Sakit bisa dimulai dari pikiran, demikian juga obat juga harus berasal dari sana. Bukankah "Men sana in corpore sano", dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Sehingga toksin juga harus diperlakukan seperti terapi jiwa.Â
Sudah menjadi hal umum jika hubungan adalah sebuah kerja keras. Katakanlah dalam sebuah hubungan, perkelahian adalah sesuatu yang normal.Â
Namun karena banyak yang menganggap perkelahian adalah sesuatu yang normal dalam sebuah hubungan, banyak yang menutup mata tentang adanya hubungan yang toksik.Â
Jika kamu berhubungan dengan orang yang kerap menimbulkan konflik dalam hidupmu, mungkin saja kamu sedang berhubungan dengan orang yang toksik.Â
Orang-orang toksik dapat menimbulkan stres dan membuat hidup orang lain menjadi tidak nyaman. Belum lagi rasa sakit yang dirasakan secara fisik maupun emosional.
Toksik dalam diri seseorang mungkin tidak dianggap sebagai gangguan mental, namun mungkin ada suatu masalah mental yang mendasari kenapa seseorang bertindak seperti itu.Â
Orang toksik mungkin ada di kehidupan kita, namun kita tidak menyadarinya. Atau menyadarinya, namun kita tak pernah bisa bersikap masa bodo dan menjauhinya. Bahkan sebagian orang justru menjalin, atau mempertahankan komitmen yang merusak.
Kecenderungan yang Merusak
Orang-orang yang tidak pernah bertanggung jawab atas perasaannya sendiri, memproyeksikan perasaannya kepada orang lain dan kehidupan orang lain, serta mengganggap emosi yang buruk berasal dari orang lain, adalah sebuah "penyakit" yang justru menjadi pandemi bagi orang lain, yang diidap para toksik.
Kecenderuangan bertindak manipulatif, adalah salah satu bentuk perilaku mereka yang mengidap toksik. Membuat orang lain melakukan hal yang dia inginkan, menggunakan orang lain untuk mencapai tujuan tanpa perlu menanyakan pendapat orang lain, sekalipun berdampak buruk. Â
Kecenderungan seperti ini, juga banyak dimiliki oleh orang sukses. Ada pendapat awam yang menyebutkan bahwa, tanpa sifat toksik ini, seseorang "sulit" bisa berhasil. Hanya beberapa yang "menyisakan" sifat baik sebagai komitmen suksesnya. Â Bisa jadi ini mitos, namun bisa jadi fakta. Butuh kajian mendalam soal kaitan sukses dan toxic habit ini.