Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita Seragam, Dari Satpam Sampai Gangnam Style Tourist Police

12 Februari 2022   18:17 Diperbarui: 18 Februari 2022   23:12 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk seminggu saja, berarti paling minimal ada 6 jenis baju, Belum lagi jika ada les, eskul atau acara sekolahan. Jika ada anak-anak yang menggunakan baju yang sama terus menerus, walaupun dicuci bisa menimbulkan "decak kagum", karena ternyata semua baju dirumahnya warnanya sama semua. 

Sedangkan orang lain berganti-ganti setiap hari. Tapi jika menggunakan seragam, mau dicuci seminggu sekali, tetap saja tak ada yang komentar, baju kamu dari Senin sampai Sabtu sama terus, apa tidak ada baju lain.

Disini saja, sebuah seragam telah berjasa "menyembunyikan" kesenjangan status sosial, ekonomi dan lain-lain yang bisa membuat anak-anak tidak fokus belajar, tapi fokus milih baju setiap kali akan ke sekolah. 

Keributan di rumah tidak pernah lepas dari apakah bajunya sudah matching, apakah tidak tabrakan atas-bawah. Belum lagi konsekuensi yang harus ditanggung oleh apra orang tua yang anaknya sudah mulai bersekolah. Sudah SPP dan uang pembangunan tinggi, baju-baju harian juga sudah tersedia.

Meskipun diawal beli seragam sekolah mahal alias keluar modal awal, tapi berikutnya bisa mengurangi sakit kepala. Daripada murah di awal sakit kepala sepanjang anak-anak bersekolah.

Kedua; Internalisasi nilai-nilai disiplin. Melalui kebiasaan menggunakan seragam, anak-anak memahami hari apa dan konsekuensi apa yang akan diterima jika melanggar. Secara tidak langusng sistem seperti ini membangun sebuah kesadaran tentang kedisplinan, sehingga menjadi habit. Anak-anak yang tidak berseragam akan merasa tidak enak untuk bersekolah karena telah melakukan pelanggaran.

Ketiga; seragam seperti yang dikenakan seorang satpam, menaikkan wibawanya sebagai petugas keamanan, karena seragam menjelaskan identitas dan kapasitas yang dimilikinya. Di Korea Selatan, terdapat polisi wisata bernama :Gangnam Police Tourist, yang bertugas membantu para wisatawan ketika mengalami kesulitan. 

Mereka dilengkapi seragam khusus yang membedakan dengan petugas keamanan lain, termasuk garis di bahu yang menandakan, kemampuannya dalam menguasai bahasa. Sehingga seorang wisatawan asing dapat memilih bantuan berdasarkan tanda tersebut.

Terlepas dari seragam yang digunakan dengan warna yang baru, bahkan seperti kelakar banyak netizen, warna tersebut mengingatkan dengan korp polisi India, dengan Inspektur Vijay yang menjadi ikoniknya.

Tapi tetap saja substansinya menjadi identitas tentang keberadaan dan kewenangannya. Bahkan warna, juga bisa berkaitan dengan kapasitas. Mana petugas biasa, mana yang komandan, apa wewenangnya petugas biasa, apa wewenang seorang komandan. Dan bagaimana manajemen bisa mengaksesnya.

Jadi apapun warnanya, menjadi tidak sepenting makna yang tersembunyi didalamnya. Selama warna tidak dipolitisir, menjadi bagian dari parpol, nanti malah jadi tidak bebas lagi.

referensi; 1,2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun