Dalam sebuah diskusi yang mengarah pada debat kusir, kami mencoba mencari tahu apa lagi alasan yang digunakan Pemerintah ketika menggulirkan kebijakan baru, dan sekali lagi menggunakan jalur BPJS.Â
Sebelumnya rencana pemerintah untuk menggunakan dana BPJS yang jumlahnya tidak kurang dari 375 triliun untuk skema pembelian Surat Utang Negara (SUN) gagal.Â
Kini Pemerintah mensyaratkan kepersertaan BPJS Kesehatan,BPJS sebagai prasyarat segala keperluan urusan layanan publik dan birokrasi. Dari urusan jual-beli tanah, umrah dan haji, pengajuan KPR, Pengajuan izin usaha, pengurusan SIM, STNK, dan SKCK, hingga Nelayan Penerima Program Kementerian. Pada sektor perikanan, bukti kepesertaan BPJS Kesehatan berlaku untuk nelayan yang menerima program kementerian.
Kebijakan baru itu tertuang dalam Instruksi Presiden (inpres) No. 1 tahun 2022, mengenai Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.Â
Aturan itu telah diteken Presiden pada 6 Februari, dan akan mulai efektif pada 1 Maret 2022 mendatang. Apa lagi yang tersembunyi dari kebijakan baru ini?.
Praduga yang paling mudah dalam menafsirkan kebijakan ini, berkaitan dengan  percepatan target  Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) untuk mencapai 98% penduduk menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Beleid ini terasa dipaksakan, apalagi tidak ada kaitan langsung dengan masalah kesehatan. Tujuannya agar warga yang belum mendaftar harus masuk dalam skema program BPJS Kesehatan, termasuk bagi yang  tidak mampu mengongkosi iurannya.
Suara-suara publik yang muncul juga menganggap terbitnya aturan yang memaksa rakyat menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan menjadikannya sebagai syarat dalam layanan pertanahan, merupakan bagian dari praktek kekuasaan yang konyol, irrasional dan sewenang-wenang.
Situasi ini sekaligus membuat Pemerintah berhadap-hadapan langsung dengan rakyat dalam ketidaksepahaman. Tapi seperti biasa, test the water, menunggu reaksi publik untuk menawarkan solusi. Atau kali ini justru Pemerintah akan sedikit "memaksa", setelah kegagalan Kebijakan BPJS  kemarin
Bahkan secara filosofi konstitusi, kepemilikan tanah dan jaminan sosial kesehatan merupakan hak rakyat yang harus dilindungi negara. Negara tidak boleh memberangus hak rakyat lainnya.
Ketika BPJS Dipaksakan Go PublikÂ
Secara kasar mata, kebijakan ini adalah "turunan" dari kebijakan yang gagal kemarin. Dengan semakin banyak masyarakat yang masuk kedalam program BPJS, maka selain capaian target, akumulasi dana bisa bertambah dengan cepat.
Dengan setengah bercanda kami menganalogikan kebijakan Pemerintah ini seperti sedang menjual saham BPJS kepada publik, alias BPJS Go Publik.
Setiap warga disyaratkan masuk BPJS dulu sebelum mengurus semua urusan birokrasi Pemerintah, sehingga akumulasi dana di kas BPJS bisa melonjak drastis.
Jadi kekuatiran dan trauma Pemerintah seperti kegagalan ketika mengusulkan skema pencairan BPJS usia 56 tahun, dengan harapan selama kurun waktu lama dana BPJS yang mengendap dapat dialokasikan untuk pembelian SUN, dengan skema ini akan lebih aman. Kenaikan jumlah pendaftar baru dalam program BPJS, dengan segera dapat kita prediksikan meningkat dengan drastis.
Sehingga target dan harapan pemerintah pada akumulasi dana segar dengan segera dapat terpenuhi. Terdapat 14 juta orang lagi yang sedang ditargetkan oleh pemerintah.
Bagaimanapun ini menjadi sebuah kebijakan penuh preseden. Karena seperti kasus BRIN, Pencairan BPJS usia 56 tahun, dan UU Cipta kerja, Pemerintah telah bermain-main dengan kebijakannya untuk sebuah target pembangunan yang tidak terbuka-tidak transparan.
Kebijakan secara sepihak ini menyebabkan kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin turun. Sekalipun semangat kebijakan itu ditujukan untuk mendorong atau menggerakkan pembangunan dalam situasi pandemi yang masih berbalut krisis.
Namun jika kepentingan juga dibawa ke ranah politis, menjadi keputusan Pemerintah yang sangat menyakiti  rakyat banyak.
Apalagi jika logika kebijakan itu dikaitkan dengan pencapaian dari Program BPJS sendiri yang tengah surplus. Tidak ada substansi masalah yang mendesak. Tidah hanya itu, karena lahirnya kebijakan tersebut, Â sama sekali tidak berkaitan dengan masalah kesehatan.
Data BPJS yang dirilis pada tahun 2021, pendanaan BPJS dalam posisi surplus karena lonjakan aset bersih dana jaminan sosial-kesehatan selama periode 2021. HIngga periode  Desember 2021, posisi aset bersih dana jaminan sosial kesehatan mencapai angka Rp39,45 triliun. Kondisi ini secara keuangan dianggap sehat dan bisa menutup klaim untuk perkiraan masa 4,83 bulan ke depan.
Sehingga tidak alasan yang valid bisa dijadikan rujukan untuk melahirkan kebijakan baru BPJS sebagai persyaratan pengurusan layanan publik dan birokrasi seperti yang baru di luncurkan pemerintah.
Sekali lagi Pemerintah bermain-main dengan kebijakan Test The Water, mendulang air belanga kebijakan dengan harapan tidak terpercik muka sendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H