Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ada Udang di Balik Naiknya Tarif KRL, Apa Sebenarnya Maunya Pemerintah?

27 Januari 2022   17:06 Diperbarui: 27 Januari 2022   21:36 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini yang kena batunya adalah 88 juta para Anker-Anak kereta, pekerja yang hilir mudik, Jakarta dan keluar kota satelit disekitarnya, Jabodetabek yang "dimanfaatkan" ketidakberdayaannya.  

Dari jumlah itu saja belum sepersepuluhnya yang bisa dipenuhi dengan adanya KRL, kurang lebih 9 jutaan. Jadi ibarat kata, jika ada yang tak mau naik KRL karena naik Rp.2000 perak, maka akan ada 80 juta orang lainnya yang akan menggantikan kursi anker itu. Pilih mana?. Pusying, kata anak Jaksel.

Memangnya ada pekerja yang setiap hari mondar-mandir kerja dari luar Jakarta dan sekitarnya mau disuruh mengganti moda transport dengan mobil angkot lain, bawa kendaran sendiri, hanya gara-gara tarif KRL naik dari Rp.3000 ke Rp.5000. 

Pertama, kenaikannya tidak melampui 50 persen.

Kedua, belum ada para pekerja yang bisa beralih ke lain hati, dengan begitu banyak "perhatian" KRL pada nasib mereka pada Anker-Anak Kereta. Layanannya jelas cepat, bebas hambatan, tepat waktu, "murah" walaupun kalau dihitung sebulan kenaikannya Rp.100.000, juga. Cuma karena dicicil perhari dua kali, jadi Rp 4000 jadi tidak terasa.

Jadi kalau dipikir-pikir, mengapa bensin tetap disubsidi, sedangkan KRL "listrik" malah harus menombok kekurangan uang pemerintah, alasannya;

Pertama yang paling logis adalah adanya 88 juta penumpang yang sangat valid dijadikan alasan.

Kedua, alasan politis yang tidak populer, jika pemerintah harus menaikkan harga bensin atau semua jenis gas, kala pendemi belum berlalu dan krisis masih menggantung di langit negeri, sama saja dengan bunuh diri.

Apakah kebijakan itu akan mengganggu rencana kita menuju zero emisi. Menganggu atau tidak, tidak akan ada bedanya, karena ada 80 juta orang mau berkorban mengganti siapa saja yang menolak kenaikan tarif KRL.

Bahkan jika kebijakan itu dinaikan dua tiga kali dalam sebulan, seperti rutinitas check up gula darahpun, orang akan tetap 'ngotot" naik KRL. Daripada dapur rumah tak lagi berasap atau kepala koprol gara-gara mikir pengeluaran BBM.

Jadi dalam kasus kenaikan tarif ini Pemerintah berada di posisi pemenang, jadi jangan heran jika akan ada kenaikan lain yang akan lewat di headline berita kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun