Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Rabu Abeh, Tradisi Menolak Bala di Bulan Safar

2 April 2022   17:15 Diperbarui: 5 April 2022   23:03 1467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu menjadi pemandangan yang umum, jika di pekan atau minggu terakhir menjelang masuk bulan Ramadhan, deretan mobil sesak memenuhi jalan menuju pantai.

Bukan cuma mobil pribadi, bahkan mobil truk dengan bak terbuka, dipenuhi dengan kumpulan warga dari penjuru kampung dan kotayang mengunjungi pantai untuk berakhir pekan, sambil menikmati hidangan.

Sehingga pemandangan, para perempuan tua, anak-anak, bercampur baur dalam setiap moda transport yang ada. Termasuk ribuan pengendara sepeda motor, bagi keluarga-keluarga kecil. Tak sedikit yang menggunakan sepeda, sambil menikmati goes santai.

Semuannya karena satu tujuan, "Tradisi Rabu Abeh". Tradisi tentang bulan baik dan buruk!.

Rabu Abeh dan Tolak Bala

Sebenarnya tidak ada bulan yang buruk dalam dua belas bulan kalender, baik Hijriah-miladiah, maupun Masehi. Semuanya merupakan bulan baik. Beberapa tradisi hanya menghubungkannya dengan kondisi alamnya.

Kondisi musim penghujan, meskipun dimaknai sebagai bulan berkah bagi para pemilik sawah dan peladang, namun jika intensitasnya tinggi juga bisa menjadi melapetaka, banjir dan tanah longsor. Begitupun dengan musim panas, teriknya bisa dianggap sebagai pertanda buruk.

Begitupun dengan tradisi tolak bala di Aceh yang lebih dikenal dengan "Rabu Abeh" hari Rabu terakhir, di akhir bulan Safar (salah satu bulan hijriah) yang dianggap sebagai bulan "panas". Padahal bulan Safar, identik dengan musim pancaroba, serta memiliki aura kurang baik sehingga berpengaruh pada kondisi fisik dan psikis, termasuk peluang terkena penyakit.

Masyarakat Aceh menyebut Safar sebagai bulan panas atau buleun seuum. Tidak hanya itu, Rabu Abeh juga dimaknai hari penghabisan segala bala dan kemalangan.

Tradisi ini masih sangat kental di wilayah pesisir pantai Barat Selatan Aceh. Namun kini, solusinya telah menjadi wujud tradisi yang berbeda, dengan melakukan shalat, atau doa bersama.

Prosesi ini biasanya dilanjutkan dengan kenduri alias makan bersama. Menikmati hidangan bu kulah (nasi bungkus) dan eungkot punjot (lauk ikan). 

Pergeseran semakin terjadi, ketika seluruh ritual kini menjadi kebiasaan personal, dan hanya fokus menikmati pantai untuk bersantai dengan keluarga di akhir pekan menjelang Ramadhan.

Tradisi yang Bertahan Dalam Kesyariatan

Tradisi sakral ini bagian dari warisan tradisi lama, yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, yang dipahami sebagai satu prosesi untuk mencegah segala bentuk bencana atau marabahaya. 

Tradisi ini juga dikaitkan dengan tradisi lama dari Jazirah Arab, melalui asimilasi budaya yang terjadi ratusan tahun silam, saat pendakwah dari Arab mengunjungi Aceh. Lantas tradisi tersebut mulai masuk dan kemudian menjadi bagian dari adat istiadat Aceh.

Meskipun saat ini pilihan syariat lebih kuat, namun tradisi ini masih menjadi peninggalan yang tetap diyakini oleh sebagian masyarakat sebagai sebuah ragam tradisi Aceh. 

Hanya saja dalam perkembangannya telah mengalami akulturasi, modifikasi budaya menjadi tak se-profan atau se-sakral dulu.

Kini Rabu Abeh menjadi sebuah kebiasaan umum, masyarakat menghabiskan waktu bersantai di pantai bersama keluarga, menjelang berakhirnya bulan Safar, karena akan masuk bulan Ramadhan.

Padahal, dahulu, ritual ini juga dilengkapi dengan menghiasi sampan-sampan dengan bunga. Termask berbagai lauk pauk yang ditata di dalam sampan, yang dihanyutkan ke laut sebagai cara dijauhkan dari segala bala.

Prosesinya dilakukan di pantai, karena berkaitan dengan ritual mandi secara beramai-ramai di pantai, sebagai simbol pembersihan diri dari segala bentuk dosa yang dapat mengundang bala.

Mandi laut dianggap dapat membersihkan tubuh dan jiwa dari seluruh aura negatif dan penyakit, serta sial yang akan terbawa bersama air laut.

Sebuah cara pandang yang kini berangsur hilang, karena didalamnya justru diyakini sebagai bentuk kekufuran, apalagi jika ritualnya diikuti dengan acara hura-hura.

Meski sebutan tradisi itu masih lekat, namun telah ber-metamorfosa menjadi aktifitas berwisata biasa. Kecuali dalam rangka aksi budaya, mengenalkan wujud tradisi lama.

Lambat laun, tradisi yang tak berakar Islami hilang dari nanggroe seuramo Mekkah ini. Namun dalam kapasitas sebagai atraksi budaya, atau ragam tradisi kebudayaan, nilai-nilainya harus tetap dijaga, walaupun hanya dimaksudkan sebagai sebuah pengetahuan belaka.

referensi; 1,2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun