Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Minyak Untuk Presiden, Sebaiknya Kencangkan Ikat Pinggang, Bukan Menaikkan Harga

7 September 2022   10:50 Diperbarui: 17 September 2022   19:44 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasigambar-kenaikan BBM-liputan6.com

Memahami paradigma energi murah, ketergantungan energi dan kekuatan energi sebagai penyokong kelanjutan hidup negara memang rumit dan bikin sakit kepala.

Beberapa pandangan menarik termuat dalam buku "Minyak Untuk Presiden" karya Pria Indirasardjana  yang tak sengaja saya temukan di walkingbook library. Jadi, apakah kita masih akan bertahan dengan paradigma energi murah?. Apakah kita masih akan bertahan dengan penguasaan sumber minyak? Inilah bagian dari pesan dalam buku itu. 

Harapan pada pemimpin Indonesia ke depan adalah perbaikan pengelolaan migas dan energi nasional dan menjadi kesimpulan tentang penekanan penyelesaian permasalahan migas. Harapan yang menekankan pada kesadaran akan krisis energi, upaya membangun kekuatan migas, sampai kepada pengembangan energi alternatif sebagai kebijakan jangka panjang dan bukan kebijakan sporadis dan populis semata. 

Muatan itu sesuai dengan persoalan migas yang sedang dihadapi saat ini. Ketika per tanggal 3 September 2022 lalu, pemerintah memutuskan menaikkan harga Pertalite, Solar, dan Pertamax. Padahal ekonomi sedang "anemia"--lesu darah paska melandainya pandemi Covid-19 kemarin. Apakah tidak sebaiknya dikaji kembali untuk membatalkan kenaikan harga BBM, sebagai solusi terbaik?.

Kencangkan Ikat Pinggang, Bukan Menaikkan

Sebenarnya alasan klasik BBM subsidi hanya dinikmati orang yang mampu saat menaikkan harga BBM, sudah digunakan pemerintah sejak 2014. Alasan yang sama dan terus diulang, bukan mengatasi masalah pada substansi tapi hanya solusi sesaat. Dampak ikutannya justru sangat luar biasa, bikin perakporanda ekonomi. Proses transisi ekonomi kita akan mendapat ganjalan, apalagi ada 64 juta UMKM yang sedang berjuang .

Pemerintah tetap saja menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), meskipun mendapat banyak tentangan, terutama karena alasan 70% subsidi BBM dinikmati kelompok masyarakat mampu, dianggap tidak tepat dan salah sasaran".  

Jika analoginya adalah penyakit kanker, kita hanya mengobatinya saja, tapi tidak melakukan tindakan operasi untuk mengatasinya. Bahkan menurut para pakar, kebijakan pemerintah saat ini ibarat, menderita penyakit flu tapi yang diobati justru penyakit panu-nya. Sebut saja pilihan pemerintah itu "kebijakan Jaka Sembung". Jika bisa ketatkan ikat pinggang pembatasan pemakaian BBM, mengapa harus menaikkan?. Ibarat pepatah "Buruk Muka Cermin Di Belah".

Alasannya adalah peningkatan tajam anggaran subsidi dan kompensasi tahun anggaran 2022 dari yang awalnya Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun. Menurut pemerintah ini akan menguras cadangan dana.

Menurut Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira, pemerintah harusnya melakukan pembatasan dan pengawasan ketat dalam penyaluran BBM, bukan menaikkan harga. Justru yang terjadi kesalahan pemerintah dalam pengelolaan, pembatasan hingga pengawasan BBM, kini dipindahkan bebannya kepada masyarakat.

Solusi menaikkan harga di tengah gagalnya upaya pemerintah dalam mengontrol penggunaan BBM, merupakan mekanisme yang tidak kreatif dan tetap akan membuat APBN jebol. Tidak adanya upaya perbaikan pendataan ataupun pembatasan yang tepat dan tegas. 

Kasus pertalite misalnya, akhirnya digunakan semua kalangan, sementara solar bocor ke industri yang tidak berhak. Maka pemerintah kembali lagi merasakan dampak akibat kebijakannya sendiri yang salah.Kali ini kesalahan itu sekali lagi ditimpakan kepada masyarakat lagi-lagi dengan kebijakan menaikkan BBM.

