya. Hanya saja publik skeptis jika kasus akan memiliki perkembangan baru, apalagi mewakili keadilan yang diharapkap publik.

Kini penanganan sepenuhnya sudah masuk dalam wilayah internal--keterlibatan publik, seperti mendorong agar kasus transparan, agar tersangka terbongkar, termasuk juga motif, telah sampai pada anti klimaks, bahwa motif, skenario dan rekonstruksi meskipun memberikan catatan berbeda atas temuan fakta, termasuk bantahan beberapa saksi, namun seeprti telah "dikondisikan atau diskenariokan" akan menjadi versi yang berbeda.

ilustrasi-survey kontrol publik-kompas tekno
ilustrasi-survey kontrol publik-kompas tekno

Peran Publik

Diawal kasus merebak, ada yang bilang terbongkarnya kasus Sambo karena peran besar pengawasan publik ketimbang lembaga eksekutif seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), walaupun Kompolnas lah yang memiliki peran dan fungsi sebagai pengawas Polri. Contoh kecil walaupun Pak Mahfud sangat kritis tapi anggotanya di bawah terlihat sekali mengikuti apa yang justru salah dijelaskan oleh pihak kepolisian.

Kompolnas, Komnas HAM kena pranks karena menerima mentah, kabar dari sambo yang menjalar ke seluruh institusi, tapi dilakukan klarifikasi apapun, dasarnya kepercayaan dan kredibilitas para pemegang jabatan. Nyatanya, hal itu terbukti tak lagi bisa menjadi ukuran profesionalitas institusi Polri saat ini. 

Jika publik diam, pengacara atau kuasa hukum apra tersangka tak banyak koar-koar di media, maka kasus akan tenggelam menjadi kasus biasa. POlisi menembak polisi karena suatu alasan kejahatan dan begitulah akhirnya

Publik berada di seberang jalan, ketika pada akhirnya Polri lebih membela institusinya yang ternyata berisi oknum daripada membersihkan diri. Tentu saja ada yang memakluminya, apalagi dalam institusi polisi, korsa adalah "nyawa" yang harus dijaga. 

ilustrasi gambar-litbang kompas dan kontrol publik-kompas.com
ilustrasi gambar-litbang kompas dan kontrol publik-kompas.com

Kasus ini adalah ujian kepada komitmen dan ketaatan korsa pada tribrata--kepada nurani, kepada rakyat yang menjadi alasan keberadaan polri. 

Hal itu adalah keniscayaan yang tak boleh terjadi. Kepolisian harus mulai menumbuhkan kepekaan terhadap hal-hal yang bersifat penting dalam menjaga independensi kepolisian. Kepolisian tidak boleh jatuh di lubang yang keledai, setelah mengalami reformasi dan transisi perbaikan yang cukup positif melalui Polri presisi, karena itu bisa menjadi preseden seperti kejadian kasus Sambo.

Persoalan kultural, instrumental, struktural dalam kasus Ferdy sambo ini bukan hanya soal pembunuhan dan pembunuhannya juga direkayasa ditutupi dengan begitu canggih, sehingga seolah bukan seperti pembunuhan yang melibatkan begitu banyak orang tapi juga proses pengusutannya pun begitu lambat di awal.

Reformasi empat pilar oleh Kapolri sejak setahun belakangan langsung mendapat pukulan telak atas terkuaknya kasus Sambo. Sambo menjadi oknum yang menggambarkan betap buruknya institusi POlri saat ini. Sekalipun klarifikasi telah disampaikan, tak menutup adanya fakta bahwa institusi Polri telah mengalami "pebusukan" dari dalam yang dilakukan oleh para oknumnya.

Bayangkan saja, betapa kagetnya publik atas kemunculan diagram kejahatan yang diorganisir oleh kelompok layaknya mafia dan didalamnya terlibat para polisi senior--lepas dari benar atau tidak, itu menjadi catatan publik, bahwa institusi itu telah tercemar oleh oknum.

Kapolri berjuang ekstra keras dengan segala kesabaran dan kebijakannya untuk memutuskan apa langkah terbaik yang harus dilakukan Polri. Apa wujud reformasi berikutnya, apakah harus dimulai dari nol, bagaimana memberishkan institusi POlri dari "benalu" jahat yang menghisap kepercayaan publik yang selama ini semakin tumbuh, tapi hilang dalam sekejap.

Peran publik terhadap pemerintah tergambarkan secara umum, dalam jajak pendapat Kompas cukup menarik menjadi kajian. Seperti hasil jajak pendapat dalam Litbang Kompas pada 23-26 Agustus 2022, bahwa mayoritas publik (60,8 persen responden) menganggap pengawasan atau kontrol masyarakat terhadap jalannya pemerintahan semakin baik. Hanya 35 persen yang menyatakan sebaliknya dan ada 4,2 persen yang menjawab tidak tahu. 

Ada tiga bentuk pengawasan yang lazim dilakukan masyarakat sipil, dan yang dianggap paling efektif adalah kebebasan dalam mengekspresikan pemikiran atau pendapat di berbagai platform . Ada 81,5 persen responden yang menyatakan bentuk tersebut efektif dan sangat efektif, sedangkan terdapat 14,4 persen responden yang menyatakan tidak efektif atau sangat tidak efektif.

Jawaban ini ada kaitan dengan adanya kekhawatiran publik soal kebebasan berpendapat masih diintai oleh jeratan pasal-pasal dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, karena kasus penangkapan terkait UU ITE menjadi momok yang menakutkan, barangkali dalam kasus Sambohal sama juga bisa terjadi.

Masihkan Publik Punya Peran?

Menunggu babak akhir kasus Sambo yang semakin "membosankan" dengan cerita yang makin tidak jelas dalam artian skenario yang semakin aneh, perlakukan para tersangka yang melukai keadilan. Atau yang paling fatal begitu mudahnya skenario berubah, tapi berdasarkan pernyataan para tersanga utama yang bahkan kejujuran nuraninya diragukan setelah kebohongan beruntun sebelumnya.

Harapan pada RE dan RR kini semakin didukung publik, meskipun dalam faktanya peran mereka seolah dikecilkan. Tak terlihat bagaimana respon publik menanggapi bagaimana emosional dan depresinya RE ketika dalam rekosntruksi ternyata banyak fakta yang tidak sesuai. Apalagi ia berada dalam lingkaran tersangka utama dan di lokus kejadian.

Apa yang menjadi keberatannya semestinya menjadi hal yang harus dipegang oleh Polri, bahwa itulah fakta yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan. Kita bisa lihat bagaimana dalam rekonstruksi, RE memejamkan mata, ketika memperagakan posisi menembak Brigadir Joshua.

Apa kira-kira yang ada di bayangannya ketika itu, sedihkah, depresi-kah, ditambah pernyataan dari tersangka lain. Apakah ia membantah keras para bos besarnya yang berstatus tersangka?.

Apakah ia mendapat tekanan atas nama korsa, daripada mendorong kasus pada kebenaran.

Bagaimana publik bisa membantu RE dan RR menemukan kebenaran. Masihkan publik di dengar suaranya. Dipenuhi rasa penasaran, apakah sidang menjadi keputusan akhir, ketia fakta yang saat ini tak dipublish akan menjustifikasi kebenaran skenario para tersangka dan membenarkan tuduhan tentang adanya dugaan pelecehan.

Publik saat ini kuatir, persidangan hanya akan menjadi arena permainan--formalitas belaka. Dalam keprihatinan mendalam, terbersit pikiran--apa perlu menghiba pada Bjorka--bocorkan saja rahasia--terutama motifnya ?. Tapi apa bisa?.

referensi; 1,2,3, 4,5,6

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun