Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

[bolang donasi] Fenomena Gig Economy, Magnet Buruh Migran, Antara Berkah dan Musibah

19 April 2022   18:32 Diperbarui: 21 April 2022   02:21 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CNN Indonesia
CNN Indonesia

Jika anda tinggal di Aceh, ongkos ke Malaysia jauh lebih murah dari pada ke ibukota, Jakarta. Dengan maskapai paling elit-Garuda Indonesia Airways (GIA), angka bisa mencapai Rp.3 juta-an. 

Terakhir kali kunjungan ke Malaysia dengan City link dan sejenisnya, hanya dikenakan biaya tiket Rp. 250.000,-. Begitu sampai di bandara Kuala Lumpur, cukup bercakap ala Malaysia sedikit, dengan alasan hendak "melancong".

Stempel di buku pasport dengan cepat mendarat dan langsung bisa memesan taxi dan check in ke hotel terdekat di  pusat kota-Bukit Bintang.

Seorang remaja yang kebetulan berangkat satu pesawat, panik ketika ditanya petugas dan menjawab akan "bekerja"-mengikuti pamannya yang telah lebih dulu sampai disana. 

Akibatnya, ia harus masuk kamar interogasi, agar dipastikan ia tak menjadi "pendatang haram"-sebutan untuk pekerja illegal di Malaysia.

Malaysia memang salah satu magnet yang populer sebagai tempat mencari kerja bagi banyak pekerja migran Indonesia. Sekalipun banyak kasus tak menyurutkan orang untuk bisa bekerja di negeri jiran itu.

Sebenarnya realitas tak sesederhana itu, mungkin kata "luar negeri" sebagai tempat pelarian untuk mencari peluang kerja adalah pilihan kata yang tepat.

Hal itu bisa jadi berkaitan dengan istilah "gig economy'(ekonomi yang bergantung pada pekerja dengan kontrak sementara). 

Apalagi banyak sekali ragam pekerjaan yang standarnya tidak lagi tetap, seperti; Pekerja bersifat sementara, berjangka waktu tetap, musiman, berbasis proyek, paruh waktu, kontrak tanpa minimal jam kerja, kontrak kasual, agen, freelance, perifer (peripheral) atau pekerjaan yang tidak menerima tunjangan, kontingen (pekerjaan non permanen yang dibayar per kasus), eksternal, non-standar, tidak tipikal, berbasis platform, outsource, sub-kontrak, informal, tidak dideklarasikan, tidak aman, marjinal atau genting (pekerjaan yang terancam akibat kondisi keuangan).

Daya Tarik Fulus

Meskipun hanya sebagai pekerja serabutan di negeri tetangga, pendapatannya boleh dibilang  jauh lebih manusiawi daripada jika bekerja di negeri sendiri.  Dari tahun ke tahun, meski harus melalui jalur pendatang haram, banyak  pekerja ilegal kita yang bertandang ke negeri jiran. Konon lagi jika bekerja secara legal melalui jalur pengiriman tenaga kerja. 

Sejak pandemi dua tahun lalu, angkatan kerja kiriman dari Indonesia ke Malaysia jauh menurun, karena pemberlakuan Lockdown. Jika kita tidak terdaftar alamat tidak akan mendapat bantuan subsidi dari pemerintah Malaysia, namun jika resmi terdaftar setiap bulannya akan mendapat "santunan pandemi".

Tapi sekarang situasinya sudah semakin membaik.  

Setelah beritanya simpang siur tanpa kepastian, akhirnya ada ketetapan jaminan bahwa Upah Minimum Baru pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia adalah RM 1.500, itu artinya setara dengan Rp.5 juta.

Sebelumnya dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang disepakati kedua negara pada 1 April 2022, telah dijelaskan tentang jumlah upah minimum yang diberlakukan untuk pekerja Indonesia.

Namun pernyataan Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia, M. Saravan yang menyebut bahwa Putrajaya-Pusat pemerintahan Malaysia tidak menyetujui klausul yang menyebutkan gaji RP 1.500 dan menyerahkan kebijakan tersebut kepada masing-masing majikan.

