Tapi jika orang berkunjung ke sungai Souraya, menikmati pemandangan arus yang bergerak tak henti, maka oleh-oleh yang menjadi jajanan ketika pulang dan persiapan berbuka, pastilah makanan kampung itu. Itulah ciri khasnya.
Begitulah, ada yang tersisa diantara romantisme yang diam-diam dihilangkan jaman. Illegalogging yang membahana, carut marut ekonomi yang berebut rezeki dari uang antah berantah, membuat kisahnya diam-diam mulai tenggelam.
Kecuali, bukti sungai itu yang terus mengalir, bahkan sesekali menitip "bandang" malapetaka.Â
Bagaimanapun Ramadhan selalu menitip berkah, keramaian, keceriaan, dengan kehadiran lapak-lapak penjaja makanan berbuka, menikmati sungai.Â
Ada yang duduk mencakung di pinggiran, ada yang menikmatinya dari sadel kereta-sebutan untuk sepeda motor, atau khusus pejalan kaki yang sengaja datang dari kampung dalam, menuju pinggiran sungai menikmati keramaian yang tidak biasa.
Sungai Sarah
Mendengar namanya, pastilah langsung terbayang si empunya nama juga perempuan. Seperti kita mengenal nama kondang Sarah Sechan.Â
Tapi ini bukan nama perempuan sembarangan. Di Aceh Besar, yang bersisian dengan ibukota Aceh, berjarak kurang lebih 20 kilometer. Sarah adalah objek wisata favorit. Tempat melepas lelah.
Sungai berbatu, luas dan lebar dengan pemandangan hutan mengingatkan kita dengan kisah-kisah petualangan. Meski lebar sungai yang kondang disebut Sarah ini, adalah sungai dangkal dengan bebatuan kecil dan besar.Â
Dari sisian sungai kita harus melepas sandal, agar dapat menjejak batuan yang berserak di sepanjang sungai ini dengan air bening yang menyejukkan.
Ikan-ikan kecil sejenis susu melik atau wader berenang berebut cepat dengan deras arus sungai. Kita bisa memilih batuan yang agak besar untuk sekedar duduk atau berfoto ria.