Ternyata lebih beruntung teman-teman yang mudik dari Malaysia ke Aceh daripada yang pulang kampung dari Jakarta-Aceh (CGK-BTJ). Bukan apa-apa, gara-gara permintaan pasar melonjak drastis selama musim mudik, harga tiket juga ikut terkerek naik. Tidak tanggung-tanggung, naiknya 'cuma" 200 persen.
Dulu hampir setiap bulan pulang-pergi buat laporan dan meeting di Jakarta dari Aceh bukan soal, karena dibayar kantor. Kantor mengharuskan pakai maskapai yang katanya paling standar, yaitu Garuda Indonesia Airways. Meski mahal dikantong, karena cuma dapat invoice dari email, dan tinggal scan barcode di bandara dan menunjukkan nomor seri, jadi tak pernah merasa susah hati.
Tapi giliran pulang dengan ongkos sendiri di hari raya, barulah merasa tekor habis. Seperti jatuh tertimpa tangga pula, karena sudah harga barang naik selama krisis, sejak minyak goreng melambung, kini kena giliran harga tiket juga melambung.
THR sama sekali tak mempan jadi senjata andalan. Apa gunanya THR, jika belum apa-apa sudah kesedot tiket pesawat.
Kali ini penghalang mudik bukan tes PCR, Covid-19, electronic Health Alert Card (e-HAC) yang jadi syarat mudik lebaran 2022 menggunakan transportasi udara, dan sudah berlaku mulai 5 April, tapi harga tiket selangit!.
Bayangkan saja, untuk sekali terbang (one way) Batik Air+Wings mematok harga tiket sebesar Rp. 9.713.700 dari harga sebelumnya Rp 3,6 juta. Harga pertama saja sudah bikin tongpes (alias kantong kempes) apalagi harga baru. Harga tersebut lebih mahal daripada penerbangan Jakarta ke Jeddah, Arab Saudi menggunakan maskapai Saudia yaitu Rp 9.098.200 per orang.
Alamat akan pulang kampung cuma bisa bawa diri, dan oleh-oleh terpaksa nihil. Koper-koper besar cuma berisi pakaian dan barang rumahan lainnya.
Belum lagi kalau keluarga besar yang pulang, ayah, ibu dan tiga orang putra-putri, itu artinya kurang lebih butuh hampir Rp 50 juta untuk sekali jalan. Karena harga Rp9,6 itu cuma Rp.400 ribu lagi jadi angka Rp. 10 juta.
Kalau memilih menggunakan moda kapal sudah jelas full dari hari lebaran minus keberapa. Belum lagi berdesakan di pelabuhan Merak-Bakahuni yang antreannya mengular berhari-hari.
bahkan kemarin pemudik dengan sepeda motor harus bersitegang dengan petugas penjaga kapal di pelabuhan karena hampir dua hari menunggu antrian tapi belum juga diperbolehkan masuk ke kapal.
Bagi kami yang di Aceh, sebagian bahkan terpaksa harus mengambil jalur ke Medan-Sumatera Utara dulu dari Jakarta, baru bisa ke Aceh. Itu artinya kerja dua kali. Belum lagi barang bawaan yang banyak dan sambungan moda transportasi darta via bus menempuh perjalanan kurang lebih 12 jam.
Protes Harga Tiket Selangit
Pemerintah Aceh saja yang para senatornya berkunjung rutin ke Jakarta dibuat kelimpungan dengan harga slangit yang baru itu, apalagi bagi masyarakat umum yang budgetnya pas-pasan. Bisa jadi cuma bisa pulang tapi tak pernah bisa kembali ke Jakarta, kecuali memilih jalan darat.
Dulu sewaktu masa kuliah sering ikut lomba-kompetisi antar kampus. Biasanya kami kebagian tiket jalur darat. dari sumatera kalau dipaksakan dengan tiket pesawat kala itu saja sudah seharga Rp800 ribu. Panitia cuma kuat menyediakan budget Rp. 200 ribu.
Pernah dapat undangan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dalam rangka pertemuan nasional dan hadiah lomba menulis. Pak Habibie mengundang kami dengan bus. Hasilnya kami baru sampai ke Jakarta dalam 3 hari , 4 malam. bayangkan tidur di bus selama itu.
Begitu sampai di venue acara, pas pembukaan karena mogok sana-sini. Akhirnya bertemu ibu Ainun Habibie, dan kena marah karena dianggap telat. Setelah dijelaskan kami sudah berjuang mati-matian dengan bus, beliau merasa iba dan memberi kami hadiah tiket pesawat pulang.
Kali ini pemerintah Aceh juga mulai meributkan harga tiket yang melambung itu. Meskipun naik karena faktor demand-supply, tapi kenaikan sampai 200 persen sangat fantastis.
Pemerintah Aceh juga memprotes kenaikan tiket pesawat Medan-Banda Aceh, yang biasanya Rp. 350-500 ribu, kini juga melambng jauh.
Pulang Malu, Tak Pulang Rindu
Jika tak ada pilihan lain, terpaksa menggunakan kapal laut, itupun baru sampai ke Banda Aceh di harian lebaran kedua atau ketiga. Jika memaksakan diri dengan transport darat kendaraan pribadi, akan menambah macet jalur trans Sumatera.
Kata Band Wali, "Mau Pulang Malu, kalau belum sukses, tapi Tidak Pulang Juga Rindu, karena keluarga dan sanak keluarga menunggu di rumah", jadi pilih mana?.
Buat yang suksespun juga tak mau buang uang percuma cuma untuk tiket pesawat, enak terbang cepat sampai tujuan, tapi tabungan terbang berbulan-bulan melayang cuma sekejap.
Kantorpun pasti juga akan angkat tangan dan pasti akan memilih maskapai swasta, walaupun murah beberapa juta. Tapi dalam industri transport pesawat udara yang sudah jatuh bangun sejak pandemi, momentum mudik menjadi kesempatan mereka mengembalikan keuntungan yang lama menghilang.
Mekanisme pasar sendiri yang menyebabkan situasi dan kondisi ini muncul. Ketika permintaan naik pesat dan seat-atau ketersediaan kursi penumpang pesawat yang tersedia sudah lama berkurang, akibat pengurangan armada pesawat selama pandemi, menyebabkan mau tidak mau pemilik industri maskapai menaikkna tarif selangit.
Apakah pemerintah punya kuasa menetapkan HET, seperti halnya di lakukan ketika kenaikan harga minyak goreng?. Apakah kebijakan HET memungkinkan diberlakukan pada kasus yang berbeda?.
Dulu Ketika memilih penerbangan ke Malaysia, kita masih bisa mengurangi ongkos penerbangan, dengan memilih tidak "mengambil paket makanan dalam pesawat", dan beberapa item biaya yang dapat mengurangi ongkos keseluruhan, jadi bisa dapat tiket berbiaya murah.Â
Apalagi dengan memilih maskapai bayar sekarang tapi terbang tahun depan, seperti maskapai Air Asia, bisa cuma beberapa puluh ribu untuk sampai Ke Malaysia, tapi pilihan itu jelas tidak ada gunanya sekarang.
Jadi bagaimana baiknya?. Apa masih tetap memilih mudik atau tinggal di Jakarta untuk sementara waktu. Mungkin nanti memanfaatkan cuti tahunan saja untuk pulang kampung. Jika tidak, ini akan menjadi kisah mudik fantastik, di tahu 2022.
Aduh sedihnya, sudah jatuh ketimpa tangga pula. Mudah-mudahana "protes" Pemerintah Aceh di dengar Jokowi dan menyampaikannya pada para pemilik maskapai.Â
Atau pemerintah mau mengeluarkan kebijakan baru, misalnya Perpres, tentang subsidi mudik?. Siapa tahu ada  keajaiban lebaran!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H