Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pertamax Melambung dalam Transportasi Publik yang Limbung

31 Maret 2022   13:16 Diperbarui: 2 April 2022   02:16 1478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika singgah di Stasiun Central, negara jiran tetangga, kita akan mendapat semua pilihan moda transportasi yang bisa dipilih. Stasiun itu terintegrasi dengan segala jenis moda transportasi. 

Salah satu yang menarik adalah Mass Rapid Transit MRT), moda populer disana. Apa yang membedakannya dengan jenis moda transportasi yang kita kenal adalah soal ketepatan waktu keberangkatan dan sampainya ke tujuan.

Pertamax Melambung

Cerita yang sama juga kita dengar dari teman-teman yang pernah memiliki pengalaman menggunakan transportasi massal, bahkan jenis bus di negara-negara yang telah secara serius menjadikan transportasi massal, tak hanya sebagai sarana transportasi pengikis jarak-tapi yang lebih penting adalah ketepatan waktu.

Mengapa? Logika pemakai kendaran pribadi adalah unsur mudah akses, cepat, tepat waktu, faktor-"murah", masih dapat dikompromikan, sejauh kebutuhan tiga hal pertama terpenuhi.

Tapi manfaat itu belum optimal bisa dipenuhi oleh pemerintah kita dalam carut marut moda tranposrtasi publik, termasuk Bus TransJakarta, moda transportasi massal terintegrasi yang pertama di adopsi sebagai solusi mengatasi kemacetan Jakarta. 

Bahkan ketika kita kini telah memiliki moda transportasi monorel, belum tuntas persoalan blunder transportasi kita. Selain manajemen, persoalan kebijakan juga masih tumpang tindih, sehingga menciptakan masalah baru.

radar bogor
radar bogor

Anker-Anak Kereta, sebagai pengguna setia moda transportasi publik fanatik di seluruh Jakarta dan kota satelitnya-Jabodetabek, adalah contoh kasus nyata yang pernah mengalami dampaknya. Meskipun harga transportasi publik naik, mereka tak punya pilihan. Bagaimanapun sebenarnya moda transportasi massal milik publik, adalah alternatif terbaik bagi banyak solusi masalah besar transportasi di perkotaan.

Keberadaan moda transportasi yang bisa mewakili segala unsur kemudahan akses menjadi sebuah kebutuhan vital.

Apalagi ketika kota semakin bertumbuh dan berpacu dengan kemacetan, pertambahan bangunan dan semakin menyempitnya areal perokotaan. Solusi memperpanjang dan memperlebar jalan sebagai kebutuhan transportasi publik tidak lagi bisa dipenuhi. 

Solusi alternatifnya, dengan jalan layang, sedangkan solusi lainnya, menyediakan jenis layanan transportasi publik yang user friendly.

Situasi itu akan semakin kompleks dengan persoalan baru kenaikan bahan bakar minyak-seperti halnya Pertamax. Kebijakan baru ini bagi pemerintah, akan terasa berat karena, tanggungjawab pemerintah sebagai penyedia layanan transportasi publik yang ideal. 

Kali ini akan ditambah dengan masalah baru-kenaikan harga bahan bakar yang bisa memicu multiple effect inflasi terhadap ekonomi secara keseluruhan dalam situasi transisi ekonomi. 

Atau sebaliknya akan terjadi fenomena baru, beralihnya masyarakat ke moda transport publik?

tempo.co
tempo.co

Situasi ini sebenarnya juga berkaitan dengan perubahan besar di luar yang ikut mempengaruhi kebijakan. Sebagai mana dikutip dalam ulasan thetalks-Peta Jalan Dekarbonasi, menurut Michael Backman dalam, Asia Future Shocks, biang keladi masalah migas Indonesia adalah tingginya konsumsi minyak domestik karena besarnya subsidi pemerintah dalam harga eceran bensin dan mitan. Bahkan ketika harga eceran bensin dan solar mengalami kenaikan subsidi itu tetap dipertahankan.

Catatan lain yang lebih menguatkan kekuatiran kita adalah, menurut Business Times, tahun 2006 produksi minyak mentah Indonesia menembus titik terendah selama 35 tahun.

Indonesia berada pada posisi dilematis, jika tetap menjadi anggota OPEC, harus membayar US$2 juta biaya keanggotaan tahunan. 

Padahal sejak tahun 2002 sudah tak mampu menjadi anggota yang bisa memenuhi kuota produksi. Bahkan nasibnya sudah terbalik, dari eksportir menjadi net importir migas sejak 2006, justru ketika harga minyak berada di tingkat harga tertinggi sepanjang sejarah.

Kali ini alasannya masih tetap sama, yakni harga minyak mentah yang mahal, bahkan sejak Februari dan Maret harga minyak dunia telah melambung tinggi. 

Meski hingga saat ini harga BBM Pertamax masih dipertahankan, menurut pemerintah, ke depannya dapat membebani APBN. Belum lagi dampak akibat Perang-invasi Rusia ke Ukraina. Serta dalam jangka panjang, pemerintah mendorong jenis BBM yang lebih ramah lingkungan, karena memiliki kandungan Oktan yang lebih tinggi dari premium dan pertalite.

Apa Lebihnya Pertamax ?

Fokus pemerintah pada energi bersih memiliki sisi positif dari keberadaan Pertamax, karena pertamax memilik angka oktan minimal 92 berstandar international. Formulanya jenis PERTATEC (Pertamina Technology), sejenis formula zat aditif dengan kemampuan membersihkan endapan kotoran pada mesin yang lebih baik untuk menjaga mesin awet dari karat serta pemakaian bahan bakar yang berlebih .

Saat ini trend kendaraan juga telah dilengkapi teknologi Electronic Fuel Injection (EFI). Jenisnya meliputi kendaraan yang memiliki kompresi rasio pemakaian BBM 10:1 hingga 11:1. 

Komposisinya yang lebih padat menyebabkan proses pembakaran yang terjadi pada sepeda motor yang menggunakan bahan bakar pertamax akan lebih bersih sehingga zat buang yang dihasilkan akan lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar jenis premium maupun pertalite. 

Jika melihat tren tersebut, konsumsi pertamax juga mencakup semua kalangan, bukan hanya kelas menengah-atas.

Idealnya BBM jenis pertamax memang digunakan di semua jenis kendaraan baru, namun pilihan adanya pertalite, masih membuat membuat orang enggan memakainya karena faktor harga yang lebih mahal.

Apalagi jika per April 2022, dipatok seharga Rp. 16.000,-. Melakukan alih BBM ke pertalite yang beda oktan dapat merusak mesin.

Kecuali jika kebijakan penggunaan pertamax "dipaksakan" digunakan pada moda transportasi umum barulah bisa mendorong optimalisasi penggunaannya, meskipun harus ditebus dengan malapetaka baru inflasi yang menggila.

Pola Kebijakan Pertamax

Ada pola menarik dalam kebijakan pertamax per 1 April 2022, dan beberapa kebijakan pemerintah belakangan ini. Terutama sejak kenaikan gas non subsidi.

Apa daya tariknya? Sasaran kebijakannya kelas menengah-atas, namun pertimbangan sesungguhnya juga untuk meredam gejolak di kelas bawah. Ketika kebijakan kenaikan pertamax di paksakan, tidak akan ditanggapi secara ekstrim oleh kalangan bawah, yang "tidak" berkepentingan dengan pertamax tersebut. Lain halnya jika yang naik pertalite, bisa jadi akan ada demo baru.

Bahkan pemerintah tidak perlu repot menggunakan kebijakan ikutan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi yang terdampak. Namun satu hal, bahwa dalam sejarah panjang kenaikan harga BBM kita, apapun ceritanya tetap saja akan memicu inflasi, yang bisa menjadi pemicu blunder ekonomi.

Siapapun parapihak yang terkena dampak, akan berusaha mengimbangi dari sisi ekonomi sebagai kompensasi kenaikan yang ditimbulkan akibat kenaikan harga BBM itu. 

Sekalipun tidak menyasar kelas bawah, akan ada dampak ikutan yang bisa jadi tidak kentara. Persis seperti kebijakan minyak goreng yang ternyata, juga bisa menjadi pemicu inflasi baru. 

Misalnya pabrikasi yang sudah menggunakan jenis mesin dengan teknologi EFI. Atau pemilik bisnis moda transportasi yang menggunakan pertamax sebagai BBM-nya. 

Bahkan jika moda transportasi massal diikuti kebijakan keharusan memakai pertamax sebagai salah satu solusi, atau kewajiban menjaga amanat net zero emisi, maka publik pengguna transport massal-para angker pun tak bisa berkutik dan berkelit.

Pilihan kebijakan pertamax cukup menarik, karena tidak menimbulkan tarik ulur seperti kasus kebijakan lainnya selama Februari-Maret 2022. 

Dua kebijakan yang juga memiliki pola yang sama adalah kenaikan gas elpiji non subsidi. Sasaran gas 15 kg, sebenarnya kalangan kelas menengah-atas, namun dalam implementasinya, kalangan menengah-atas dan bisnis selama ini juga banyak yang menyalahgunakan pemanfaatan gas subsidi melon.

Kenaikan itu menimbulkan persoalan semakin banyaknya pemilik gas 15 kg, beralih menjadi pemakai gas 8 kilo dan gas melon. Sekali lagi karena alternatif substitusinya masih tersedia. 

Kasus kedua tentang JKH Kesehatan sebagai prasyarat mengurus layanan dan birokrasi. Karena sasarannya kelompok tertentu, dengan kepentingan tertentu, sehingga gejolaknya tidak berketerusan. 

Demikian juga dengan kasus minyak goreng yang diikuti dengan kebijakan HET, hanya sayangnya karena bersifat sementara, sehingga terlihat hanya sebagai "kebijakan kamuflase", akibatnya kini telah berdampak luas, hingga masyarakat kelas bawah.

Mengapa tidak menimbulkan gejolak hingga demo luar biasa, namun hanya wujud panic buying? Karena dianggap hanya akan berdampak sementara dan tidak menganggu komoditas lain. 

Namun ketika terbukti bahwa ternyata ada faktor CPO-biodiesel, maka kelangkaan dan berkurangnya jatah pasokan CPO untuk pangan-minyak goreng , dapat memancing inflasi yang permanen. 

Artinya peluang harga minyak turun, hanya jika harga CPO dunia turun. Namun dengan semakin banyak negara berkepentingan dengan CPO untuk energi hijau, maka peluang itu tidak mungkin lagi terjadi.

Sehingga, pemerintah yang tengah di dera soal dilematis pembangunan, dalam waktu kedepan, akan memilih model kebijakan seperti empat kasus di atas, pertamax, gas non subsidi dan HET tanpa BLT, serta JHT Kesehatan. Seperti filosofi "membunuh ular tanpa mematahkan ranting", kebijakan tetap didorong maju, tapi tak menciptakan kegaduhan tidak perlu dan berkepanjangan. Tapi apa benar begitu?

referensi;  1,

***

Update: Pemerintah resmi menaikkan harga BBM pertamax menjadi Rp 12.500-Rp 13.500

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun