Jarum mesin jahit tua Butterfly itu bergerak lincah dan cepat, seiring lincahnya kaki tua Bapak Rahman (62 tahun), menekan pedal mesin jahit. Ruang jahitnya tidak lebar, 2x 1,5 meter, hampir seperti lapak lainnya di Pasar Aceh. Beruntung ia berada di lorong depan masuk pasar, angin sesekali berhembus masuk, sehingga ruang tanpa pendingin kipas angin itu terasa sedikit sejuk.
Baca artikel menarik lainnya-milenialmood; Ini Penjelasan Mengapa Muncul Sindrom I Hate Monday, Ketika Sasa Ikut Bersuara, Kritis Tapi Tidak Anarkis, Saatnya Beradaptasi Menjadi Seniman Hybrid.
Artikel menarik lainnya- teknokita;Â Masih Bisakah Menonton Televisi Jadul Setelah Analog Switch Off?.
Kumpulan artikel Siapa Dia; Tokoh Perempuan Ikonik Dalam Google Doodle Spesial
Ketika saya menemuinya terakhir, setahun lalu, ia bercerita sudah kerja dilapak kecilnya selama 27 tahun silam. Wajah tuanya tetap gembira, sesekali ia menegur orang yang lalu lalang, sembari menebar senyum, sambil kakinya tak berhenti menekan pedal mesin jahitnya.
Tak ada yang spesial, jika kita tak cermat memperhatikannya, kecuali semangatnya. Tapi ketika kita duduk di kursi yang tersedia di lapak kecil itu, ada yang luar biasa.Â
Awalnya saya tak begitu perhatian, karena ketika di awal mengunjungi lapak kecil itu, hanya menemani istri berbelanja dan di tawari tempat duduk untuk istirahat.
Setiap kali ia mulai memasukkan benang ke dalam jarum, menekan pedal, menggunting sisa potongan benang atau kain, selalu terdengar ucapan lirih seperti ritmis yang reflek, Bismillah!.Â
Begitu juga ketika menerima ongkos bayaran jasa jahitnya, ia berucap Alhamdulillah!. Begitu selalu, dalam  setiap geraknya seperti reflek. Bahkan hanya ketika bangkit dan duduk kembali di depan mesin jahit tuanya, ia tak pernah ketinggalan mengucap Basmalah.
Mungkin itulah yang membuat ia terlihat selalu gembira, dan sehat yang tergambar di raut wajahnya.
Kunjungan itu menjadi ingatan yang menarik dalam hidup saya. Terutama ketika bercerita tentang amalan, pahala, dan keikhlasan, dalam hidup yang semakin penuh tantangan.
Semua Adalah Amalan dan Ibadah
Memasuki Ramadhan tahun ini, ketika masih didera pandemi, terasa beda. Setahun kemarin kita tak leluasa bertarawih, mengunjungi masjid. Padahal Ramadhan adalah puncak dari semua bulan.Â
Di dalamnya dipenuhi segala bentuk berkah ibadah dengan pahala berlipat ganda. Meskipun kita bisa melakukannya bersama keluarga di rumah.
Beruntung di tahun ini kita bisa merasakan kembali suasana Ramadhan seperti tahun sebelumnya.
Puasa adalah wujud ibadah yang spesial, dibanding ibadah lainnya, puasa memiliki hubungan yang sangat personal antara Allah dan kita. Dalam sebuah ayat disebutkan, bahwa puasa itu untukKu kata Allah.
Ketika berpuasa, hanya kita dan Allah yang tahu sejatinya makna dan arti puasa yang kita lakukan. Sejak niat puasa ketika menunaikan sahur, kita sudah membangun komitmen untuk sebuah nilai kejujuran, ketaatan, dan ketakwaan.
Bahkan sekiranya kita berusaha untuk mengubah niat di dalam hati bukan lagi berpuasa ikhlas karena Allah, atau kita secara sembunyi makan dan minum tanpa sepengetahuan orang lain, hanya Allah yang akan menilai kualitas puasa kita.
Banyak orang berpuasa, namun sebenarnya ia hanya menahan lapar dan haus, Â tidak mendapatkan pahala apa-apa selain kesia-siaan. Karena niat dari dasar sanubarinya bukan lagi karena Allah, tapi karena sebab lain.
Itulah mengapa ibadah puasa menjadi begitu istimewa. Berbeda dengan ibadah seperti shalat, jika kita memiliki motif, bisa saja "terbaca" oleh orang lain sebagai wujud riya, hanya formalitas belaka.
Ketika berpuasa, banyak amalan yang bisa kita lakukan, beriktikaf atau berdiam di masjid, bersedekah dengan berbagi makanan berbuka-sahur, shalat sunat, shalat tarawih dan witir. Bahkan tidurnya orang puasa, jika diniatkan karena Allah akan membuahkan pahala.
Namun Pak Rahman, dengan keikhlasannya bekerja, menganggap semua aktifitas sebagai wujud ibadah, membuatnya mensyukuri apapun.Â
Bahkan katanya suatu kali. "Jika kita tak lagi bernafas dengan sehat, itu artinya ada nikmat Allah yang telah diambil". Padahal selama hidup kita kita diberi segala nikmat itu, tapi kita tidak pernah menyadarinya".
Amalan Ikhlas di Bulan Ramadhan
Kisah tentang Pak Rahman juga mengingatkan saya dengan sebuah diskusi dengan seorang teman dokter yang bercerita tentang mengapa orang berpuasa menjadi sehat, dan gembira.
Menurut si dokter, selang beberapa hari setelah puasa, tubuh akan menyesuaikan dengan perubahan metabolisme. Proses berpuasa menahan lapar dan dahaga, kemudian akan membuat kadar endorfin dalam darah meningkat. Hormon Endorfin adalah zat kimia seperti morfin yang diproduksi oleh tubuh. Endorfin memiliki efek mengurangi rasa sakit dan memicu perasaan senang, tenang, atau bahagia.
Endorfin dapat menenangkan saraf dengan menciptakan perasaan tenang dan damai, sehingga terjadi perbaikan pada suasana mood kita. Ketika kita mengalami tekanan, stress, kondisi yang bersebalikan dengan situasi normal.
Menurut saya keikhlasan bekerja layaknya hormon endorfin. Ketika kita melakukan puasa, menahan lapar dan dahaga, sebagai bagian dari ibadah, akan membangun sistem imun kita terhadap apapun yang bersifat buruk yang dapat merusak nurani kita.
Ketika Pak Rahman selalu mengucap Basmallah dan Hamdallah dalam apapun aktifitasnya, ia tengah memproduksi "hormon endorfin pahala". Semakin banyak ungkapan syukur itu, akan semakin banyak produksi kebaikan di dalam hati.
Semakin lama, keikhlasan semakin membuatnya bisa "menikmati" apapun bentuk cobaan, beratnya tekanan hidup, sebagai bagian dari nikmat Allah yang telah diberikan dan harus dijalani.
Beberapa pelanggan yang dikenalnya dengan baik kondisi ekonominya, diberinya keleluasaan untuk membayar seikhlasnya untuk jasa jahitannya. Apakah ia merasa rugi?. "Allah sudah mengaturnya begitu", katanya tanpa beban.
Saya bayangkan seandainya kita melakukan apapun amalan dalam hidup kita, apalagi dalam bulan penuh berkah seperti Ramadhan, betapa banyak akumulasi pahala yang kita peroleh dan betapa banyak hikmah keikhlasan yang bisa kita rasakan.
Belajar dari kisah Pak Rahman, menyadarkan betapa ukuran-ukuran tentang ibadah, amalan-amalan kita sehari-hari maupun di dalam bulan Ramdhan, yang kadangkala menjebak kita dalam formalitas ternyata hanya membutuhkan kunci sebuah keiikhlasan.
Begitu sederhana, namun dalam kehidupan kita yang semakin banyak godaan, ternyata menjadi tidak mudah. Semua kembali kepada diri sendiri.
Akan lebih baik, seperti sabda Nabi, "sebaik-baik manusia, adalah yang bisa memberi manfaat bagi manusia lainnya".
Apakah segala amalan Ramadhan yang sedang kita jalani dan akan kita lakukan dalam hari-hari mendatang, bisa mengantarkan kita pada keikhlasan sederhana seperti sosok Pak Rahman?. Semoga kita diantara barisan orang-orang yang beruntung tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H