Sebuah catatan di Hari Museum Internasional 18 Mei
opini di kompas.id, 3 April 2022- Bisa dibaca di sini Me-"remake" Nasib Lokananta Sebagai Museum
State Phonografic Industry Ministry of Information menyimpan banyak catatan yang bisa menjelaskan Lokananta, industri awal pabrik piringan hitam sekaligus perusahaan rekaman tertua milik pemerintah kita.
Sebagaimana catatan Ayos Purwoaji dan Fakhri Zakaria, dari Rolling Stone, Lokananta juga menyingkap fakta unik tentang lagu "Negaraku" yang kini menjadi lagu kebangsaan Malaysia. Lagu itu ternyata berasal dari gubahan lagu "Terang Bulan" ciptaan Saiful Bahri, yang asli orang Indonesia.
Dalam arsip Lokananta, lagu berdurasi 11 menit 15 detik itu direkam di RRI Jakarta pada 1956 dan dipindahkan ke piringan hitam oleh Lokananta pada 16 Maret 1965. Penyanyinya adalah Orkes Studio Djakarta yang dipimpin oleh Saiful Bahri.
Selanjutnya, lagu berwarna keroncong Melayu inilah yang memikat Pemerintah Malaysia yang baru merdeka untuk dijadikan lagu negara. Aden Bahri, ahli waris lagu "Terang Bulan" menuturkan bahwa lagu tersebut dihadiahkan Presiden Soekarno untuk Malaysia.
Lihat juga:Â Mochi, Aice Fall in Love
Fakta tersebut menunjukkan bagaimana Lokananta dapat menjadi sumber dalam penelusuran sejarah musik di Indonesia. Hanya sayangnya, perlakuan terbalik justru diterima Lokananta.
Perusahaan rekaman tertua milik pemerintah itu hanya menyisakan sebuah nama besar. Gedung bernuansa art deco itu terlihat kusam dan kelam. Mungkin kita bisa mengubahnya menjadi museum saja, seperti halnya The Grammy Museum di Amerika Serikat, The Beatles Story di Inggris, Musee Edith Piaf di Perancis, agar ada napak tilas sejarah.
Bahkan generasi saat ini, sama sekali asing dengan nama Lokananta. Menurut penuturan Titik Sugiyanti, administratur merangkap humas dan arsip di Lokananta, ada 17 karyawan yang masih tersisa, mengelola Lokananta antara hidup dan mati. Inisiatif Titik bangkit ketika ia berhasil menemukan arsip "Terang Bulan" dan "Rasa Sayange" yang fenomenal dan sangat penting itu.
Kerja kerasnya berhasil menyelamatkan ribuan koleksi Lokananta dari pelapukan, karena bahan vinilpada piringan hitam sangat rentan rusak.
Dukungan lain datang dari Philip Yampolsky, seorang peneliti yang melakukan penelitian pada tahun 1980-1982, sebagai disertasi untuk University of Wisconsin. Disertasi Lokananta; A Discography of The National Recording Company of Indonesia 1957-1985, kini menjadi rujukan utama penelusuran arsip rekaman yang dimiliki Lokananta.
Sebenarnya perusahaan Lokananta ibarat bank sentral dalam industri musik di Indonesia. Hanya sayangnya, tidak didukung oleh pengarsipan dan pendokumentasian koleksinya yang jelas terhadap keseluruhan perkembangan khazanah musik dan industri musik di Indonesia.
Bens Leo musisi legendaris Indonesia, mantan wartawan media musik Aktuil, juga berperan penting dalam upaya mendorong kepedulian pada keberadaan Lokananta. Lokananta menjadi gudang dari begitu banyak back up karya musisi lawas Indonesia, termasuk yang mempunyai nilai sejarah penting seperti "Terang Bulan" dan "Rasa Sayange". Begitu juga dengan beberapa catatan theme song seperti film Badai Pasti Berlalu yang dibintangi Christine Hakim, termasuk maestro keroncong Waldjinah yang populer dengan lagu "Walang Kekek".
Ribuan arsip tersebut dapat menjadi bukti otentik jika di kemudian hari terjadi pencurian paten karya intelektual musik. Apalagi jumlahnya juga luar biasa, saat ini masih tersisa 5.000 arsip lagu dan 40.000 keping piringan hitam, dalam kondisi tidak terawat dan terancam pelapukan.
Perlakuan ini berbeda jauh dengan industri perfilman, yang sejak tahun 1975 telah memiliki Sinematek Indonesia (SI), yang menyimpan segala jenis dokumentasi film, beserta atributnya termasuk pernak-pernik seperti undangan pemutaran film-gala film.
"Quo vadis" Lokananta?
Bagaimanapun sosok tua Lokananta menunggu para musisi muda yang peduli dan menggantikan peran para virtuoso masa lalu yang menunggu uluran kepedulian itu. Padahal dengan status sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada awalnya, semestinya Lokananta mendapat perlakuan yang lebih baik, tetapi sebaliknya justru semakin menambah ketidakjelasan nasibnya.
Barulah sejak tahun 2004, statusnya berubah di bawah kendali Perum Percetakan Negara RIÂ (PNRI), dengan nama baru Perum PNRI Cabang Surakarta, atas inisiatif mantan Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika. Tetapi tetap saja hal tersebut belum sepenuhnya mengangkat nasib baik Lokananta.
Bagaimanapun sosok tua Lokananta menunggu para musisi muda yang peduli dan menggantikan peran para virtuoso masa lalu yang menunggu uluran kepedulian itu.
Bagaimana masa depan perusahaan musik tertua Lokananta, mungkin harus mendapat respons lebih positif dari negara dan para musisi Indonesia. Pameran Cassette Recorder: Cassette Reborn yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta pada 15-22 Maret 2022 menjadi pengingat bagaimana kaset-kaset sebagai artefak budaya perekam nyanyian kehidupan yang mewakili keberagaman khazanah musik dan industri musik Indonesia.
Dahulu, maraknya produksi dan konsumsi masyarakat akan kaset mendorong makin populernya bintang lokal. Fenomena itu juga diikuti membanjirnya lagu-lagu Barat sejak awal Orde Baru 1968 diimbangi maraknya kaset lagu daerah dan lagu pop dalam negeri. Keduanya berjalan beriringan.
Namun seiring waktu, perubahan format medium alat penyampai musik, diawali dengan ringtone sejak maraknya gadget (gawai), hingga beralih pada digitalisasi musik dengan industrinya yang melesat jauh, menyebabkan medium model lama seperti kaset pita seluloid kehilangan pasar, termasuk piringan hitam juga tergusur.
Industri musik kini masuk dalam industri musik digital. Para penyanyi dengan lagu-lagunya, kini tak lagi hadir dalam format kompilasi beberapa lagu dalam satu album. Bahkan produk lagu-satuan kini justru menjadi lebih populer. Single-single baru yang muncul justru memuat rilis satu atau hanya dua tiga lagu.
Setiap lagu harus mencapai sendiri nasib hitnya. Jadi setiap lagu bahkan bisa punya nasibnya sendiri-sendiri. Menyodorkan album justru seperti menggilas karya besar para musisi ke dalam "tong sampah disrupsi" yang melesat dengan ribuan konten yang bersaing.
Dahulu hal itu adalah sesuatu yang muskil. Sebuah album pastilah berisi kompilasi dari minimal 10 lagu, dengan beberapa lagu akan menjadi hits.Â
Jika format itu diterapkan pada industri musik kekinian yang serba digital, dengan cepat akan tergilas. Seperti konten Youtube, dalam sehari ada ribuan hingga jutaan konten berseliweran. Hampir setiap detik konten baru muncul menggeser konten lama ke bagian bawah.
Namun, romantisisme sejarah bisa digerakkan untuk menciptakan tren. Tren bisa memicu fenomena baru-lebih tepatnya seperti recycle, atau remake, membawa lagu-lagu lawas kembali ke permukaan dan mediun cassete menjadi perantaraan romantisisme sejarah.
Barangkali kehadiran ruang seperti pameran Cassette Recorder: Cassette Reborn bisa menjadi stimulan bagi para pihak, terutama pemerintah, melihat lebih jernih terhadap perusahaan legendaris seperti Lokananta agar bisa menjadi penyimpan artefak budaya perekam nyanyian. Terutama dalam kapasitas mengangkat kembali harkat Lokananta dan dukungan kekayaan intelektual masa depan industri musik Indonesia, agar Lokananta bisa menjadi jejak pengingat sejarah yang tak tersia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H