Kesalahan pemerintah lainnya adalah melihat persolan subsidi sebagai akar masalah, padahal subsidi BBM tidak hanya sekadar dilihat dari nilai transaksi jual beli di SPBU, tapi pengaruhnya terhadap perekonomian yang melindungi kelompok miskin. dalam hal ini pemerintah diangap tidak peka dan mau menang sendiri, seperti disampaikan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter A Redjalam.

Kenaikan harga BBM memang memberikan sedikit solusi bagi persoalan minyak kita, namun sekarang pemerintah justru terbebani dengan dampak kenaikan itu terhadap kemampuan daya beli (purchasing power), karena tingkat pendapatan yang nilainya secara riel menjadi turun, dibandingkan dengan dampak kenaikan harga-harga barang yang bergerak simultan.

Sekalipun di awal mendorong kebijakan ini pemerintah katanya akan berhati-hati mempertimbangkan kemungkinan dampak terutama kenaikan harga-barang-barang termasuk sembako, dan bagaimana mengatasainya dengan kebijakan ikutan yaitu, penyaluran BLT. Tetap saja itu hanya ibarat memberi ikan, bukan pancing dan dalam waktu singkat BLT akan segera habis begitu diterima, namun bulan-bulan berikutnya dan seterusnya, rakyat akan terbebani dengan kenaikan harga yang jamaknya bisa meningkat lebih dari satu kali.

Padahal ekonomi kita dan dunia saat ini masih dalam proses transisi paska dihantam pandemi covid-19 sejak akhir 2019 silam. Sehingga ekonomi masyarakat yang sedang sulit justru makin sulit.

Nah dalam situasi sulit tanpa pilihan, masyarakat terpaksa menerima keputusan kenaikan harga BBM, meskipun BLT Rp. 600.000,- hanya untuk bertahan selama satu bulan. Jika menolak BLT sebagai bentuk protes, tak ada pilihan lainnya untuk saat ini.

ilustrasi gambar - daftar tarif BBM baru - cnbc
ilustrasi gambar - daftar tarif BBM baru - cnbc

Alternatif Solusi

Keluhan masyarakat bawah yang muncul adalah "pemerintah yang salah kalkulasi, tapi rakyat yang menanggung". Dasar analisisnya, kenaikan harga BBM akan menyedian ruang fiskal lebih bebas untuk belanja produktif, termasuk melakukan perbaikan dalam sasaran penggunaan BBM.

Dari sisi angka, Kementerian Keuangan mengatakan, risiko beban subsidi tanpa kenaikan harga adalah Rp698 triliun hingga akhir tahun, padahal alokasi yang tersedia sekitar Rp502 triliun.

Kini setelah harga BBM subsidi dinaikkan, anggaran untuk BBM diprediksi tetap membengkak menjadi Rp650 triliun - meningkat lebih dari empat kali lipat dibanding anggaran APBN 2022 sebesar Rp152,5 triliun.Perkiraan subsidi itu dihitung berdasarkan kuota Pertalite 29 juta kiloliter dan solar 17,4 juta kiloliter, harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang.  

Itu artinya selisih anggaran BBM dinaikkan atau tidak tetap berada di bawah Rp50 triliun.  Artinya tetap saja terjadi pembengkakkan, jadi kenaiakn BBM bukan solusi cerdas dan tepat, justru memperumit masalah ekonomi nasional kita.

Menurut pengamat ekonomi energi dalam berbagai sumber, keputusan menaikkan harga BBM merupakan bentuk ketidaksesuaian antara masalah dan solusi, dan tidak akan menuntaskan akar masalah kecanduan BBM. 

Kekuatiran kita dalam situasi transisi ekonomi, akan ada dampak ikutan terhadap 64 juta pelaku UMKM yang sedang bergerak menuju ekonomi normal, sehingga akan menjadi pukulan yang sangat disayangkan, namun seperti diabaikan oleh pemerintah.

Solusinya, pertama; mestinya pilihan pemerintah tetaplah melakukan pengetatan pengawasan yang risikonya lebih rendah daripada menaikkan BBM seperti saat ini. 

Menurut Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira, dengan pengetatan pengawasan BBM, pemerintah masih memiliki ruang fiskal dalam menjaga harga BBM. 

Atau kedua; memilih solusi memangkas anggaran hingga, ketiga; membubarkan kementerian atau lembaga yang menjadi beban negara. Atau keempat; memangkas proyek-proyek infrastruktur yang masih dalam tahap studi kelayakan, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan dalam internal pemerintah.

Cara lain, kelima;  adalah melakukan renegosiasi utang melalui DSSI (Debt Service Suspension Initiative) dalam G-20. Jadi sebenarnya banyak cara kreatif yang dapat dipilih daripada kebijakan tidak populis dan "seperti tindakan bunuh diri" saat ini.

Direktur Riset CORE Indonesia, Piter A Redjalam menilai, pilihan pemerintah mendasarkan kenaikan BBM pada masalah subsidi juga tidak pada tempatnya dan salah kaprah. Alasannya, ini adalah bentuk komunikasi yang salah, bahwa penikmat subsidi sebenarnya adalah kalangan rakyat kecil.

Jadi cara menikmati subsidi BBM tidak harus membeli BBM. Lebih dari itu, subsidi berperan membuat inflasi relatif, harga tidak melonjak, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dan terbuka lapangan kerja. Inilah dampak positif yang selama ini dinikmati kelompok miskin. Inilah logika sehat yang sebenarnya harus dipahami oleh pemerintah.

Anggaran subsidi dan kompensasi akan jauh lebih bermanfaat apabila dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Menurut Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Dana Rp502 triliun kalau dipakai bangun rumah sakit dapat 3.000, bangun sekolah dasar dapat 227.000, atau dapat 41.000 puskesmas. 

Atau kalau dipakai untuk jalan tol dapat 3.500 km jalan tol. Mengapa pemerintah tidak berpikir sejauh itu?. Siapa yang harus disalahkan?.

ilustrasi gambar - mobil LGCC - tirto.id
ilustrasi gambar - mobil LGCC - tirto.id

Dampak Terhadap LGCC

Harusnya pemerintah kritis dan berempati dengan kondisi perekonomian saat ini. Intinya kebijakan pilihan pemerintah semestinya harus mengetatkan pembatasan dan pengawasan penggunaan BBM, sehingga beban subsidi dapat diminimalisir, tanpa perlu menaikan harga BBM. Contoh, tetapkan pembatasan Pertalite dan solar hanya untuk sepeda motor dan angkutan umum. Lalu masyarakat mampu itu dipaksa migrasi ke Pertamax.  

Penetapan ini secara spesifik juga akan berdampak pada jenis kendaraan apa saja yang boleh mengisi BBM jenis pertalite, dan jenis apa yang tidak.

Nah bagi para pengguna kendaraan atau bagi calon pemilik kendaraan terpaksa harus mulai berpikir bagaimana caranya bertahan dari kebijakan pemerintah yang tidak populis dan tidak pro rakyat ini. 

Menunggu demo akan berdampak menurunkan harga BBM juga belum ada kepastian. Bahkan barang yang sudah terlanjur naik harganya, sering tak bisa turun. jadi lebih bijaklah  memilih kendaraan sebagai salah satu solusinya.

Terkait kemunculan wacana baru pelarangan sejumlah jenis mobil yang tak lagi diperkenankan untuk mengisi BBM jenis Pertalite, patut di jadikan perhatian serius. Bahwa mobil dengan mesin berkapasitas di atas 1.400 CC, dilarang menggunakan BBM jenis pertalite.

Lantas mobil jenis apa saja yang bisa masuk antrian BBM jenis pertalite?, yang jelas pastilah yang menggunakan mesin di bawah 1.400 CC. Itu bisa dipastikan jenisnya adalah yang masuk kategori low cost green car (LCGC). Mobil LCGC adalah mobil-mobil kecil dengan kapasitas mesin biasanya di bawah 1.400 CC.

Meski hati menolak kenaikan BBM, tapi apa daya "pemerintah tak peka" , bersabar menunggu, semoga ada itikad baik pemerintah merespon permintaan rakyat banyak. Memilih bijak membatalkan kenaikan BBM dan mengetatkan pembatasan penggunaan BBM sesuai peruntukan dan kebijakan subsidi, bukan main pukul rata seperti sekarang.

note: merundung--[merundung] Arti merundung di KBBI adalah: mengganggu; mengusik terus-menerus; menyusahkan. 

referensi: 1, 2, 3,4,5

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun