Skenario Lain Belum Manjur
Sebenarnya dalam kerangka pengurangan emisi itu, Indonesia punya banyak alternatif. Pertama; Dari ketersediaan energi atau mineral tanah jarang yang luar biasa. Bahkan kabarnya  di balik lumpur luapan Lapindo, kini tersimpan jutaan kubik material tanah jarang yang akan diburu oleh banyak negara.
Jadi, bisa diperkirakan dalam waktu cepat, lumpur Lapindo akan disedot secara berebutan oleh perusahaan energi dari banyak negara. Barangkali Pertamina di barisan depan. Perusahaan Bakrie Brothers yang pernah kehilangan uangnya bermilyaran gegara membayar ganti rugi kebocoran, mungkin akan dapat cara instan bikin Break Even Point (BEP) untuk balik modalnya.
Kedua; Belum lagi laut dalam Indonesia, sebagai negara bahari, yang ternyata lautnya menyimpan jutaan kubik material tanah jarang. Selama pengelolaannya tidak membunuh plankton yang dapat memicu masalah baru, naiknya emisi dari laut. Tapi tetap saja butuh pengorbanan besar, termasuk mengorbankan kelestarian lingkungan.
Jangankan emisi dari plankton, olah pertanian, gembala ternak sapi, bahkan buangan gas dari sapi dari peternakan diperkirakan menyumbang sepersekian persen dari emisi karbon.
Ketiga; Solusi lainnya, pola atau skema ekonomi kita tak terbiasa hemat, jadi sirkular ekonomi yang basisnya menggunakan barang daur ulang, menjaga dan merawat alat se-awet mungkin, bukan bagian dari budaya.
Meskipun ban kempes masih bisa ditambal, mesin aus masih bisa dibubut, ban bekas masih bisa ditempel karet, dan kondom bekas masih dijadikan karet pengikat rambut, mobil bekas 4 tahun pakai di Singapura yang sudah "berkarbon" di kirim ke Indonesia sebagai mobil murah.
Tapi bukan itu, peralatan yang material penggunaannya seperti mesin-mesin. Bisa jadi faktor gaptek alias kesenjangan teknologi juga berpengaruh. Bayangkan saja, panel surya yang mahal harganya dijadikan tempat menjemur ikan asin, karena konon katanya bisa membuat ikan asin lebih cepat kering. Baiklah, bahwa logis juga soal mudah keringnya ikan, karena panel itu memang diperuntukkan menyedot tenaga dan diubah jadi energi alternatif terbarukan.
Keempat; Pilihan "Pajak karbon", jelas itu malapetaka jika diterapkan sekarang, kala kita baru bisa bernafas lega dari krisis, dari kenaikan gas bersubsidi  dan kenaikan tarif KRL pula, sementara naiknya UMP 2022 dibarengi kenaikan sembako dan barang lain, jadi nyaris tidak berarti apa-apa.
Maka  beginilah kita saat ini, "ketidakberdayaan" kita menjadi "senjata" pamungkas krisis ekonomi yang dialami pemerintah. Dan bahkan pemerintah bisa sekali mendayung perahu dua tiga pulau terlampui.