cnbcindonesia
Kalau di Surabaya ada Bonek- bondo nekat yang suka menguasai kereta api jika ada laga tanding ke Jakarta, di Jakarta, sejak lama juga ada Anker-anak kereta. Lantaran KRL jadi salah satu moda transportasi populer yang banyak digunakan masyarakat di Jabodetabek, murah, meriah, bebas hambatan, sehingga moda itu sudah layaknya milik sendiri.Â
Jika tarif naik sekalipun, seperti simalakama, tak ada pilihan, bagi para pekerja yang setiap hari hilir mudik dari dan ke Jakarta, keluar kota, Bogor-Jakarta, Jabodetabek. Sebabnya KRL menawarkan banyak keuntungan, mulai waktu yang relatif cepat dibanding kendaraan umum, bebas macet hingga tarif yang terbilang ekonomis.
Keuntungan ini membuat pelanggan moda transportasi yang satu ini tetap menjadikan KRL komuter pilihan favorit di masa pandemi Covid-19. Bahkan paska PPKM, Â data KAI Commuter, mencatat terjadinya peningkatan mobilitas masyarakat menggunakan moda transport murah itu.Â
Setidaknya sejak Desember 2021 ada 1,005 perjalanan dengan 94 rangkaian yang dioperasikan. Sedangkan data catatan  penumpang hariannya pada Agustus 2019 saja berjumlah 1.039.303, dengan total penumpang tahunannya 334.102.903.
Sekalipun Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Direktorat Jenderal Perkeretaapian tengah mengkaji usulan kenaikan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) pada April 2022 mendatang, tak akan banyak merubah peta pengguna KRL , mengingat pergerakan-mobilitas masyarakat dari Jakarta ke kota-kota satelit disekitarnya masih kekurangan moda transport.Â
Saat ini seluruh transportasi publik yang beroperasi hanya mampu mengangkut maksimal tujuh juta  (0.08 persen) penumpang per hari. BacaÂ
Padahal pengguna transportasi umum, terdapat 88 juta perjalanan di kota penyangga dan Jakarta setiap hari. Kekurangan  moda transportnya mencapai 99,92 Persen.
Besarnya jumlah pengguna moda KRL, juga disebabkan karena banyak faktor, diantaranya tak semua pekerja memiliki sarana transportasi pendukung, kemacetan yang kronis, bahkan kebijakan menerapkan ERP (electronic road pricing) saat ini, justru memicu peningkatan kemacetan.Â
Faktor lainnya, naiknya harga BBM dan Gas Non Subsidi, kenaikan UMP diikuti kenaikan harga-harga barang, dan faktor utamanya adalah berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh moda transport KRL.
Jika melihat pada realitas kebutuhan moda yang masih sangat timpang, dan kita bisa memenuhi target, ada kekuatiran laina, pakah jika KRL Komuter kelak memenuhi seluruh Jakarta dan kota-kota satelit di sekitarnya juga akan mengulang kasus yang sama seperti pada tahun awal dirintis di Hindia Belanda dan di tahun 1960-an, ketika KRL komuter dianggap sebagai biang kemacetan?.
 Bagaimanapun KRL komuter masih menggunakan jalur darat, yang kapasitas dan kemampuan luas Jakarta untuk pengembangan jalur moda KRL semakin lama akan semakin berkurang. Karena luas Jakarta tidak bisa ditambah, kecuali dengan reklamasi.Â
Atau melakukan pengembangan jalur KRL dengan sistem jalan layang. Seperti Mass Rapid Transite (MRT) yang dioperasikan di Malaysia. Sehingga tidak menganggu kebutuhan pengembangan jalur tranport darat lainnya, termasuk untuk kendaraan pribadi.
Realitas itu menjadi pertimbangan krusial, sehingga arah pengembangan KRL harus selaras dengan keterbatasan luasan Jakarta. Tidak hanya didorong pada pemenuhan tambahan moda karena kebutuhan yang memang sudah mendesak. Pemerintah DKI Jakarta saja melalui Tranjakarta menargetkan dalam jangka panjang, menyediakan 10.051 bus listrik di jalur Transjakarta di tahun 2030.
Sementara dari pengembangan KRL komuter sendiri, hingga 2030 akan dibangun jaringan kereta api antarkota sepanjang 9.210 km dan jaringan kereta api perkotaan sepanjang 3.755 km. Sementara itu, dari sarananya sendiri atau kereta api, akan dilakukan pengadaan lokomotif sebanyak 5.314 unit, kendaraan pengangkut 27.949 unit, gerbong 48.364 unit, dan kereta api perkotaan 6.229 unit.
Masyarakat Perkeretaapian Indonesia (Maska) mengungkapkan anggaran pembangunan perkeretaapian hingga 2030 yang terdiri dari pembiayaan infrastruktur dan kereta api (rolling stock), total anggaran mencapai US$65,595 juta atau setara dengan Rp926,742 miliar (kurs Rp14.000).
Kenaikan harga dan Revitaliasi Manajemen
Kenaikan harga, selain sebagai kompensasi kenaikan biaya penunjang biaya operasional bagi KRL PT. Kereta Commuter Indonesia (KCI), harus juga berkorelasi dengan perbaikan manajemen pengelolaan KRL, terutama kesejahteraan karyawannya. Karena kesejahteraan yang membaik, juga akan berdampak pada layanan di KRL sendiri.
Sebenarnya revitalisasi telah dilakukan sejak 2008, sejak dibentuk anak perusahaan PT KA, yakni PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). Modernisasi angkutan KRL pada tahun 2011, mengurangi rute, hanya menjadi 5 rute utama, penghapusan KRL komuter ekspres, penerapan gerbong khusus wanita, dan mengubah nama KRL ekonomi-AC menjadi Kereta Commuter.
Termasuk melakukan renovasi, penataan ulang, dan sterilisasi sarana dan prasarana termasuk jalur kereta dan stasiun kereta, serta penempatan satuan keamanan pada tiap gerbong. Salah satu pemutakhiran adalah, pada Juli 2013, PT KCJ mulai menerapkan sistem tiket elektronik COMMET (Commuter Electronic Ticketing) dan perubahan sistem tarif kereta.Â
Perubahan nama menjadi  PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), sekaligus menandai perannya menjangkau penugasan penyelenggaraan kereta api komuter yang lebih luas di seluruh Indonesia.
Dengan peran besar itu perbaikan layanan menjadi salah satu prioritas yang harus dikedepankan. Termasuk peningkatan fasilitas di stasiun yang makin baik dan layanan seperti penambahan gerbong khusus yang ramah disabilitas, lansia, maupun ibu hamil.
Sinkronisasi Kebijakan KRL dan Emisi karbon
Catatan lain yang patut digarisbawahi, kebijakan kenaikan tarif KRL, harusnya disinkronkan dengan rencana jangka panjang pemerintah Indonesia mendorong target pengurangan emisi karbon. Memang publik tak punya pilihan dengan kenaikan harga, mengingat manfaat KRL.Â
Namun jika kebijakan yang didorong pemerintah lebih berkorelasi dengan pengurangan konsumsi BBM, maka implementasi pajak karbon, atau naiknya tarif electronic road pricing (ERP), Proyek Jalan Berbayar Elektronik dengan tujuan menekan pengguna moda transport pribadi melalui kenaikan tarif dan kenaikan harga BBM mungkin akan lebih efektif mengalihkan pengguna moda transportasi pribadi beralih ke moda trasportasi massal.
Bagaimanapun dua kebijakan Pajak karbon dan kenaikan BBM akan menjadi kebijakan prioritas di masa mendatang. Di tahun-tahun mendatang keberadaan premium, pertalite akan dikurangi ketersediaannya, digantikan dengan jenis BBM dengan ron yang lebih tinggi seperti Pertamax karena ketentuan berkaitan dengan emisi karbon yang makin ketat di tingkat global
Elektrische StaatsspoorwegenSedangkan alternatif jangka pendek dalam "memancing" para pengguna moda transport massal, adalah peningkatan seluruh layanan KRL menjadi lebih eksklusif, untuk mengalihkan pengguna moda transport pribadi. Hanya saja masih dibutuhkan tambahan armada untuk menutupi kekurangan sarana transportasi bagi 88 juta pengguna di Jakarta dan sekitarnya.
Soal kenaikan tarif KRL yang segera akan diberlakukan, kisaran kenaikan sebesar 0,6 persen dari angka Rp 3.000 menjadi Rp. 5.000 masih wajar dan dapat dijangkau publik, dengan segala pertimbangan yang rumit di atas.Â
Namun intinya pemerintah punya tujuan yang jangka panjang dikorelasikan dengan kebijakan pemerintah menyetujui Paris Agrement yang memaksa semua negara yang meratifikasi akan zero emisi paling cepat di tahun 2050. KRL sejauh ini adalah kebijakan yang tepat, jika kita benar mengelolanya dan tidak mengulangi kesalahan yang sama, KRL sebagai biang kemacetan Jakarta.
Sekilas Sejarah
Sejarahnya dimulai 6 April 1925 dengan nama Elektrische Staatsspoorwegen, sebagai bagian  dari proyek elektrifikasi yang terus berlanjut, hingga masuk dalam kebijakan pemilihan moda transport listrik, karena dianggap elektrifikasi jalur kereta diprediksi akan menguntungkan secara ekonomi.
Namun anehnya, riwayat penutupannya justru karena Batavia Trem (cikal bakal KRL) di cap sebagai biang kemacetan. Termasuk ketika diaktifkan kembali sejak era Hindia Belanda, namun di tahun 1960-an sekali lagi trem dihapus, karena alasan sebagai penyebab macet, dan tidak kondusifnya kota Jakarta ditambah merosot tajam jumlah penumpang.
Memasuki era 1972, KRL kemudian mengalami regenerasi dengan hadirnya KRL Rheostatik yang diimpor dari Jepang. Kini KRL didominasi oleh armada KRL bekas Jepang, dan minoritas produksi PT INKA, Madiun.
Selanjutnya  pada April 1999 bernaung dibawah nama PT Kereta Api, sebagai Divisi Angkutan Perkotaan Jabotabek. Pada 15 September 2008, beralih fungsi sebagai KAI Commuter Jabodetabek.Â
Barulah pada 20 September 2017, menjadi Kereta Commuter Indonesia, dibawah kendalai operasional PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), anak perusahaan dari PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), melayani rute komuter di wilayah Jabodetabek serta lintas Yogyakarta-Solo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H