Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mereka "Si Peniup Peluit", Dari Irine, Frances Hingga Snowden

5 Februari 2022   23:08 Diperbarui: 12 Februari 2022   15:16 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

cnnindonesia

03facebook-whistleblower-jumbo-61febbcd8700002baf7f8360.jpg
03facebook-whistleblower-jumbo-61febbcd8700002baf7f8360.jpg
nytimes.com

analiticindiamagazine
analiticindiamagazine

Apa yang menjadi kekuatiran dan premis banyak orang bahwa kasus pelecehan seksual pada perempuan yang banyak muncul di ruang publik saat ini, merupakan the tips of the iceberg, fenomena puncak gunung es, adalah sebuah fakta yang tidak bisa dibantah.

Banyak kasus yang tak muncul kepermukaan, sama halnya seperti kasus kekerasan seksual yang semakin marak belakangan. Banyak faktor yang menjadi "penghalangnya", yang menyebabkan perempuan korban kekerasan seksual memilih untuk diam daripada melapor dan menjadi bumerang atau menjadi stigma buruk. 

Faktor lainnya, seperti ketidaktahuan soal hukum,  perjanjian dibawah tangan dan kekerasan serta ancaman pelaku, maupun masih dominannya budaya patriaki di masyarakat . Atas dasar itu, kasus yang bermunculan sangat insidental, hanya ketika temuan itu terjadi secara tidak sengaja dan kemudian terekspose kepada publik yang luas. Persis seperti fenomena gunung es itu.

Apalagi jika kasusnya menimpa anak-anak, remaja yang juga sangat minim pemahamannya tentang jenis kasus pelecehan dan kekerasan seksual ini.

Kasus yang menimpa Irine Wardhanie seorang jurnalis, pada saat dirinya bekerja di media daring Geotimes, adalah salah satu contohnya. Kasus ini terekspose karena korbannya adalah seorang jurnalis. 

Diluar logika sederhana, tentang statusnya sebagai jurnalis yang memungkinkan kapasitasnya memahami konsekuensi atas apa yang dilakukannya, adalah sangat manusiawi ketika ia berusaha mencari keadilan, ketika menjadi korban dari sebuah kasus pelecehan seksual, namun justru ketidakadilan yang diterimanya.

Bagaimana jika kasusnya menimpa orang yang sama sekali buta huruf, buta informasi dan buta hukum?. Apakah kasusnya akan muncul kepermukaan dari "puncak gunung es"?. Apakah memungkinkan orang lain bertindak sebagai perpanjangan tangan, sebagai penyampai informasi kasus, agar mendapat perhatian dan keadilan setimpal?.

Tentang Whistleblower

Bagaimana dengan whistleblower?. Apa yang kita pahami tentang si "peniup peluit"?. Whistleblower atau Pengungkap fakta, adalah individu yang akan datang kepada Anda, biasanya secara diam-diam,  melaporkan kemungkinan kecurangan, aktivitas yang tidak jujur atau kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Pada umumnya, para whistleblower ini akan mencari perlindungan dari tindakan semena-mena atau terdampak konsekuensi buruk karena telah melaporkan kecurangan.

linovHR
linovHR

Bagaimana hukum berlaku atau memperlakukan para whistleblower, agar fenomena puncak gunung es kasus kekerasan seksual yang tersembunyi biasa terkuak, dan pelapor aman dari pelaku kejahatan?. Istilah whistleblower dalam bahasa Inggris diartikan sebagai "peniup peluit", disebut demikian karena seperti peran seorang wasit dalam pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang meniup peluit sebagai penunjuk fakta terjadinya pelanggaran.

Dalam konteks kasus  ini, istilah "peniup peluit " diartikan sebagai orang yang mengungkap fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau kejahatan.

Pengertian whistleblower  menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor.

Sebenarnya dari latar belakang  sejarahnya, whistleblower erat kaitanya dengan organisasi kejahatan ala mafia sebagai organisasi kejahatan tertua dan terbesar di Italia yang berasal dari Palermo, Sicilia, sehingga sering disebut Sicilian Mafia atau Cosa Nostra.

Kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh para Mafioso (sebutan terhadap anggota mafia). Begitu kuatnya jaringan organisasi kejahatan tersebut sehingga mafioso bisa menguasai berbagai sektor kekuasaan, dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif, termasuk aparat penegak hukum. Nah, dalam kasus tersebut, tidak jarang suatu sindikat bisa terbongkar karena salah seorang dari anggotanya berkhianat.

Artinya, salah seorang dari mereka melakukan tindakan sendiri sebagai peniup peluit-whistleblower untuk mengungkap kejahatan yang mereka lakukan kepada publik atau aparat penegak hukum. Sebagai imbalannya whistleblower tersebut dibebaskan dari segala tuntutan hukum.

Kasus yang paling menghebohkan adalah kasus Frances Haugen versus Facebook dan Edward Snowden yang dengan cepat menjadi selebriti dunia, setelah dari sebuah kamar hotel di Hongkong, lebih dari tiga minggu , sejak ia tiba di Bandara Internasional Hong Kong, 20 Mei 2016, ia menjadi orang paling dicari setelah mengakui sebagai pembocor dua program rahasia badan intelijen Amerika, National Security Agency (NSA).

Dua program itu meliputi pengumpulan rekaman telpon pelanggan Verizon dan penyadapan data ke server perusahaan raksasa internet Amerika seperti Google, Facebook, Microsoft, Apple dan sebagainya.

Snowden sadar soal risikonya, katanya kepada wartawan Guardian, Glenn Greenwald, "Saya menyadari bahwa saya bisa menderita atas tindakan saya," . Namun katanya lagi, "Saya tidak ingin hidup dalam masyarakat yang melakukan hal semacam ini (penyadapan). Saya tidak ingin hidup di dunia di mana segala sesuatu yang saya lakukan dan katakan, direkam. Itu bukan sesuatu yang saya bersedia untuk mendukungnya atau hidup di dalamnya," kata Snowden, soal alasannya membocorkan program rahasia itu.

Snowden adalah mantan kontraktor NSA dan pernah menjadi pegawai dinas rahasia Amerika, Central Intelligence Agency (CIA).Aksi Snowden ini mengguncang politik Amerika. Sebagian menyebut sikapnya heroik dan menjadikannya sebagai whistleblower (peniup peluit) karena membongkar kebijakan pemerintah yang mengancam privasi warga Amerika.

Amankah Menjadi Whistle Blower?

Terbukanya simpul kekerasan seksual yang banyak tersembunyi yang diungkap ke ruang publik, yang sumbernya bukan dari media mainstream atau aparat hukum yang berwenang, melainkan dari akun-akun pribadi pada platform media sosial, adalah sebuah fenomena menarik tentang keberadaan para "whistleblower".

Bagaimana jika kasus tidak terjadi dalam sebuah organisasi atau institusi, namun dalam realitas kehidupan sosial. Apakah orang bisa berperan sebagai whistleblower?.

Sebenarnya dari sisi hukum, istilah pengungkap fakta whistleblower telah di atur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban, namun tidak memberikan pengertian tentang "pengungkap fakta", dan hanya memberikan pengertian tentang saksi.

Adapun yang disebut dengan saksi menurut UU No. 13 Tahun 2006 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan-atau ia alami sendiri.

Walaupun jika ada undang- undang yang melindungi whistleblower, pemerintah sendiri harus mendorong adanya perlindungan yang lebih untuk para whistleblower. Whistleblowing adalah elemen kunci dari tindakan anti kejahatan.

Mereka adalah orang pertama dalam bentuk kontak apapun ataupun menyaksikan kejadian seperti pelanggaran undang- undang atau jenis kecurangan, yang dapat menyebabkan lebih banyak kerugian untuk kepada masyarakat atau korban jika dibiarkan tidak terungkap.

Karena faktor keamanan menjadi salah satu kekuatiran para whistleblower, sehingga fokus pemerintah dan perusahaan yang menyediakan akses bagi para whistleblower adalah lebih pada perlindungannya.

Mendikbudristek Nadiem Makarim juga telah menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi, sebagai salah satu bentuk kepedulian, maraknya kasus yang ada di lingkungan perguruan tinggi, yang notebene diisi oleh orang-orang yang paham hukum.

Penggunaan hotline whistleblower adalah salah satu solusi yang sudah digunakan di banyak negara. Hotline khusus untuk whistleblower adalah infrastruktur dasar yang dibutuhkan untuk mendorong orang- orang "melakukan tindakan yang benar" dan sering dipandang sebagai salah satu langkah terpenting dalam sebuah perusahaan untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap perilaku etis.

Namun dalam realisasinya seperti diungkap dalam laporan Asia-Pacific Fraud Survey Report (2015), dari perusahaan akuntan Ernst and Young (EY), 45% dari perusahaan yang disurvey mengakui, mereka belum menerapkan hotline whistleblower. Salah satu alasannya berkaitan dengan, meningkatnya ketakutan kurangnya perlindungan hukum, atau kurang terjaganya kerahasiaan untuk whistleblower.

Jika tidak ada sarana sebagai medium kita menjadi whistleblower, kita bisa melakukannya secara personal. Namun, jika tersedia sarana yang memungkinkan kita melakukan tindakan whistleblower di instansi, seperti fasilitas hotline whistleblower, apa tindakan kita?.

Pertama; Menetapkan kebijakan hotline whislteblowing

Terapkan kebijakan whistleblowing dan pastikan setiap karyawan tahu dengan berbagai cara, termasuk sekedar materi promosi. Karyawan diberi tahu langkah- langkah tepat yang dapat mereka lakukan dalam melaporkan masalah.Untuk hasil terbaik, hotline seharusnya dikelola pihak ketiga yang independen, untuk memastikan anonimitas dan seluruh informasi disimpan dengan kerahasiaan yang ketat.

Kedua; Berikanlah kepercayaan kepada karyawan

Kekuatiran mereka akan ditanggapi secara serius dan isu yang ada akan direspon dan diinvestigasi dengan segera. Karyawan harus diberikan kepercayaan bahwa laporan mereka akan ditangani secara rahasia karena mereka mempertaruhkan posisi mereka untuk menjadi sasaran intimidasi dan pembalasan dari mereka yang terlibat dalam kecurangan tersebut.

Ketiga; Menerapkan kebijakan keterbukaan

Bagian personalia berperan terbesar memastikan karyawan aman dan nyaman dan terbuka untuk masalah apapun. Bagian pesonalia membantu membudayakan etika yang kuat dan menerapkan kebijakan keterbukaan, agar karyawan tidak takut melaporkan adanya kecurangan atau meminta saran dari personalia professional.

Keempat; Gunakan kotak saran anonym

Orang Asia umumnya memiliki budaya yang sangat berbeda dengan orang barat. Kita memiliki kecenderungan untuk tidak berbicara karena takut dihakimi, apalagi menimbulkan rasa takut, akan reaksi saat melaporkan tindakan yang mencurigakan. Orang Asia lebih memilih melaporkan suatu masalah secara anonim. Walaupun dilakukan dengan diam-diam terdengar cukup mengerikan, hal ini telah membantu polisi untuk mencegah kejahatan dalam banyak hal.

Jadi pertimbangkan untuk menggunakan kotak saran anonim di tempat kerja. Sertakan formulir bagi whistleblower untuk menyertakan bukti yang mendukung atau setidaknya nomer untuk menghubunginya.

Kegagalan mewujudkan hotline sebagai salah satu solusi perbaikan menajemen, berdampak signifikan bagi keseluruhan proses dalam perusahaan. Dalam kasus bersifat personal, semakin banyak para whistleblower akan semakin banyak kejahatan yang bisa diungkap publik.

Setiap orang bisa berperan menjadi whistleblower, dengan sistem perlindungan yang dijamin kerahasiaannya oleh undang-undang, kecuali seperti kasus Irine yang, menjadi "surat terbuka kepada publik", namun masih jarang terjadi.

Referensi; 1,2,3,4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun