Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kedelai, Tempe dan Perang

2 Agustus 2022   13:58 Diperbarui: 6 September 2022   21:19 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Perang kali ini bukan sekedar adu senjata, tapi juga perang gengsi dan kekuatan ekonomi. Konflik Rusia-Ukraina, menjadi akhir dari Era Globalisasi".

Sebenarnya ide ini di tulis ketika mula perang berkecamuk, ketika Presidensi G20 2022 mulai disuarakan, dan Amerika meributkan bagaimana seharusnya Indonesia bersikap. Di tambah lagi gonjang ganjing  impor kedelai yang menganggu "keberadaan" tempe di pasar-pasar tradisional kita.

Anggap saja ini "suara satire", betapa perang yang jauh di pelupuk mata, tapi bisa melenyapkan tempe di depan mata. Tentu saja ini bukan sekedar ego, melulu mengurus masalah perut, tidak peduli nasib bangsa lain. Semua kemungkinan konflik politik, ekonomi bisa terjadi, dan tak bisa kita prediksi di masa depan kita.

sumber: jaringan prima
sumber: jaringan prima

sumber gambar: jaring.id

Konflik Perang Rusia-Ukraina-Amerika, semakin merembes jauh ke urusan negara-negara lain, yang bahkan tak punya sangkut paut dengan perang gengsi antar adidaya dibelakang perang itu. Kekuatan masing-masing negara yang terlibat konflik juga melibatkan sekutu dan para pihak yang bergantung pada negara tersebut.

Seperti halnya Uni Eropa yang tergantung pada pasokan impor gas dari Rusia hingga 155 bc per tahunnya. Jumlah yang setara belum dapat dipenuhi oleh negara lain, termasuk Amerika sebagai sekutu Ukraina yang paling ambisius masuk dalam konflik negara bekas Uni Soviet tersebut.

Hingga saat ini, Presiden AS Joe Biden baru berjanji akan mengirim setidaknya 15 bcm (billion cubic meters/miliar meter kubik) LNG ke Eropa pada 2022. Jumlah itu hanya setara dengan sekitar seperenam dari permintaan gas tahunan Jerman, seperti diberitakan CNN.

Konflik itu juga membelah beberapa negara, seperti halnya Jerman, Turki, untuk bersikap tidak memihak, karena faktor ketergantungan gas dan minyak lainnya.

Bahkan perhelatan pertemuan Presidensial G20 yang akan berlangsung di Indonesia saat ini, juga menjadi salah satu bagian dari konflik mereka. Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden meyakini Rusia harus dikeluarkan dari G20, forum kerja sama ekonomi internasional yang tahun ini di bawah Presidensi Indonesia.

Bahkan Biden mengultimatum, jika Indonesia sebagai Presidensi G20 dan negara anggota lainnya tidak setuju, maka Ukraina harus diundang ke pertemuan G20 di Bali pada November mendatang, meskipun hadir hanya sebagai pengamat. Padahal Ukraina bukan anggota negara G20. Ini menjadi sebuah perang gengsi pemilik kekuasaan antara Amerika dan Rusia, yang sangat memaksa bagi Indonesia.

Situasi ini membuat Indonesia sebagai tuan rumah berada dalam situasi dilematis akibat konflik perang tersebut. Apalagi Amerika dan Uni Eropa  mempertimbangkan pencabutan keanggotaan Rusia dari G20, paska invasinya ke Ukraina sejak 24 Februari 2022. Sekali lagi, ancaman ini adalah bagian dari perang urat syaraf yang ditunjukkan langsung Amerika dan sekutu Baratnya.

Dari pihak Rusia sendiri, Presiden Vladimir Putin tetap berencana hadir dalam KTT G20 tersebut. G20 adalah forum kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, AS, dan negara-negara Uni Eropa. Spanyol diundang sebagai tamu permanen dalam forum tersebut, sementara Ukraina tidak tergabung dalam forum G20.

Ancaman Amerika dan sekutu-sekutu Baratnya adalah menjatuhkan sanksi-embargo ekonomi, sebagai protes penghentian invasi Rusia tersebut.

Bagaimana Indonesia Bersikap

sumber: jaringan prima
sumber: jaringan prima

Persoalan dilematis model ini sebenarnya bukan sekali ini saja terjadi. Dalam kasus besar pengeboman WTC yang menjadi kartu bebas visa bagi negara adidaya Amerika bersama sekutunya bisa masuk ke negara manapun dalam upaya pencarian para teroris, juga mendudukan banyak negara dalam posisi dilematis yang sama. Siapapun yang menolaknya, akan berhadapan langsung dengan mereka sebagai pihak yang berlawanan.

Termasuk soal ratifikasi perjanjian net zero emission, melalui Paris Agreement (2015), meskipun kelahirannya menjadi cara menyelamatkan bumi di masa depan, namun dalam realisasinya juga akan mendorong perang baru dalam penyediaan material tanah jarang (rare material), yang saat ini dikuasai oleh China.

Sebuah kekuatan adidaya baru yang tengah terus ber-evoluasi dan merangsek posisi para adidaya yang sudah mapan seperti Amerika. Amerika juga memiliki ketakutan baru terhadap kehadiran China secara politis dan ekonomi.

Apalagi China tengah membangun kembali "Jalan Sutra" versi baru, sebagai jalur penyambung kesuksesannya sebagai penguasa dunia di masa lalu. Saat ini bahkan China telah merambah Benua Afrika, yang selama ini tak pernah dilirik Amerika dan sekutunya sebagai basis kekuatan pasar mereka.

Jika Indonesia hanya beralasan dengan menegaskan bahwa Acara Presidensi G20 adalah forum ekonomi dan tidak ada kaitan politik, tetap saja akan mendapat tekanan dan penolakan dari pihak Amerika dan sekutunya, karena Amerika memaksakan kehadiran Ukraina sebagai pengamat.

Di sisi lain juga menolak kehadiran Rusia, dan berusaha mengeluarkannya dari keanggotan forum tersebut. Sedangkan sebagai bentuk perlawanan dan komitmennya sebagai anggota aktif G20, Rusia justru sejak awal telah menyatakan kehadirannya di forum tersebut.

sumber: cnn indonesia
sumber: cnn indonesia

Sehingga jawaban dari pemerintah Indonesia akan berdampak langsung pada kedua negara. Menciptakan konflik segitiga baru, dan kali ini Indonesia terlibat di dalamnya. Dalam situasi ini Indonesia jadi merasa makan buah simalakama.

Jika memilih menghadirkan Rusia, maka Ukraina juga harus hadir, jika tidak, apalagi ancaman yang akan diterima Indonesia sebagai tuan rumah G20?. Apakah Indonesia memiliki kedaulatan untuk bersikap, dengan memilih Rusia dan Ukraina untuk tidak hadir dalam forum tersebut?.

Bagaimana jika Amerika dan negara sekutunya memboikot pertemuan G20, apakah berkonsekuensi pada keberlanjutan kerjasama mereka secara ekonomi. Bagaimanapun Indonesia juga tergantung pada beberapa impor komoditi penting dengan Amerika dan sekutunya di Uni Eropa.

Bahkan konflik Rusia-Ukraina pada akhirnya bisa mengganggu konsumsi tempe kita, jika Amerika ikut meng-embargo impor komoditinya kepada kita. Seperti halnya kejadian kenaikan harga kedelai yang baru saja kita alami dan menyebabkan seluruh pengusaha tempe dan sejenisnya berhenti produksi. Demikian juga dengan pihak Rusia, dalam jangka panjang Indonesia, mungkin juga akan memiliki kebutuhan pasokan gas dalam jumlah lebih besar lagi. Jika Rusia juga meng-embargo impor gas kita kepada mereka.

Indonesia mungkin harus menggunakan kesempatan dalam beberapa bulan mendatang untuk melakukan negosiasi dengan beberapa negara konstituen forum global itu. Atau menunggu perubahan atas konflik Rusia-Ukraina, siapa tahu dalam beberapa bulan mendatang akan ada titik kulminasi. 

Apalagi saat ini Ukraina tengah mendorong forum diplomasi damai terhadap Rusia, dengan syarat pihak Rusia mau menghentikan pengeboman yang masif terhadap Ukraina.

Semua jalan yang ada masih abu-abu, karena perang kali ini bukan sekedar adu senjata, tapi juga perang gengsi dan kekuatan ekonomi.

Maka, seperti disuarakan para pengamat ekonomi, perang Rusia-Ukraina, menjadi akhir dari Era Globalisasi. Bisa jadi akan ada konstelasi politik baru, dan bisa jadi justru China atau India akan diuntungkan dengan kejadian konflik dari Eropa Timur ini.

referensi: 1,2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun