Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Volunteer, Antara "Perbudakan" dan Berbayar

3 Februari 2022   12:49 Diperbarui: 18 Februari 2022   03:57 1429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun perbedaan ini juga tak menjustifikasi, bahwa kerja-kerja relawan tidak membutuhkan materi seperti uang sebagai kompensasinya, selain hanya dalam bentuk "kepuasan batin".

Ada yang menganggap bahwa nilai material dan non material itu tak berjauhan jaraknya. Ketika kita berhasil dalam sebuah ekspedisi, seperti yang dialami Dandhy Laksono, dengan Ekspedisi Laut Biru, yang kini bisa mengangkat "derajat" profesionalitasnya menuju kelas yang berbeda.

Ada penghargaan lain yang linier dengan pencapaian yang pernah dilakoninya dalam kerja-kerjanya sebelumnya sebagai relawan. Jika bukan orang lain yang mengangkatnya, inisiatiaf dan inspirasinya yang menggugahnya untuk berbuat, atas dasar pengalamannya sebagai volunter.

Sebuah Kilas Balik

antaranew.com
antaranew.com

Di tahun 2000, saya pernah bekerja di WWF Indonesia, sebuah NGO lingkungan. Dalam masa-masa kerja itu, saya juga mejadi relawan di beberapa NGO sekaligus, meskipun dalam kerja-kerja administratif. Kerja-kerja itu nyaris tanpa bayaran, karena ukuran insentif-nya akan sangat berbeda, jika dibandingkan dengan profesionalitas kita menurut kacamata donor yang mempekerjakan kita dengan bayaran secara profesional.

Selama jangka waktu cukup panjang, saya mendedikasikan kerja-kerja untuk pencarian donasi kayu untuk rumah korban tsunami, Jaringan Masyarakat Adat di Aceh, mendorong eksistensinya, membantu pemulihan hak-hak mereka secara legalitas. Mencari jejak migrasi penyu belimbing, hingga mengusir gajah di hutan pedalaman. Berteman dengan para jurnalis dari koran ternama Indonesia, akrab dengan ambasador lingkungan seperti Surya Saputra dan lainnya.

Jadi, kerja-kerja itu tak hanya berada di kursi nyaman berpendingin ruangan, tapi juga menyusuri hutan, sungai, rawa, bermalam di hutan, menyeberangi lau ke pulau-pulau terpencil, berinteraksi dan berbaur dengan ragam masyarakat adat dan berinterakasi dengan konflik satwa yang penuh resiko, termasuk berhadapan dengan ombak besar mematikan. Ketika berkunjung ke episentrum gempa dan tsunami terbesar dalam sejarah kebencanaan di Indonesia, di Pulau Simeulue. Perjalanan dimulai dari pukul 10 malam, dan menjejak tujuan pada 2 siang. Jadwal itu molor beberapa jam karena kami terseret badai hingga mendekati Pulau Andaman di India.

Apa bayarannya?, nilai-nilai kehidupan yang tak pernah kita peroleh di bangku kuliah, bahkan ketika duduk di kuliah strata tinggi sekalipun. Saya belajar tentang filosofi gajah, bagaimana gajah bereaksi ketika berhadapan dengan kita.

Apakah kita segera tunggang langgang,  ketika berpapasan dengan gajah, atau menunggu telinganya bergerak santai, baru menjauh. Filosofi itu tak ada di buku-buku teks, tapi dari para pawang yang puluhan tahun hidup dalam lingkungan gajah dengan konflik di dalamnya.

Bahwa seekor gajah adalah, pemilik insting yang luar biasa, siapapun bisa menjadi sasaran amarah jika kita "mengganggu" dengan cara yang kasar. Di Pedalaman Aceh- Bener Meriah, masyarakat adat memanggil para gajah dengan sebutan "Abang Kul", sebagai penghormatan tradisi keharmonisan alam, satwa dan manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun