Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rumitnya Gaslighting, Ambivalensi Benci Tapi Rindu

13 Februari 2022   01:09 Diperbarui: 15 Februari 2022   10:23 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

lifehack

momjuction
momjuction

Pendekatan waras demi menjalani hidup yang lebih baik, itu nasehat pertama dari Mark Manson dalam buku "Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat".  Agaknya cara waras adalah pilihan tepat, untuk menyudahi hubungan toksik atau toxic relationship yang tak punya titik temu. 

Persis seperti minyak dan air, seperti sebuah stereotip, karakter toksik muncul berulang dalam sebuah skema hubungan. Maka bersikap "bodo amat", dengan seseorang berpribadi toksin adalah cara termudah.

Dan, seperti muasal kata-nya, toxic, atau toksin (dari bahasa Yunani Kuno: τοξικόν) adalah zat beracun yang diproduksi di dalam sel atau organisme hidup, istilah "toksikan" dan "toksik" sering dipakai, kecuali zat buatan manusia yang diciptakan melalui proses artifisial. Racun adalah sesuatu yang harus dihindari.

Obat Adalah racun "menyembuhkan"

Namun dalam banyak kasus sebagian orang menggunakan pendekatan, layaknya minum obat. 

Obat pada dasarnya racun, karena dianggap bisa menyembuhkan maka menjadi pilihan satu-satunya. Ketika menjadi addict atau candu, maka obat itu pada akhirnya akan membunuh secara perlahan.

Padahal sebuah "obat" ada yang diperuntukkan untuk sekedar mengurangi rasa sakit, menyembuhkah gejala, menyembuhkan sementara, dan pengendali penyakit, intinya tidak untuk menyembuhkan secara total. 

Pengobatan secara healing, justru menyeimbangkan antara kebiasaan atau pola hidup sehat selain obat sebagai pendukung untuk sampai pada kesimpulan, sembuh dari sakit.

Sakit bisa dimulai dari pikiran, demikian juga obat juga harus berasal dari sana. Bukankah "Men sana in corpore sano", dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Sehingga toksin juga harus diperlakukan seperti terapi jiwa. 

Sudah menjadi hal umum jika hubungan adalah sebuah kerja keras. Katakanlah dalam sebuah hubungan, perkelahian adalah sesuatu yang normal. 

Namun karena banyak yang menganggap perkelahian adalah sesuatu yang normal dalam sebuah hubungan, banyak yang menutup mata tentang adanya hubungan yang toksik. 

Jika kamu berhubungan dengan orang yang kerap menimbulkan konflik dalam hidupmu, mungkin saja kamu sedang berhubungan dengan orang yang toksik. 

Orang-orang toksik dapat menimbulkan stres dan membuat hidup orang lain menjadi tidak nyaman. Belum lagi rasa sakit yang dirasakan secara fisik maupun emosional.

Toksik dalam diri seseorang mungkin tidak dianggap sebagai gangguan mental, namun mungkin ada suatu masalah mental yang mendasari kenapa seseorang bertindak seperti itu. 

Orang toksik mungkin ada di kehidupan kita, namun kita tidak menyadarinya. Atau menyadarinya, namun kita tak pernah bisa bersikap masa bodo dan menjauhinya. Bahkan sebagian orang justru menjalin, atau mempertahankan komitmen yang merusak.

Kecenderungan yang Merusak

Orang-orang yang tidak pernah bertanggung jawab atas perasaannya sendiri, memproyeksikan perasaannya kepada orang lain dan kehidupan orang lain, serta mengganggap emosi yang buruk berasal dari orang lain, adalah sebuah "penyakit" yang justru menjadi pandemi bagi orang lain, yang diidap para toksik.

Kecenderuangan bertindak manipulatif, adalah salah satu bentuk perilaku mereka yang mengidap toksik. Membuat orang lain melakukan hal yang dia inginkan, menggunakan orang lain untuk mencapai tujuan tanpa perlu menanyakan pendapat orang lain, sekalipun berdampak buruk.  

Kecenderungan seperti ini, juga banyak dimiliki oleh orang sukses. Ada pendapat awam yang menyebutkan bahwa, tanpa sifat toksik ini, seseorang "sulit" bisa berhasil. Hanya beberapa yang "menyisakan" sifat baik sebagai komitmen suksesnya.  Bisa jadi ini mitos, namun bisa jadi fakta. Butuh kajian mendalam soal kaitan sukses dan toxic habit ini.

Penyakit lain dari pengidap toksik adalah sulitnya meminta maaf, selalu ada celah untuk memutarbalik fakta, bahwa keputusannya untuk meminta maaf-pun dasarnya karena ada pemicu yang membuatnya "bersalah", sehingga maaf itu menjadi formalitas untuk menunjukkan bahwa pihak yang diberi permintaan maafnya, juga sebagai pihak yang bersalah. Rumit sekali pola pikirnya.

Dengan pola pikir itu, maka mereka akan memastikan kita juga andil ikut bersalah yang membuatnya harus meminta maaf. Seolah-olah ia yang memutuskan siapa yang salah dan siapa yang harus diangap benar.

Pernah dengar istilah, "senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang", meskipun bisa di identikan dengan sifat iri, sifat ini adalah ciri seorang berpenyakit toksik. Betapa sulitnya untuk peduli dan mendukung orang lain. 

Dukungan harus berkonsekuensi menguntungkan. Jika bicara fakta ini, kita seolah sedang berbicara tentang seseorang berprofesi-politikus. Faktanya, perilaku ini menjadi perilaku yang jamak dipertontonkan oleh kelompok ini.

Mungkin penganut Machiavelan adalah salah satu wujud para penderita toksik ini. 

Barangkali pertanda lain ini bisa menguatkan pemikiran kita tentang siapa orang yang paling sering berlaku sebagai seorang pengidap toksik. Ada kecenderungan orang yang toksik sering berbohong dengan terang-terangan. 

Mereka juga sering mengarang cerita menjadi sebuah kebenaran. Mereka dapat mengubah narasi dan opini mereka dalam sekejap jika hal itu dirasa pas untuk mereka. Mereka membuat opini tergantung pada apa yang mereka perlu capai dan apa yang mereka inginkan terjadi. Orang-orang toksik tidak pernah menganggap adanya kejujuran dalam kehidupan.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, mereka mau dipahami, namun tidak mau memahami orang lain.

Kecenderungan utama adalah orang yang toksik akan selalu mencoba menarik perhatian orang lain dan berfokus pada dirinya sendiri. Perhatikan dalam debat-debat politik di televisi, banyak sekali para politikus yang berkarakter toksik, namun anehnya, merekalah yang berada di panggung politik dan menjadi bintangnya.

Apa Solusi terbaiknya?

Apakah  anggapan awam bahwa orang sukses dan petualang politik harus berkarakter toksik untuk bisa menjaga hegemoni kuasanya.

Bagaimana jika kita berada dalam sebuah hubungan, ketika pasangan memaksakan kehendak, menjadi  "episentrum" dalam semua hal?

Apa yang harus kita lakukan, seperti saran orang bijak, tak ada cara sembuh bagi penderita toksik, jadi sebaiknya ditinggal jauh. Lantas bagaimana jika itu pasangan hidup kita?. Sulit menjawabnya. Ada yang bisa?, apakah harus "melepaskan "layangannya?".

Perbincangan tentang kesehatan mental dan masalah relasi toksik (toxic relationship) mulai berkembang beberapa tahun belakangan ini. Namun dalam kenyataannya, masih terjadi kekerasan dalam relasi yang belum disadari oleh banyak pasangan. Jikalaupun mereka menyadari dirinya menjadi korban dalam relasi toksik, tidak semuanya dapat dengan mudah mengambil keputusan untuk keluar dari situ. 

Beberapa rekomendasi bacaan mungkin bisa menjadi pelipur lara, sulitnya keluar dari "penjara" toxic relationship atau toxic habit. Cobalah untuk menelusuri referensi seperti; Toxic Relationsh*t, Diana Mayorita, membicarakan faktor apa saja yang melahirkan relasi toksik, jenis kekerasan dalam relasi dan polanya, tanda-tanda seseorang menjadi pelaku atau korban dalam relasi toksik, fenomena gaslighting, hubungan ambivalen, atau yang disebutnya sebagai love-hate relationship, sampai soal cinta obsesif. Atau referensi lain seperti; Life as Divorcee  oleh Virly, K.A; atau Woe-Man Relationship oleh Audian Laili. 

Beberapa rekomendasi menarik, masih patut diperdebatkan, apalagi bagi para penganut hubungan ambivalen, love-hate-relationship. Biar disakiti, asalkan tetap bisa bersamanya tak mengapa. 

referensi; 1, 2,3,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun