Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Volunteer, Antara "Perbudakan" dan Berbayar

3 Februari 2022   12:49 Diperbarui: 18 Februari 2022   03:57 1429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

merdeka.com

Menjadi relawan itu seru, tapi untuk kasus Ekspedisi Indonesia Baru, sebenarnya sangat relatif  penilaiannya. Jika ada yang menganggap sebagai "perbudakan" karena kerja setahun tak berbayar, sebenarnya ada "kompensasi" lain yang non material, yang bisa jadi tak pernah bisa diukur dengan uang yang didapatkan oleh para relawan yang memilih ikut audisinya.

20161105-kapal-berpenumpang-13-tim-reset-kkp-tenggelam-images-600x315-1-61ffe5f8bb448662f96466a2.jpg
20161105-kapal-berpenumpang-13-tim-reset-kkp-tenggelam-images-600x315-1-61ffe5f8bb448662f96466a2.jpg
beritakini.co

Semuanya sangat subjektif, tentu saja kacamata setiap orang berbeda. Warna " putih" bagi yang menganggap bahwa pendewasaan diri dapat diperoleh dengan mengikuti ajang yang mengasah kemandirian, kekuatan, keyakinan diri, dan kepedulian serta kerjasama itu.

Bagi yang memandangnya sebagai realitas berwarna "hitam", karena situasi kondisi serba sulit pandemi dan krisis ekonomi yang berkepanjangan dalam dua tahun belakangan merubah orientasi kita, "tak ada yang gratis didunia ini".

Gratis dalam konteks kasus Ekspedisi Indonesia Baru, juga tak sepenuhnya "gratis", karena ada "bayaran" pengganti. Saya memandang fenomena ini berdasarkan apa yang pernah saya alami sebagai relawan selama bertahun-tahun lalu.

Seorang Relawan Sejati

penyu-di-pulau-salaut-61fbeeb4bb448633eb705463.jpg
penyu-di-pulau-salaut-61fbeeb4bb448633eb705463.jpg
tribunews.com

Saya punya seorang sahabat, seorang volunteer sejati. Hidupnya dihabiskan dalam setahun, hampir sepenuhnya untuk kerja-kerja sebagai relawan tingkat dunia, sedangkan dua bulan sisanya dihabiskan di kampung halaman, mengobati rindu bertemu ibu yang sangat disayanginya.

Apa kerja-kerjanya?, ia nyaris tak pernah mendapatkan bayaran apapun dari kerja-kerjanya selama sepuluh bulan di seantero dunia. Buku visa ukuran 24 halaman, ludes dengan stempel dari mancanegara, hanya dalam waktu kurang dari dua belas bulan. Termasuk negara-negara Eropa Timur. Uang ia peroleh dari tempat yang tak pernah ia duga, dari teman dan sahabatnya sesama relawan di negara-negara yang berbeda.

20200828-20190311095943-normal-61fbee2e8700001d0b4afec4.jpg
20200828-20190311095943-normal-61fbee2e8700001d0b4afec4.jpg
acehnews.id

Ia mendedikasikan dirinya sebagai volunter sejati, membantu para korban bencana tsunami, kelaparan, konflik,bencana kebakaran hutan, semua yang masuk kategori bencana force majure, yang tak terduga, dan maunya kita.

Ia menikmati semua pengalaman itu sebagai kekayaan nilai hidup yang tak bisa ditemui dimana saja dalam kehidupan sebelumnya, termasuk di bangku kuliah kedokterannya. Bahkan ia tak tak pernah bisa mengukurnya dengan uang. Hidupnya ia "wakafkan' untuk seluruh dedikasi bagi sesama.

acehinsight-wwf 
acehinsight-wwf 

Suatu ketika kami sama-sama berangkat ke Malaysia, dan disana bertemu dengan relawan Amerika yang akan singgah ke Australia untuk kerja-kerja kebencanaan. Begitu tiba di Aceh, keesokkan harinya mereka berangkat kembali ke Australia untuk kerja-kerja ke-volunteeran.

Tak pernah sekalipun mereka bicara tentang kompensasi. Mereka seperti biasa berusaha untuk mandiri, membawa kasur lipat untuk tidur dilapangan, di alam bebas, plus uang seperlunya.

Termasuk di salah satu sesi kehidupannya sebagai relawan, ketika ia mengunjungi Harvard University, menjadi relawan  bagi sebuah aksi disana. Apa yang terjadi kemudian di luar dugaannya,  ia mengalami kecelakaan fatal yang membuat wajahnya rusak parah, ketika bersepeda menyusuri kota bersama rombongan relawan lainnya.

Apa yang kemudian ia dapatkan?, seluruh teman relawan lainnya termasuk institusi Harvard University membantunya, "mengembalikan" wajahnya nyaris ke bentuknya semula. Ini sebuah babak dalam kehidupannya yang menyebabkan ia tak pernah bisa "move on" dari dunia ke-voluntiran.

Hikmah Itu Bayaran Juga

Semasa tsunami, beberapa orang gadis belia rela menjadi relawan pencari korban tsunami, apapun kondisinya. Mereka biasanya di ganti timnya dalam dua minggu, namun beberapa dari mereka memutuskan tetap bertahan dan tidak mau pulang. Padahal beberapa temannya depresi dengan kenyataan yang mereka temukan di lapangan. Mereka ikhlas, tanpa bayaran. Sesuatu yang sulit diukur dengan materi.

Intinya,  menjadi relawan itu, memiliki parameter yang berbeda dari sudut pandang kita sebagai mahluk ekonomi, yang jamak mengukur segala sesuatu dengan nilai seperti uang.

Namun itu sesuatu yang wajar, bagaimanapun dalam siklus kehidupan kita selama 24 jam sehari, hampir tak bisa lepas sepenuhnya dari uang atau material yang ukurannya "benda" yang bisa memuaskan fisik, bukan sekedar pikiran.

Namun perbedaan ini juga tak menjustifikasi, bahwa kerja-kerja relawan tidak membutuhkan materi seperti uang sebagai kompensasinya, selain hanya dalam bentuk "kepuasan batin".

Ada yang menganggap bahwa nilai material dan non material itu tak berjauhan jaraknya. Ketika kita berhasil dalam sebuah ekspedisi, seperti yang dialami Dandhy Laksono, dengan Ekspedisi Laut Biru, yang kini bisa mengangkat "derajat" profesionalitasnya menuju kelas yang berbeda.

Ada penghargaan lain yang linier dengan pencapaian yang pernah dilakoninya dalam kerja-kerjanya sebelumnya sebagai relawan. Jika bukan orang lain yang mengangkatnya, inisiatiaf dan inspirasinya yang menggugahnya untuk berbuat, atas dasar pengalamannya sebagai volunter.

Sebuah Kilas Balik

antaranew.com
antaranew.com

Di tahun 2000, saya pernah bekerja di WWF Indonesia, sebuah NGO lingkungan. Dalam masa-masa kerja itu, saya juga mejadi relawan di beberapa NGO sekaligus, meskipun dalam kerja-kerja administratif. Kerja-kerja itu nyaris tanpa bayaran, karena ukuran insentif-nya akan sangat berbeda, jika dibandingkan dengan profesionalitas kita menurut kacamata donor yang mempekerjakan kita dengan bayaran secara profesional.

Selama jangka waktu cukup panjang, saya mendedikasikan kerja-kerja untuk pencarian donasi kayu untuk rumah korban tsunami, Jaringan Masyarakat Adat di Aceh, mendorong eksistensinya, membantu pemulihan hak-hak mereka secara legalitas. Mencari jejak migrasi penyu belimbing, hingga mengusir gajah di hutan pedalaman. Berteman dengan para jurnalis dari koran ternama Indonesia, akrab dengan ambasador lingkungan seperti Surya Saputra dan lainnya.

Jadi, kerja-kerja itu tak hanya berada di kursi nyaman berpendingin ruangan, tapi juga menyusuri hutan, sungai, rawa, bermalam di hutan, menyeberangi lau ke pulau-pulau terpencil, berinteraksi dan berbaur dengan ragam masyarakat adat dan berinterakasi dengan konflik satwa yang penuh resiko, termasuk berhadapan dengan ombak besar mematikan. Ketika berkunjung ke episentrum gempa dan tsunami terbesar dalam sejarah kebencanaan di Indonesia, di Pulau Simeulue. Perjalanan dimulai dari pukul 10 malam, dan menjejak tujuan pada 2 siang. Jadwal itu molor beberapa jam karena kami terseret badai hingga mendekati Pulau Andaman di India.

Apa bayarannya?, nilai-nilai kehidupan yang tak pernah kita peroleh di bangku kuliah, bahkan ketika duduk di kuliah strata tinggi sekalipun. Saya belajar tentang filosofi gajah, bagaimana gajah bereaksi ketika berhadapan dengan kita.

Apakah kita segera tunggang langgang,  ketika berpapasan dengan gajah, atau menunggu telinganya bergerak santai, baru menjauh. Filosofi itu tak ada di buku-buku teks, tapi dari para pawang yang puluhan tahun hidup dalam lingkungan gajah dengan konflik di dalamnya.

Bahwa seekor gajah adalah, pemilik insting yang luar biasa, siapapun bisa menjadi sasaran amarah jika kita "mengganggu" dengan cara yang kasar. Di Pedalaman Aceh- Bener Meriah, masyarakat adat memanggil para gajah dengan sebutan "Abang Kul", sebagai penghormatan tradisi keharmonisan alam, satwa dan manusia.

Pengalaman berharga itu tak bisa diperoleh begitu saja. Ibarat seorang profesor ahli renang yang menguasai teori berenang yang baik, bisa jadi ketika praktik, ia hanya bisa satu cara, "berenang gaya batu".

Sedangkan anak-anak di pedalaman yang tak pernah berilmu setinggi profesor, bisa berenang dengan semua jenis gaya, kecuali satu yang tak pernah dikuasainya, "berenang gaya batu". Survival membuat ianak-anak menjadi peng-adaptasi alam yang terbaik.

Semua ilmu kehidupan itulah yang selama ini kita ukur secara non material. Seperti apa saja yang kita peroleh ketika memutuskan menjadi seorang relawan. Jadi apa motivasi dan orientasi kita, menentukan keputusan, apakah kita mau jadi seorang volunteer?.

Referensi; 1, 2,3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun