Namun intinya pemerintah punya tujuan yang jangka panjang dikorelasikan dengan kebijakan pemerintah menyetujui Paris Agrement yang memaksa semua negara yang meratifikasi akan zero emisi paling cepat di tahun 2050. KRL sejauh ini adalah kebijakan yang tepat, jika kita benar mengelolanya dan tidak mengulangi kesalahan yang sama, KRL sebagai biang kemacetan Jakarta.
Sekilas Sejarah
Sejarahnya dimulai 6 April 1925 dengan nama Elektrische Staatsspoorwegen, sebagai bagian  dari proyek elektrifikasi yang terus berlanjut, hingga masuk dalam kebijakan pemilihan moda transport listrik, karena dianggap elektrifikasi jalur kereta diprediksi akan menguntungkan secara ekonomi.
Namun anehnya, riwayat penutupannya justru karena Batavia Trem (cikal bakal KRL) di cap sebagai biang kemacetan. Termasuk ketika diaktifkan kembali sejak era Hindia Belanda, namun di tahun 1960-an sekali lagi trem dihapus, karena alasan sebagai penyebab macet, dan tidak kondusifnya kota Jakarta ditambah merosot tajam jumlah penumpang.
Memasuki era 1972, KRL kemudian mengalami regenerasi dengan hadirnya KRL Rheostatik yang diimpor dari Jepang. Kini KRL didominasi oleh armada KRL bekas Jepang, dan minoritas produksi PT INKA, Madiun.
Selanjutnya  pada April 1999 bernaung dibawah nama PT Kereta Api, sebagai Divisi Angkutan Perkotaan Jabotabek. Pada 15 September 2008, beralih fungsi sebagai KAI Commuter Jabodetabek.Â
Barulah pada 20 September 2017, menjadi Kereta Commuter Indonesia, dibawah kendalai operasional PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), anak perusahaan dari PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), melayani rute komuter di wilayah Jabodetabek serta lintas Yogyakarta-Solo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H