Para pekerja dengan status ilegal juga mudah menjadi bulan-bulanan para majikan yang mempekerjakannya, apalagi jika paspornya ditahan sebagai jaminan, sehingga tidak bisa melarikan diri. Â Mereka juga bisa memperoleh penghasilan dibawah Upah Minimum karena statusnya yang ilegal tersebut.
Karena semakin jelas statusnya akan menjadi sisi tawar yang positif bagi pekerja Indonesia di laur negeri, termasuk untuk jaminan keamanan dan perlindungan.
Dengan berbagai kelemahan antara keinginan untuk mendapatkan uang lebih dan memperbaiki ekonomi dengan minimnya pengetahuan, membuat persoalan ketenagakerjaan Indonesia di luar negeri menjadi problem yang serius.
Apalagi jika para sindikat penampung para pencari pekerja ilegal ternyata adalah jaringan perdagangan manusia (trafficking). Banyak korban yang awalnya ditawari sebagai pekerja di kafe, asisten rumah tangga, pabrik, dengan jaminan pasport yang ditahan, pada akhirnya tidak hanya gagal memperoleh gaji besar yang dijanjikan.Â
Sebaliknya justru mengalami kekerasan seksual, dan diperdagangkan sebagai komoditas pekerja seks komersial, di pasar gelap internasional.
Solusi Lapangan Kerja
Menurut data resmi dari Badan Pusat Statistik ( BPS) mencatat, jumlah penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri pada 2019 mencapai 276.553 orang. Angka ini turun 2,5 persen dibanding 2018 mencapai 283.640 orang. Â
Jumlah itu akan berlipat ganda jika dimasukkan data para pekerja ilegalnya. Perempuan mendominasi jumlah tersebut kurang lebih sebanyak 69,15% atau 191.237 orang. Jumlah TKI laki-laki kurang lebih 85.316 orang.Â
Data berbeda dirilis oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), yang menyebutkan bahwa total TKI di tahun 2019 saja telah mencapai angka 3,74 juta orang. Â Data ini menunjukkan fakta masih banyaknya para pekerja yang tidak terdeteksi dan terhimpun dalam lembaga pekerja yang resmi.
Jika data ini benar, maka begitu besar masalah yang akan dihaapi oleh dunia ketenagakerjaan kita di luar negeri. Apalagi jika sampai timbul kasus. Atau justru dengan banyaknya tenaga kerja ilegal,justru kasus tidak tercover dan tersembunyi. Ini adalah ancaman dan malapetaka bagi nasib para pekerja kita.
Tentu kita masih ingat bagaimana perlakuan agen pelayaran yang menggunakan tenaga kerja perkapalan Indonesia yang kemudian mendapat perlakuan buruk dan dibuang ke laut. Bisa jadi itu hanya sedikit dari bagitu besarnya ice berg atau puncak gunung es kasus kekerasan pekerja kita di luar negeri.
Salah satu contoh penanganan para pekerja adalah saat pandemi covid-19, jika terdaftar akan disuplai makanan oleh negara tempatan ia bekerja. Â Demikian juga ketika sebanyak 100.094 pekerja migran pulang ke Indonesia dari 83 negara. Bayangkan jika kita adalah tenaga kerja ilegal tentu akan kesulitan dalam kondisi tersebut, karena bisa tidak diakomodir oleh negara.
Untuk saat ini saja TKI yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dalam artian setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Ditampung di 10 negara dengan jumlah terbesar.
Menurut data BPS 2019, tercatat: Malaysia: 79.662 orang. Taiwan: 79.574 orang. Hong Kong: 70.840 orang. Singapura: 19.354 orang. Â Arab Saudi: 7.018 orang. Â Korea Selatan: 6.193 orang. Â Brunai Darussalam: 5.639 orang. Italia: 1.349 orang. Â Kuwait: 782 orang. Â Uni Emirat Arab: 578 orang.Â
Dengan potensi besar itu, bagi para pekerja adalah kenaikan sumber daya ekonomi, dan bagi pemerintah adalah pendapatan devisa negara. Bagaimanapun dengan besaran angkatan kerja yang tersedia, pemerintah tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan pasar kerja bagi seluruh warga negaranya. Sehingga peluang kerja sebagai TKI menjadi salah satu solusi memenuhi kebutuhan lapangan kerja.