Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Dua Jalur Masuk BUMN, Setidaknya Waspadai Beberapa Hal Penting

18 April 2022   18:23 Diperbarui: 19 April 2022   09:10 1187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika terakhir kali mengikuti test kerja di BUMN, seorang teman berkelakar saat sesi jeda di selasar ruang banggar di gedung dewan, kebetulan tesnya dilakukan di sana.

Awalnya saya menanggapinya guyonan teman sebagai sebuah lelucon satir belaka. Tapi ternyata ini sebuah analogi menarik, dalam sebuah prosesi seleksi rekruitmen sebuah jabatan yang konon katanya "politis"

Ia menganalogikan seleksi itu sebagai prosesi ritual walimah atau pernikahan, ada pengantin, dan ada keluarga atau teman pengiring.

Ketika sebuah hajatan walimah atau prosesi rekruitmen-seleksi sebuah jabatan politis digelar, maka linto-pengantin laki-laki dan dara baroe-pengantin perempuan, sesungguhnya hanya tinggal menuju pelaminan.

Sebagai pelengkap penderita pastilah kedua orangtua dari kedua belah pihak juga "diikutkan", karena dalam prosesi ini dibutuhkan tujuh orang, maka Linto yang akan kita antar anggap saja adalah para orang titipan yang akan lulus.

Dan sebagai jalan mulusnya adalah harus memiliki jalur afiliasi, kongkownisasi, dan nepotisme agar semuanya semakin mulus. sedangkan semua prosesi lainnya adalah fomalitas belaka.

Ketika duduk dengan seorang anggota seleksi lainnya, seorang peserta bertanya dengan pertanyaan yang menurut saya aneh. Katanya, "Berapa banyak kenalan kamu di pemerintahan?". Saya awalnya tak begitu peduli, tapi ketika saya penasaran meminta jawabannya, saya jadi berpikir.

Untuk apa ikut seleksi, jika sebenarnya orang yang lulus sudah ada di tangan tim seleksi?

Tapi praduga itu masih dugaan, jadi saya berpikir positif saja. Karena selain kedekatan politis, kecerdasan atau intelektual dalam kadar yang cukup juga dibutuhkan untuk melengkapi segala kekurangan atas sesuatu yang dipaksakan secara politis belaka.

Setidaknya mungkin ada porsi untuk pilihan berdasarkan nilai dan catatan portofolio yang bisa mengantarkan ke posisi right man on the right place, kenapa tidak?

referensi; 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun