Dahulu, maraknya produksi dan konsumsi masyarakat akan kaset mendorong makin populernya bintang lokal. Fenomena itu juga diikuti membanjirnya lagu-lagu Barat sejak awal Orde Baru 1968 diimbangi maraknya kaset lagu daerah dan lagu pop dalam negeri. Keduanya berjalan beriringan.
Namun seiring waktu, perubahan format medium alat penyampai musik, diawali dengan ringtone sejak maraknya gadget (gawai), hingga beralih pada digitalisasi musik dengan industrinya yang melesat jauh, menyebabkan medium model lama seperti kaset pita seluloid kehilangan pasar, termasuk piringan hitam juga tergusur.
Industri musik kini masuk dalam industri musik digital. Para penyanyi dengan lagu-lagunya, kini tak lagi hadir dalam format kompilasi beberapa lagu dalam satu album. Bahkan produk lagu-satuan kini justru menjadi lebih populer. Single-single baru yang muncul justru memuat rilis satu atau hanya dua tiga lagu.
Setiap lagu harus mencapai sendiri nasib hitnya. Jadi setiap lagu bahkan bisa punya nasibnya sendiri-sendiri. Menyodorkan album justru seperti menggilas karya besar para musisi ke dalam "tong sampah disrupsi" yang melesat dengan ribuan konten yang bersaing.
Dahulu hal itu adalah sesuatu yang muskil. Sebuah album pastilah berisi kompilasi dari minimal 10 lagu, dengan beberapa lagu akan menjadi hits.Â
Jika format itu diterapkan pada industri musik kekinian yang serba digital, dengan cepat akan tergilas. Seperti konten Youtube, dalam sehari ada ribuan hingga jutaan konten berseliweran. Hampir setiap detik konten baru muncul menggeser konten lama ke bagian bawah.
Namun, romantisisme sejarah bisa digerakkan untuk menciptakan tren. Tren bisa memicu fenomena baru-lebih tepatnya seperti recycle, atau remake, membawa lagu-lagu lawas kembali ke permukaan dan mediun cassete menjadi perantaraan romantisisme sejarah.
Barangkali kehadiran ruang seperti pameran Cassette Recorder: Cassette Reborn bisa menjadi stimulan bagi para pihak, terutama pemerintah, melihat lebih jernih terhadap perusahaan legendaris seperti Lokananta agar bisa menjadi penyimpan artefak budaya perekam nyanyian. Terutama dalam kapasitas mengangkat kembali harkat Lokananta dan dukungan kekayaan intelektual masa depan industri musik Indonesia, agar Lokananta bisa menjadi jejak pengingat sejarah yang tak tersia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H