Begitu membuka laman beranda utama Google, ada suguhan spesial dalam tampilannya 3 April 2022 kemarin.Â
Ilustrasi tiga bilah lukisan cat air itu menggambarkan tiga cerita dari  tokoh pers nasional dan juga pelaku sejarah Indonesia, Siti Latifah Herawati Diah.  Dedikasi beliau sebagai akademisi yang produktif selama karirnya sebagai insan pers.
Sketsa Google Doodle itu menandai peringatan hari kelahiran Siti Latifah sosok jurnalis wanita terkemuka Indonesia yang ke-105 tahun.
Mungkin tak banyak publik yang mengenalnya se-populer Kartini dengan catatan Habis Gelap Terbitlah Terang, kumpulan korespondensinya dengan CH. Abendanon.Â
Bahkan dalam banyak narasi sejarah, sang suami BM Diah justru lebih banyak muncul. Tidak lain karena kiprahnya sebagai salah satu jajaran tokoh penting di kementerian negara di awal berdirinya negara Indonesia.
Ketika itu peran perempuan dalam pers juga tidak menonjol. Herawati menjadi salah satu tokoh pembuka jalan itu. Dengan dedikasi, kapasitas keilmuannya sebagai lulusan collage jurnalistik bergengsi di Berkeley, ia melejitkan peran perempuan dalam dunia pers Indonesia.
Tokoh penting pers  Nasional itu kelahiran Tanjung Pandan Belitung, 99 tahun lalu, pada 3 April 1917,  dan meninggal pada 30 September 2016 di Jakarta. Dinamika masa lalunya penuh dengan kisah romantisme tentang tuntutan menjadi pribadi istimewa karena latar belakang kehidupan priyayinya yang justru tak membuatnya merasa tinggi dan berbeda.
Sejak belia beliau dituntut, tak hanya faham pendidikan agama, budaya dan tradisi Indonesia, tapi juga adaptasi kehidupan gaya hidup Barat, sebagai cara mengimbangi intelektual kaum penjajah.
Ini yang kemudian menjadi salah satu motivasi besarnya dan menjadi dasar keyakinan yang mengantarnya menjadi wanita Indonesia pertama yang lulus dari universitas Amerika Serikat  di tahun 1939. Setelah tamat dari ELS (Europeesche Lagere Schoo) Salemba, dan American High School Tokyo.
Sebagai perempuan yang sejak muda ditempa pemikiran kritis kedua orang tuanya, Raden Latip dan Siti Alimah, Herawati memilih pendidikan study sosiologi di Barnard College, yang berafiliasi dengan Columbia University di New York.
Tak hanya itu, disela waktu ia juga menyempatkan memuaskan dahaga passion keilmuannya terhadap study  jurnalistik di  University of California, Berkeley. Dua jurusan favoritnya sejak lama, yang diselesaikannya dengan gemilang di tahun 1941.
Kembali Ke Indonesia
Tak berlama-lama menikmati studi dan kenyamanan di negeri orang, Herawati memutuskan kembali ke tanah air setelah semua studinya tuntas.
Karir pertama yang ditekuninya bukan sosiologi, tapi pilihannya juga tak jauh dari dunia jurnalistik yang dipilihnya di Berkeley. Â
Menjadi reporter lepas untuk Newswire United Press International (UPI), sebelum Revolusi Nasional Indonesia berlangsung dan kemudian menjadi penyiar berbahasa Inggris di Radio Hoso Kyoku-cikal bakal Radio Repubik Indonesia (RRI) di tahun 1942.
Herawati bahkan menyempatkan diri memprakarsai berdirinya surat kabar berbahasa Inggris pertama di Indonesia, The Indonesian Observer, di tahun 1955, bersama sang suami yang juga tokoh pers penting nasional. Menjadi media satu-satunya publikasi berbahasa Inggris di negara kita. Menyuarakan kepada dunia selama lebih dari satu dekade, tentang jatuh bangun bangsa yang baru merdeka.
Padahal ketika itu juga, ia disibukan dengan kegiatan di Women's International Club, Yayasan Bina Carita Indonesia, Â Yayasan Bina Carita Indonesia, dan Lingkar Budaya Indonesia.
Sebagai seorang advokat yang kuat untuk hak-hak perempuan, Herawati juga menggunakan Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan- untuk memobilisasi perempuan Indonesia agar menjadi pemilih aktif dalam politik Indonesia.
Salah satu kiprah pentingnya adalah menggunakan koneksi diplomatiknya untuk mendeklarasikan Kompleks Candi Borobudur sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
Namun di Radio Hoso Kyoku-lah justru cintanya bersemi, ketika bertemu Burhanuddin Muhammad Diah, yang akrab dikenal sebagai BM Diah, Menteri Penerangan Indonesia di tahun 1968.
Ia menjadi salah satu tokoh pembuka jalan aspirasi bagi para perempuan di Indonesia. Ini alasan mengapa ia menjadi gambar inspiratif di google doodle.Â
Tokoh Lain dalam Google Doodle
Tak hanya Herawati Diah yang pernah menjadi ikonik google doodle, tercatat 7 tokoh lainnya juga pernah muncul;
Maria Walanda Maramis; seorang pahlawan Pergerakan Nasional, yang dikenal sebagai pembaharu kemajuan wanita di Indonesia. Sebagai wujudnya dedikasinya, ia mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada 8 Juli 1917, sebagai cara membangun kesadaran peran ibu terhadap keluarga.
Dewi Sartika; Dewi Sartika adalah pahlawan nasional, dikenal sebagai perintis pendidikan bagi perempuan. Sekolah Isteri Pedopa, adalah warisan berharga dari beliau.
RA Kartini, tokoh populer kelahiran 21 April ini menjadi ikonik bagi kebangkitan peran perempuan Indonesia.
Ki Hajar Dewantara; Pahlawan nasional dan Bapak Pendidikan Indonesia, kelahiran Yogyakarta 2 Mei 1889, menjadi perintis kelahiran Perguruan Taman Siswa. Muncul di Gogle Doodle pada 2 Mei 2015 di hari pendidikan, dan hari ulang tahunnya yang ke-126.
Pramoedya Ananta Toer;Â Penulis "Tetralogi Buru", yang telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa. Muncul di google doodle
bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-92.
Samaun Samadikun; Bapak Mikroelektronika Indonesia, atas dedikasinya beliau mendapatkan The 1998 Award of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Muncul dalam tampilan Google Doodle pada 15 April 2016.
Bagong Kusudiarja; Seniman besar, koreografer dan Pelukis Indonesia, kelahiran Jogjakarta. Bagong mendirikan Pusat Latihan Tari (PLT) pada 5 Maret 1958 dan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja pada 2 Oktober 1978.
Semoga generasi milenial yang selalu dihinggapi "rasa penasaran" dalam gerak informasi yang melesat jauh, masih bisa mengenalnya dan mengenangnya sebagai salah satu tokoh pembaharu pers kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H