Tekanan-tekanan dari lingkungan, termasuk sekolah,menyebabkan kehilangan karakter positif itu semakin akut seiring naik di jenjang sekolah lebih tinggi. Di TK ia diajari untuk "membebek", di SD, tak bisa menulis dan membaca adalah anak bodoh.
Di SMP, SMA dan bahkan PT, anak-anak kita menjadi para pengecut, yang sekedar bertanya saja bisa dianggap sebagai kesalahan dan kebodohan, karena sejak awal, anak-anak dengan "pertanyaan lugu" disamakan dengan "pertanyaan bodoh".Â
Harus ada perubahan paradigma yang tidak hanya mendorong anak-anak sekedar menjadi pintar dengan ukuran nilai dan IQ, karena anak-anak pintar tanpa memilik karakter yagn kuat untuk sukses, juga mengalami kesulitan yang sama besarnya dengan mereka yang ber-IQ rendah. Bahkan anak-anak ber-IQ rendah bisa saja lebih memiliki potensi untuk sukses jika mereka didukung oleh karakter-karakter yang dapat melahirkan Emosi Positif, seperti temuan Clifton dan Rath.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H