Pemerintah Aceh saja yang para senatornya berkunjung rutin ke Jakarta dibuat kelimpungan dengan harga slangit yang baru itu, apalagi bagi masyarakat umum yang budgetnya pas-pasan. Bisa jadi cuma bisa pulang tapi tak pernah bisa kembali ke Jakarta, kecuali memilih jalan darat.
Dulu sewaktu masa kuliah sering ikut lomba-kompetisi antar kampus. Biasanya kami kebagian tiket jalur darat. dari sumatera kalau dipaksakan dengan tiket pesawat kala itu saja sudah seharga Rp800 ribu. Panitia cuma kuat menyediakan budget Rp. 200 ribu.
Pernah dapat undangan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dalam rangka pertemuan nasional dan hadiah lomba menulis. Pak Habibie mengundang kami dengan bus. Hasilnya kami baru sampai ke Jakarta dalam 3 hari , 4 malam. bayangkan tidur di bus selama itu.
Begitu sampai di venue acara, pas pembukaan karena mogok sana-sini. Akhirnya bertemu ibu Ainun Habibie, dan kena marah karena dianggap telat. Setelah dijelaskan kami sudah berjuang mati-matian dengan bus, beliau merasa iba dan memberi kami hadiah tiket pesawat pulang.
Kali ini pemerintah Aceh juga mulai meributkan harga tiket yang melambung itu. Meskipun naik karena faktor demand-supply, tapi kenaikan sampai 200 persen sangat fantastis.
Pemerintah Aceh juga memprotes kenaikan tiket pesawat Medan-Banda Aceh, yang biasanya Rp. 350-500 ribu, kini juga melambng jauh.
Pulang Malu, Tak Pulang Rindu
Jika tak ada pilihan lain, terpaksa menggunakan kapal laut, itupun baru sampai ke Banda Aceh di harian lebaran kedua atau ketiga. Jika memaksakan diri dengan transport darat kendaraan pribadi, akan menambah macet jalur trans Sumatera.
Kata Band Wali, "Mau Pulang Malu, kalau belum sukses, tapi Tidak Pulang Juga Rindu, karena keluarga dan sanak keluarga menunggu di rumah", jadi pilih mana?.
Buat yang suksespun juga tak mau buang uang percuma cuma untuk tiket pesawat, enak terbang cepat sampai tujuan, tapi tabungan terbang berbulan-bulan melayang cuma sekejap.
Kantorpun pasti juga akan angkat tangan dan pasti akan memilih maskapai swasta, walaupun murah beberapa juta. Tapi dalam industri transport pesawat udara yang sudah jatuh bangun sejak pandemi, momentum mudik menjadi kesempatan mereka mengembalikan keuntungan yang lama menghilang.
Mekanisme pasar sendiri yang menyebabkan situasi dan kondisi ini muncul. Ketika permintaan naik pesat dan seat-atau ketersediaan kursi penumpang pesawat yang tersedia sudah lama berkurang, akibat pengurangan armada pesawat selama pandemi, menyebabkan mau tidak mau pemilik industri maskapai menaikkna tarif selangit.
Apakah pemerintah punya kuasa menetapkan HET, seperti halnya di lakukan ketika kenaikan harga minyak goreng?. Apakah kebijakan HET memungkinkan diberlakukan pada kasus yang berbeda?.
Dulu Ketika memilih penerbangan ke Malaysia, kita masih bisa mengurangi ongkos penerbangan, dengan memilih tidak "mengambil paket makanan dalam pesawat", dan beberapa item biaya yang dapat mengurangi ongkos keseluruhan, jadi bisa dapat tiket berbiaya murah.Â
Apalagi dengan memilih maskapai bayar sekarang tapi terbang tahun depan, seperti maskapai Air Asia, bisa cuma beberapa puluh ribu untuk sampai Ke Malaysia, tapi pilihan itu jelas tidak ada gunanya sekarang.
Jadi bagaimana baiknya?. Apa masih tetap memilih mudik atau tinggal di Jakarta untuk sementara waktu. Mungkin nanti memanfaatkan cuti tahunan saja untuk pulang kampung. Jika tidak, ini akan menjadi kisah mudik fantastik, di tahu 2022.