Persoalan dilematis model ini sebenarnya bukan sekali ini saja terjadi. Dalam kasus besar pengeboman WTC yang menjadi kartu bebas visa bagi negara adidaya Amerika bersama sekutunya bisa masuk ke negara manapun dalam upaya pencarian para teroris, juga mendudukan banyak negara dalam posisi dilematis yang sama. Siapapun yang menolaknya, akan berhadapan langsung dengan mereka sebagai pihak yang berlawanan.
Termasuk soal ratifikasi perjanjian net zero emission, melalui Paris Agreement (2015), meskipun kelahirannya menjadi cara menyelamatkan bumi di masa depan, namun dalam realisasinya juga akan mendorong perang baru dalam penyediaan material tanah jarang (rare material), yang saat ini dikuasai oleh China.
Sebuah kekuatan adidaya baru yang tengah terus ber-evoluasi dan merangsek posisi para adidaya yang sudah mapan seperti Amerika. Amerika juga memiliki ketakutan baru terhadap kehadiran China secara politis dan ekonomi.
Apalagi China tengah membangun kembali "Jalan Sutra" versi baru, sebagai jalur penyambung kesuksesannya sebagai penguasa dunia di masa lalu. Saat ini bahkan China telah merambah Benua Afrika, yang selama ini tak pernah dilirik Amerika dan sekutunya sebagai basis kekuatan pasar mereka.
Jika Indonesia hanya beralasan dengan menegaskan bahwa Acara Presidensi G20 adalah forum ekonomi dan tidak ada kaitan politik, tetap saja akan mendapat tekanan dan penolakan dari pihak Amerika dan sekutunya, karena Amerika memaksakan kehadiran Ukraina sebagai pengamat.
Di sisi lain juga menolak kehadiran Rusia, dan berusaha mengeluarkannya dari keanggotan forum tersebut. Sedangkan sebagai bentuk perlawanan dan komitmennya sebagai anggota aktif G20, Rusia justru sejak awal telah menyatakan kehadirannya di forum tersebut.
Sehingga jawaban dari pemerintah Indonesia akan berdampak langsung pada kedua negara. Menciptakan konflik segitiga baru, dan kali ini Indonesia terlibat di dalamnya. Dalam situasi ini Indonesia jadi merasa makan buah simalakama.
Jika memilih menghadirkan Rusia, maka Ukraina juga harus hadir, jika tidak, apalagi ancaman yang akan diterima Indonesia sebagai tuan rumah G20?. Apakah Indonesia memiliki kedaulatan untuk bersikap, dengan memilih Rusia dan Ukraina untuk tidak hadir dalam forum tersebut?.
Bagaimana jika Amerika dan negara sekutunya memboikot pertemuan G20, apakah berkonsekuensi pada keberlanjutan kerjasama mereka secara ekonomi. Bagaimanapun Indonesia juga tergantung pada beberapa impor komoditi penting dengan Amerika dan sekutunya di Uni Eropa.
Bahkan konflik Rusia-Ukraina pada akhirnya bisa mengganggu konsumsi tempe kita, jika Amerika ikut meng-embargo impor komoditinya kepada kita. Seperti halnya kejadian kenaikan harga kedelai yang baru saja kita alami dan menyebabkan seluruh pengusaha tempe dan sejenisnya berhenti produksi. Demikian juga dengan pihak Rusia, dalam jangka panjang Indonesia, mungkin juga akan memiliki kebutuhan pasokan gas dalam jumlah lebih besar lagi. Jika Rusia juga meng-embargo impor gas kita kepada mereka.
Indonesia mungkin harus menggunakan kesempatan dalam beberapa bulan mendatang untuk melakukan negosiasi dengan beberapa negara konstituen forum global itu. Atau menunggu perubahan atas konflik Rusia-Ukraina, siapa tahu dalam beberapa bulan mendatang akan ada titik kulminasi.Â
Apalagi saat ini Ukraina tengah mendorong forum diplomasi damai terhadap Rusia, dengan syarat pihak Rusia mau menghentikan pengeboman yang masif terhadap Ukraina.