Jumlah gaji sebagaimana dalam MoU dimulai dari angka RM 1.200, karena merujuk pada upah minimum di Malaysia sebelumnya yang dipatok di angka RM 1.200. Hal ini kemudian memicu polemik. Implementasi di lapangan berbeda dengan kesepakatan yang ditandatangani dalam MoU.

Kepastian Hasil MoU

Sebelumnya Duta Besar Indonesia di Kuala Lumpur, juga menyatakan kekuatiran  terhadap implementasi MoU, jika pernyataan dari M. Saravan direspon negatif oleh pihak Putrajaya, sehingga nilainya akan kembali di sama dengan Upah Minimum awal. Tidak sesuai dengan kesepakatan antara M. Saravan dan Menteri tenaga Kerja Indonesia Ida Fauziyah.

Bisa saja para majikan atau pengguna tenaga kerja akan mengikuti kebijakan pemerintah yang menolak membayar sejumlah minimal RM1.500.

Padahal berdasarkan proses yang disepakati di awal MoU, angkatan pembantu rumah tangga Indonesia yang masuk ke Malaysia setelah dibukanya kembali keran tenaga kerja,mulai Mei akan mendapat Upah Minimum sebesar RM 1.500. 

Dalam nota kesepahaman juga disebutkan bahwa majikan harus membayar pembantu rumah tangga tidak kurang dari RM 1.500 langsung ke rekening bank pekerja, selambat-lambatnya pada hari ketujuh bulan berikutnya.

Namun polemik itu kelihatannya akan segera berakhir dengan jaminan dari pemerintah Malaysia melalui juru bicaranya Kementerian Sumber Daya Manusia M. Saravan yang menyatakan bahwa, pekerja rumah tangga asal Indonesia tidak akan dibayar lebih rendah dari Upah Minimum yang diberlakukan pada saat mereka bekerja di Malaysia.

Tenaga Migran, Potensi dan Ancaman

fakta dan info daerah indonesia
fakta dan info daerah indonesia

Bekerja sebagai asisten rumah tangga masih menjadi primadona bagi banyak TKI Indonesia yang mencari peruntungan di luar negeri. Selain bekerja sebagai tenaga profesi di bidang kesehatan, pekerja pabrikan, pekerja perkebunan, dan lainnya.

Mereka memanfaatkan selisih kurs yang lumayan menarik jumlahnya. Sekedar contoh, untuk saat ini kurs RM 1 adalah Rp.3333 atas mata uang RP Indonesia. Selisih itu kurang lebih jika dikonversi dari jumlah RM 1.500 akan setara dengan mata uang kita  sebesar Rp. 5 juta rupiah. Apalagi bagi para pekerja profesional, tentu saja jumlah akan jauh lebih besar.

Ini menjadi daya tarik yang luar biasa. Seorang rekan yang bekerja di Malaysia bisa mengirim hingga Rp. 5-10  juta rupiah ke kampung halamannya setiap bulannya. Angka itu akan sangat berarti bagi kita yang sedang lesu ekonomi.

Namun tidak sedikit juga berbagai kasus buruk yang menimpa para pekerja imigran kita karena faktor, ketidaktahuan risiko secara hukum,  bekerja tidak melalui biro pencari kerja yang resmi, tidak memiliki keahlian khusus-hanya menjadi pekerja kasar atau buruh dan asistan rumah tangga tanpa jaminan kemanan, minimnya informasi terkait bantuan jika mengalami kekerasan selama bekerja di luar negeri.

Namun kasus yang paling umum terjadi adalah berstatus menjadi pekerja ilegal, sehingga tidak memiliki jaminan hukum dan perlindungan sebagai pekerja. Sebagai konsekuensinya jika mengalami tindak kekerasan tidak dapat diakomodir dengan cepat oleh pihak kedutaan besar di negara tempatan ia bekerja, karena berstatus sebagai pekerja ilegal.

Para pekerja dengan status ilegal juga mudah menjadi bulan-bulanan para majikan yang mempekerjakannya, apalagi jika paspornya ditahan sebagai jaminan, sehingga tidak bisa melarikan diri.  Mereka juga bisa memperoleh penghasilan dibawah Upah Minimum karena statusnya yang ilegal tersebut.

Karena semakin jelas statusnya akan menjadi sisi tawar yang positif bagi pekerja Indonesia di laur negeri, termasuk untuk jaminan keamanan dan perlindungan.

Dengan berbagai kelemahan antara keinginan untuk mendapatkan uang lebih dan memperbaiki ekonomi dengan minimnya pengetahuan, membuat persoalan ketenagakerjaan Indonesia di luar negeri menjadi problem yang serius.

10411-ilustrasi-korban-perdagangan-manusia-625ed120ef62f60fac221652.jpg
10411-ilustrasi-korban-perdagangan-manusia-625ed120ef62f60fac221652.jpg
suara.com

Apalagi jika para sindikat penampung para pencari pekerja ilegal ternyata adalah jaringan perdagangan manusia (trafficking). Banyak korban yang awalnya ditawari sebagai pekerja di kafe, asisten rumah tangga, pabrik, dengan jaminan pasport yang ditahan, pada akhirnya tidak hanya gagal memperoleh gaji besar yang dijanjikan. 

Sebaliknya justru mengalami kekerasan seksual, dan diperdagangkan sebagai komoditas pekerja seks komersial, di pasar gelap internasional.

Solusi Lapangan Kerja

Menurut data resmi dari Badan Pusat Statistik ( BPS) mencatat, jumlah penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri pada 2019 mencapai 276.553 orang. Angka ini turun 2,5 persen dibanding 2018 mencapai 283.640 orang.  

Jumlah itu akan berlipat ganda jika dimasukkan data para pekerja ilegalnya. Perempuan mendominasi jumlah tersebut kurang lebih sebanyak 69,15% atau 191.237 orang. Jumlah TKI laki-laki kurang lebih 85.316 orang. 

Data berbeda dirilis oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), yang menyebutkan bahwa total TKI di tahun 2019 saja telah mencapai angka 3,74 juta orang.  Data ini menunjukkan fakta masih banyaknya para pekerja yang tidak terdeteksi dan terhimpun dalam lembaga pekerja yang resmi.

Jika data ini benar, maka begitu besar masalah yang akan dihaapi oleh dunia ketenagakerjaan kita di luar negeri. Apalagi jika sampai timbul kasus. Atau justru dengan banyaknya tenaga kerja ilegal,justru kasus tidak tercover dan tersembunyi. Ini adalah ancaman dan malapetaka bagi nasib para pekerja kita.

Tentu kita masih ingat bagaimana perlakuan agen pelayaran yang menggunakan tenaga kerja perkapalan Indonesia yang kemudian mendapat perlakuan buruk dan dibuang ke laut. Bisa jadi itu hanya sedikit dari bagitu besarnya ice berg atau puncak gunung es kasus kekerasan pekerja kita di luar negeri.

Salah satu contoh penanganan para pekerja adalah saat pandemi covid-19, jika terdaftar akan disuplai makanan oleh negara tempatan ia bekerja.  Demikian juga ketika sebanyak 100.094 pekerja migran pulang ke Indonesia dari 83 negara. Bayangkan jika kita adalah tenaga kerja ilegal tentu akan kesulitan dalam kondisi tersebut, karena bisa tidak diakomodir oleh negara.

Untuk saat ini saja TKI yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dalam artian setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Ditampung di 10 negara dengan jumlah terbesar.

Menurut data BPS 2019, tercatat: Malaysia: 79.662 orang. Taiwan: 79.574 orang. Hong Kong: 70.840 orang. Singapura: 19.354 orang.  Arab Saudi: 7.018 orang.  Korea Selatan: 6.193 orang.  Brunai Darussalam: 5.639 orang. Italia: 1.349 orang.  Kuwait: 782 orang.  Uni Emirat Arab: 578 orang. 

Dengan potensi besar itu, bagi para pekerja adalah kenaikan sumber daya ekonomi, dan bagi pemerintah adalah pendapatan devisa negara. Bagaimanapun dengan besaran angkatan kerja yang tersedia, pemerintah tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan pasar kerja bagi seluruh warga negaranya. Sehingga peluang kerja sebagai TKI menjadi salah satu solusi memenuhi kebutuhan lapangan kerja.

referensi; 1,2,3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun